Kolase.id – Siapa yang tak kenal trenggiling? Satwa liar dilindungi ini berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem alam. Sayangnya, kesadaran manusia sebagai predator utama satwa Manis javanica ini terbilang sangat rendah. Perburuan terus terjadi dan mengantar kasus satwa ini bergerak dari hutan ke pengadilan.
Sekilas, trenggiling merupakan mamalia pemakan serangga, terutama semut dan rayap. Oleh karenanya, satwa ini lebih kenal sebagai anteater (pemakan semut). Nama trenggiling berasal dari Bahasa Melayu yakni mengguling atau guling yang berarti menggulung atau melingkar seperti bola.
Fakta lain trenggiling adalah satu-satunya mamalia yang tubuhnya tertutupi oleh sisik. Mereka termasuk hewan yang senang menyendiri dan cenderung aktif di malam hari. Umumnya, trenggiling bersarang di dalam tanah yang digali menggunakan cakarnya.
Cakar yang tajam juga digunakan untuk membongkar sarang semut dan rayap. Trenggiling dapat memakan hingga 70 ton semut dan rayap per tahun.
Trenggiling juga dikenal sebagai pengendali hama natural. Kebiasaan trenggiling menggali tanah untuk membuat sarang ini sangat berguna untuk membantu menggemburkan tanah karena membuat tanah menjadi teraduk dan teraerasi. Hal ini tentunya menguntungkan bagi para petani.
Trenggiling memiliki mekanisme mempertahankan diri yang cukup unik. Mereka akan menggulung diri menjadi bola sehingga sisik keras yang menutupi tubuh akan melindungi mereka dari terkaman atau cakaran predator.
Namun sayang sekali, pertahanan diri itu tidak cukup untuk melindungi mereka dari para pemburu dan malah mempermudah mereka untuk diambil. Ketika trenggiling menggulung badannya, pemburu hanya perlu mengangkat dan memasukkan mereka ke dalam wadah karena trenggiling tidak memberikan perlawanan lain.
Ada delapan spesies trenggiling yang tersebar di seluruh dunia; empat spesies ditemukan di Afrika, dan empat lainnya ditemukan di Asia. Salah satu spesies trenggiling yang paling dikenal adalah Manis javanica. Spesies ini paling banyak ditemukan di Indonesia, termasuk Kalimantan Barat.
Keberadaan trenggiling kini semakin berkurang karena perburuan yang marak terjadi untuk mengambil sisik dan daging dari hewan ini. Sisik dan daging trenggiling diyakini dapat memberikan manfaat bagi kesehatan manusia.
Pemanfaatan sisik dan daging trenggiling sudah dilakukan cukup lama terutama di Cina. Sisik trenggiling dianggap sebagai salah satu bahan dasar untuk membuat obat tradisional yang mujarab. Sementara dagingnya dianggap sebagai makanan mewah yang hanya dapat dikonsumsi oleh kelas masyarakat tertentu.
Pada tahun 2016, semua spesies trenggiling dipindahkan dari Appendix II CITES ke Appendix I CITES. CITES adalah perjanjian multilateral untuk melindungi flora dan fauna yang terancam punah dari ancaman perdagangan internasional. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut meratifikasi perjanjian ini.
International Union of Conservation Nature (IUCN) juga sudah menetapkan trenggiling sebagai satwa yang Terancam Secara Kritis (Critically Endangered), hanya satu tingkat lagi sebelum mereka memasuki status Punah di Alam (Extinct in The Wild).
Dari Hutan ke Pengadilan

Pengadilan Negeri Mempawah kini menjadi sorotan para aktivis dan jurnalis lingkungan di Indonesia. Pasalnya, lembaga yang menjadi benteng terakhir keadilan ini akan menggelar sidang pembacaan putusan oleh majelis hakim terkait kasus perdagangan 109 kilogram sisik trenggiling pada Selasa (27/8/2024).
Kasus ini menyeret terdakwa Muhammad Guntur bin Abdullah Umar duduk di kursi pesakitan. Pada sidang-sidang yang telah berlangsung sebelumnya, Guntur menyampaikan pembelaannya kepada majelis hakim agar dapat divonis bebas.
Alasannya, Guntur merasa dirinya bukan pelaku utama dan hanya bertugas menjual barang. Selain itu, dia juga memiliki istri dan anak yang masih kecil, serta pernah menjadi pengurus ormas NU di Bima.
Kendati sudah mengemukakan pembelaannya di hadapan majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum Josua Tua Hamonangan Manurung tetap kukuh pada tuntutan awal, tiga tahun penjara subsidair tiga bulan dan denda sebesar Rp30 juta rupiah.
Hakim Ketua Pemegang Sertifikat Hakim Lingkungan Hidup

Ketua Pengadilan Negeri Mempawah Muhammad Abdul Aziz yang bertindak sebagai hakim ketua dalam kasus perdagangan sisik trenggiling ini ternyata bukan sembarang hakim.
Hasil penelusuran di laman resmi Pengadilan Negeri Mempawah di https://www.pn-mempawah.go.id/pages/profil-sdm/profil-ketua, sosok kelahiran Kp Keude, 12 Maret 1974 ini tercatat mengantongi sejumlah sertifikat.
Jebolan S3 Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala ini telah melewati proses sertifikasi hakim dan jaksa, hakim tipikor, mediator, bahkan sertifikasi hakim lingkungan hidup. Ada setitik harapan di balik rekam jejak yang panjang dari sosok Muhammad Abdul Aziz. Di pundaknya, benteng terakhir keadilan eksosistem dipertaruhkan, termasuk keadilan bagi trenggiling.*