Kolase.id – Hutan Kalimantan terus mengalami tekanan akibat perilaku industri ekstraktif yang dikelola tanpa mengedepankan kaidah-kaidah keberlanjutan. Kondisi ini diperparah oleh kebijakan proyek listrik biomassa yang turut mengancam hutan yang tersisa.
Demikian dikatakan Juru Kampanye Energi Trend Asia Bayu Maulana Putra saat menjadi pemantik diskusi bertajuk No Music on a Dead Planet di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Sabtu (14/9/2024)
“Di tengah krisis iklim yang semakin parah, ancaman hilangnya hutan di Kalimantan semakin meningkat, terlebih dengan maraknya proyek listrik biomassa,” kata Bayu.
Dia menjelaskan, setelah bertahun-tahun dieksploitasi oleh industri kayu dan pertambangan, hutan kini menghadapi ancaman baru dari pengembangan energi yang kembali mengorbankan ekosistem.
“Proyek-proyek seperti kebun kayu energi, kebun sawit biofuel, dan tambang mineral kritis dianggap sebagai ancaman utama,” kata Bayu.
Beberapa tahun terakhir, sambungnya, pemerintah gencar mengembangkan proyek listrik biomassa, mencampur kayu dengan batubara untuk menghasilkan listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Pemerintah mengklaim bahwa langkah ini bisa menekan emisi karbon yang memicu krisis iklim, namun kenyataannya proyek ini sangat rakus lahan.
Dibutuhkan sekitar 2,3 juta hektare lahan, atau 35 kali luas Jakarta untuk memenuhi pasokan biomassa kayu ke 52 PLTU. Dari total lahan tersebut, setidaknya satu juta hektare hutan alam akan dikorbankan untuk kebun kayu monokultur.
Namun, menurut Trend Asia, hal tersebut justru menguntungkan para konglomerat industri kehutanan. Sementara itu, masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan hutan justru semakin terdesak.
“Di Kualan Hilir, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, ada perusahaan kebun kayu seluas 136 ribu hektare yang dicurigai kayunya akan dibakar untuk energi. Kurun waktu 2021 – 2023, mereka telah menghilangkan hutan alam seluas 33 ribu hektare, yang mengancam keberadaan satwa endemik dan membuat masyarakat adat Dayak terusir dari ruang hidup mereka,” jelas Bayu.
Padahal, menurutnya, Kalimantan memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi terbarukan dari sumber daya air, surya, dan angin. Selain mendukung transisi energi, pengembangan energi terbarukan ini juga diharapkan mampu menyediakan listrik untuk daerah-daerah terpencil yang masih belum terjangkau jaringan listrik nasional.
“Pemanfaatan optimal energi terbarukan di Kalimantan dapat meningkatkan kemandirian energi, mengurangi emisi karbon, dan memperluas akses energi ke wilayah yang membutuhkan,” kata Bayu.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Hendrikus Adam mengatakan pemerintah Indonesia memiliki komitmen menekan laju emisi karbon, namun dalam perjalanannya pemerintah menjadi terkesan ambigu.
Banyak wilayah hutan dan lahan gambut yang seharusnya dilindungi, namun malah diberikan kepada sejumlah perusahaan perkebunan dan pertambangan untuk dibabat, hanya karena dalih mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Belum lagi rencana pembangunan PLTN yang jelas-jelas akan berdampak besar bagi lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat. “Saya rasa ini harus menjadi perhatian bersama, untuk meluruskan komitmen awal pemerintah terhadap lingkungan,” kata Adam.
Sementara itu, Lead Training Lembaga Gemawan Arniyanti mengatakan dalam menyikapi isu lingkungan NGO yang konsen di bidang ini harus memanfaatkan teknologi dalam menjalankan program kerjanya.
Dalam hal ini, pemanfaatan media sosial untuk kampanye lingkungan harus lebih masif agar bisa menyentuh generasi muda yang nobatene menjadi penerus dalam merawat keberlangsungan lingkungan yang lebih baik.
“NGO juga tentu harus meningkatkan kerja samanya dengan menggandeng sejumlah pihak terkait seperti musisi dan influencer serta media untuk menyuarakan keberlangsungan lingkungan yang lebih baik, agar bisa meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat dan bersama-sama menjaga lingkungan,” kata Arni.*