Kolase.id – Pagi itu, kondisi tanah masih basah oleh sisa embun. Derap langkah para perempuan Dusun Silit terdengar di jalan setapak menuju ladang. Berbekal parang, topi lebar, dan pengalaman turun-temurun, mereka memulai rutinitas yang telah diwariskan jauh sebelum dusun ini dikenal secara administratif.
Di balik aktivitas harian itu tersimpan upaya yang lebih besar, menata ketahanan ekonomi kampung melalui inovasi berbasis kearifan lokal. Dusun Silit, bagian dari Desa Nanga Pari, Kecamatan Sepauk, dihuni oleh 295 jiwa dari 78 keluarga, mayoritas suku Dayak Seberuang.
Dengan kondisi geografis yang terpencil dan akses pasar terbatas, masyarakat mengandalkan sumber daya alam serta praktik pertanian tradisional sebagai penopang hidup. Pada Jumat (21/11/2025), Reporter Kolase Alfiyyah Ajeng Nurardita, menurunkan reportasenya.
Ladang berpindah yang menjaga kesuburan
Praktik berladang dengan pola gilir balik menjadi identitas sekaligus sistem ekologis yang menjaga keseimbangan alam. Lahan dikelola secara berpindah, memberi waktu tanah untuk pulih tanpa bergantung pada pupuk kimia.
Sistem tumpang sari, yang memungkinkan dua atau lebih tanaman tumbuh bersamaan, menjadi teknik yang memadukan tradisi dan efisiensi.
Salah satu komoditas unggulannya adalah jahe ladang atau liak padi. Ukurannya lebih kecil dibanding jahe budidaya modern, tetapi aromanya kuat dan rasa pedasnya tajam. Jahe inilah yang kemudian membuka jalan bagi inovasi baru di Silit.
Inovasi dari dapur kampung
Pada 2022, WALHI Kalimantan Barat memberikan pelatihan pembuatan serbuk jahe instan kepada kelompok perempuan Inuk-Inuk Beteras. Pelatihan ini memantik semangat baru: dari sekadar bahan bumbu dan jamu, jahe ladang kini punya nilai ekonomi lebih tinggi.
Proses produksi berlangsung sederhana namun menyita tenaga. Setelah delapan bulan masa tanam, jahe dipanen, dibersihkan, ditumbuk, diperas, dan sarinya dimasak dengan gula hingga mengeras sebelum kembali ditumbuk menjadi bubuk. Seluruh proses memakan waktu sekitar tiga jam dan dikerjakan manual tanpa alat modern.
Ketua kelompok, Yuliana, menyebutkan bahwa selama dua tahun ini mereka mampu memproduksi belasan hingga puluhan kilogram serbuk jahe. Harganya mencapai Rp150 ribu per kilogram—nilai yang signifikan bagi ekonomi rumah tangga.
Namun, keberlanjutan produksi masih terhambat oleh faktor alam dan pasar. “Kadang jahe yang kami tanam busuk, itu salah satu kendala. Penampungannya juga masih sulit. Sejauh ini hanya WALHI yang menampung,” ujarnya.
Merawat warisan dalam ancaman
Selain bercocok tanam, para perempuan Silit mempertahankan warisan budaya menganyam. Menjelang panen, mereka membuat jenguk untuk menyimpan bibit, hingga tengkin untuk menjemur padi. Anyaman dilakukan menggunakan daun perupuk yang dijemur sehari sebelum dianyam.
Produk anyaman lainnya, ragak, tikar, senggak, dan tas, menjadi komoditas yang dapat dijual. Harga ragak berada di kisaran Rp50–70 ribu, sementara tikar bisa mencapai Rp200 ribu tergantung ukuran.
Namun, tradisi ini menghadapi ancaman serius: minimnya generasi penerus. “Semua orang di sini sebenarnya bisa menganyam, tapi hampir semuanya dilakukan ibu-ibu. Tidak ada generasi penerus,” kata Lusiana, salah satu penganyam aktif.
Dukungan minim, harapan tetap menyala
Inisiatif perempuan Silit ini diakui pemerintah desa, meski dukungan baru sebatas administratif.
“Kami sangat mendukung karena ini hasil budaya yang menambah pendapatan masyarakat. Bantuan uang memang belum ada, tapi untuk administrasi kami siap membantu,” ujar Yohanes Miludi, Kepala Desa Nanga Pari.
Yuliana, yang terus menggerakkan kelompoknya, menyimpan satu harapan sederhana namun tegas: perluasan pasar.
“Harapan ke depan kalau bisa kawan-kawan membantu kami agar bisa menjual lebih banyak,” ucapnya.
Jalan panjang membangun ekonomi lokal
Serbuk jahe dan anyaman bukan sekadar produk domestik; keduanya adalah representasi ketekunan perempuan Dayak Seberuang dalam menjaga budaya sekaligus membangun kemandirian ekonomi.
Di tengah keterbatasan akses dan regenerasi yang melemah, upaya mereka menunjukkan bagaimana pengetahuan lokal dapat bertransformasi menjadi peluang ekonomi.
Dengan dukungan pasar, pendampingan berkelanjutan, dan penguatan kapasitas, Dusun Silit memiliki potensi besar untuk menjadi model pengembangan ekonomi desa berbasis budaya yang tangguh.
Di ladang dan ruang anyaman itulah perempuan Silit menunjukkan bahwa warisan tak hanya dijaga, tetapi juga bisa menjadi sumber inovasi yang menghidupi.*
