Kolase.id – Suara gemericik air terdengar sayup menyambut, jauh sebelum wujud sungai itu terlihat. Di balik rerimbunan hutan tropis khas Kalimantan Barat, sebuah aliran—yang tampak tak lebih besar dari parit primer perkotaan—justru menggerakkan roda perubahan di Kampung Silit, Desa Nanga Pari, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang.
Di tepian sungai dengan air yang tetap bening dalam gerak dinamis, berdiri bangunan kecil setinggi dada orang dewasa. Itulah rumah bagi turbin Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Peraya Pagelang Bersinar. Sumber cahaya itu sudah hampir satu dekade menerangi malam di Kampung Silit.
Reporter Kolase Alfiyyah Ajeng Nurardita bersama tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat, menempuh perjalanan panjang untuk menyaksikan bagaimana sungai mungil itu mampu menyalakan sebuah kampung yang sudah lama tenggelam dalam gulita.
Lima Ratus Kilometer Menuju Cahaya
Rute menuju Dusun Silit bukan sekadar perjalanan geografis, ini adalah gambaran isolasi yang dialami banyak kampung di pedalaman Kalimantan, khususnya di daerah timur Kalimantan Barat.
Dari Pontianak, ibu kota provinsi, perjalanan darat menuju Sintang harus menempuh sekitar 395 kilometer melalui jalan negara yang memanjang melewati Sungai Ambawang, Tayan, hingga menuju ke kabupaten berjuluk Bumi Senentang itu.
Dari Sintang, perjalanan berlanjut ke Desa Nanga Pari sejauh sekitar 130 kilometer, memasuki jalur yang makin sempit, berdebu, dan berliku.
Setelah memasuki Nanga Pari, jalan menuju Kampung Silit berubah menjadi kombinasi tanah merah dan kerikil. Motor-motor warga melaju perlahan di antara pagar hutan, terkadang harus berhenti menghindari kubangan.
Kendati tidak ditemukan data pasti mengenai jarak dari kantor desa ke rumah turbin, warga setempat memperkirakan rutenya tak lebih dari belasan kilometer perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam karena kondisi medan.
Perjalanan lebih dari 500 kilometer ini mencerminkan betapa jauhnya kampung ini dari hiruk-pikuk pusat provinsi. Cahaya yang mereka nikmati malam hari berasal dari turbin yang dibangun dengan jerih payah sendiri, bukan dari jaringan listrik nasional.
Asal Usul Cahaya
Gagasan membangun PLTMH bermula pada tahun 2014, di tengah keterisolasian Kampung Silit dari listrik PLN. Tanpa jaringan, warga hanya mengandalkan lampu minyak atau genset kecil yang boros bahan bakar.
Dari diskusi panjang hingga rembug kampung, lahirlah kesepakatan kolektif, membangun pembangkit mikrohidro dengan modal sendiri.
Pada 2016, setelah meminjam dana sekitar Rp600 juta dari Credit Union lokal, bendungan kecil dibuat di hulu sungai. Air diarahkan melalui pipa logam berdiameter besar menuju turbin, menggerakkan generator yang menghasilkan listrik dengan kapasitas 96 kilowatt, kapasitas yang cukup besar untuk sebuah kampung kecil.
Warga bekerja tanpa upah. Yang kuat mengangkut pipa, yang tua menyiapkan makan untuk pekerja. Di hari turbin pertama kali menyala, kampung riuh dalam sorak, seolah mereka baru saja memenangkan pertandingan besar.
Kini, 52 rumah di Kampung Silit menikmati listrik dari PLTMH ini. Untuk menutupi perawatan, warga cukup membayar iuran Rp30 ribu per bulan.
Malam dalam Kendali Mesin
Namun terang itu tidak menyala 24 jam. “Pernah kami nyalakan terus menerus enam bulan, tetapi risikonya terlalu besar,” kata Yohanes Diman, Ketua pengelola PLTMH, ketika saya menemuinya di rumah turbin.
Suatu ketika turbin rusak parah, perbaikannya memakan biaya hampir Rp8 juta dan butuh waktu satu minggu penuh. Sejak saat itu, pengelola mengambil keputusan tegas, listrik hanya menyala dari pukul 16.00 hingga sekitar pukul 07.00. Jadwal ini dianggap paling cocok karena listrik lebih banyak dipakai malam hari.
Karena keterbatasan akses teknis dan biaya suku cadang, keputusan pembatasan itu diterima warga sebagai bentuk menjaga ‘umur mesin’.
Pada hari raya atau saat kebutuhan mendesak, jadwal dapat diperpanjang. Namun bagi sebagian besar hari, kampung hidup dalam ritme energi terbatas, siang gelap, malam terang.
Terang Baru dan Dilema Baru
Awal 2025 menghadirkan perubahan besar. Jaringan listrik PLN akhirnya masuk ke Kampung Silit. Bagi sebagian warga, itu berarti kemudahan baru. Listrik yang tidak terbatas waktu dan daya yang lebih besar untuk peralatan modern.
“Tetapi tagihannya bisa sampai Rp100 ribu sebulan,” kata Krisnanda, pemuda kampung.
Krisnanda bilang, jumlah itu tiga kali lipat lebih besar daripada iuran PLTMH. Tarif tersebut membuat sebagian warga memilih skema hybrid, siang menggunakan PLN, malam kembali ke PLTMH. Selain lebih hemat, mereka juga masih merasa memiliki pembangkit mikro hidro sebagai bagian identitas kolektif kampung.
Sekitar 10 rumah bahkan belum memasang PLN dan masih sepenuhnya mengandalkan PLTMH. Kehadiran PLN tidak serta-merta mematikan PLTMH. Sebaliknya, keduanya kini saling melengkapi.
Energi dari Hutan
Lebih dari sekadar pembangkit, PLTMH menjadi simbol hubungan erat warga Kampung Silit dengan sungai dan hutan. Sebagian besar warga merupakan bagian dari komunitas adat Dayak Seberuang, yang hidup dengan prinsip menjaga keseimbangan alam.
Debit sungai menjadi kunci. Bila hutan rusak, air akan berkurang, dan turbin berhenti. Karena itu, warga menjaga wilayah hutan mereka dari pembalakan liar dan masuknya aktivitas eksternal yang membahayakan.
“Kalau hutan hilang, listrik hilang,” ujar seorang tetua kampung ketika saya diajak melihat hulu sungai.
Kalimat itu sederhana, tetapi menggambarkan betapa energi dalam kampung ini adalah buah dari hubungan timbal balik antara manusia dan alam.
PLTMH Peraya Pagelang Bersinar adalah bukti bahwa energi bersih dapat muncul dari inisiatif lokal, tanpa merusak lingkungan. Itu bukan sekadar mesin, namun penanda solidaritas, kemandirian, dan kesadaran ekologis.
Selama sungai mengalir dan hutan terjaga, cahaya kecil itu akan tetap menyala di tengah rimba Kalimantan Barat.*
