Kawal Pembatalan RUU Penyiaran

Ancaman kebebasan pers dan berekspresi di platform digital

Aksi penolakan RUU Penyiaran di Pontianak, Kalimantan Barat. Foto: Dok. Koalisi Jurnalis Kalbar

Kolase.id – Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang diusulkan saat ini menuai banyak perdebatan di antara masyarakat. Pasalnya selain mengatur konten penyiaran konvensional seperti Televisi dan Radio, RUU ini juga akan memperluas regulasi hingga mencakup konten di dunia maya.

Peraturan ini akan berpotensi mengancam kebebasan pers dan berekspresi di platform digital. Imbasnya masyarakat akan terhambat dalam menyuarakan ekspresinya karena ‘pengekangan’ oleh RUU Penyiaran ini. Melihat situasi tersebut, Lembaga Bantuan Hukum Kalimantan Barat (LBH Kalbar) mengadakan diskusi publik yang mengangkat tema ‘Mengawal Pembatalan RUU Penyiaran’.

Kegiatan ini berkolaborasi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pontianak, Jaringan Gusdurian, Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Tanjungpura (Untan), dan Politeknik Negeri Pontianak (Polnep). Diskusi diselenggarakan Jumat (21/06) di Kantor LBH Kalbar.

Ketua AJI Pontianak Rendra Oxtora menyampaikan keluhannya mengenai Pasal 50 B ayat 2 huruf c pada RUU Penyiaran yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, pasal ini akan berdampak pada kerja-kerja jurnalis dan mengancam fungsi jurnalis sebagai watchdog.

“Jika RUU itu disahkan akan berdampak pada kerja kita dalam melakukan investigasi, dimana investigasi itu adalah nafas dari jurnalisme. Polisi bisa melakukan penyadapan bahkan bisa melakukan takedown terhadap beberapa situs dengan konten yang tidak sesuai dengan mereka. Pemerintah saya lihat mencari celah untuk merepresi kebebasan pers,” ucapnya.

Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pontianak Yuniardi turut menyampaikan bagaimana tumpang tindih tugas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers dalam RUU Penyiaran ini.

“Kami menolak revisi undang-undang itu terlebih soal meluasnya peran KPI yang turut melakukan pengawasan. Padahal kami berpatok pada pasal yang ada di Dewan Pers. Intinya kami dari IJTI menolak revisi dari undang-undang ini,” ucapnya.

Suara penolakan juga datang dari perwakilan LBH Kalbar yang disampaikan oleh Irvan. Menurutnya dalam konteks hukum, pasal-pasal dalam RUU Penyiaran ini sangat bermasalah jika dilihat dari teori kewenangannya.

“Dalam konteks hukum KPI yang memegang wewenang itu sangat bermasalah. Karena itu milik Dewan Pers, itu adalah atributnya Dewan Pers. Sekarang atribut tersebut diambil paksa oleh KPI. Dalam teori kewenangan itu sudah bermasalah. Apalagi KPI punya kecenderungan dekat dengan pemerintah sementara Dewan Pers itu independen,” jelasnya.

Dari pandangan-pandangan kritis yang disampaikan oleh beberapa pihak dalam diskusi ini, dapat menjadi refleksi kita bersama untuk terus mengawal proses pembatalan revisi RUU Penyiaran ini. Demi memastikan kebebasan pers dan berekspresi tetap terlindungi di negara kita, Indonesia.*

Exit mobile version