Kolase.id – Koalisi masyarakat sipil menemukan serentetan fakta mengejutkan di konsesi milik PT Mayawana Persada. Perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik anak usaha Alas Kusuma Group ini terdeteksi merusak ekologi dan memicu konflik sosial di sekitar konsesi.
Berdasarkan laporan dari hasil riset yang dilakukan koalisi masyarakat sipil, ekspansi hutan tanaman industri atau HTI terus meningkat di Provinsi Kalimantan Barat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Akibatnya, deforestasi pun tak terhindarkan.
Peningkatan drastis deforestasi di konsesi HTI salah satunya yang terbesar dipicu oleh pembukaan hutan secara masif untuk konversi kebun kayu oleh PT Mayawana Persada, salah satu anak usaha Alas Kusuma Group.
Tiga dari empat usaha perkayuan Alas Kusuma ini merupakan pemegang sertifikat Forest Stewardship Council (FSC) –sertifikat yang memastikan bahwa kayu bersumber secara berkelanjutan di seluruh rantai pasokan. Salah satu anak usaha Alas Kusuma yang belum mengantongi sertifikat FSC dan terus melakukan praktik-praktik deforestasi hutan alam adalah PT Mayawana Persada.
Konsesi PT Mayawana Persada seluas 138.710 hektare membentang dari Kabupaten Ketapang hingga Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Sejak 2016 hingga 2022, PT Mayawana Persada telah menebang sekitar 20 ribu hektar hutan.
Perusahaan ini terus menebang hutan hingga 14 ribu hektar antara Januari dan Agustus 2023. Pada Oktober 2023, PT Mayawana Persada membuka hutan tambahan seluas 2.567 hektar.
“Dengan demikian, sejak 2016 hingga saat ini, PT Mayawana Persada telah menebangi hutan seluas sekitar 36 ribu hektar. Ini lebih dari separuh luas Kota Jakarta atau sekitar sepertiga luas Kota Pontianak,” ujar Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien dalam acara media briefing yang digelar di Hotel Aston Pontianak pada Senin, (11/12/2023).
Hal yang lebih parah lagi, pembukaan lahan dilakukan di kawasan hutan dengan nilai konservasi tinggi, yang merupakan habitat orangutan dan lahan gambut kaya karbon.
Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Nikodemus Alle menyebut, pemantauan yang dilakukan oleh tim Walhi Kalbar di sejumlah titik memperkuat bukti bahwa PT Mayawana Persada membuka lahan gambut dengan bukti berupa pembuatan kanal-kanal (pembuatan drainase).
“Pembukaan kanal-kanal ini menyebabkan pengeringan gambut, yang nanti rentan menyebabkan terjadinya kebakaran gambut. Areal ini berpotensi menjadi sumber Karhutla baru, padahal kita sudah lama berupaya memerangi Karhutla,” ujar dia.
Kajian yang dilakukan Walhi Kalbar merujuk data Atlas Nusantara menunjukkan bahwa sepanjang periode 2022- Oktober 2023, PT Mayawana Persada telah membuka dan mengeringkan lahan gambut seluas 14.505 hektar.
Artinya, aktivitas perusahaan telah mengeluarkan 797.775 metrik ton CO2 atau setara dengan 8.703.0000 galon bensin yang terbakar. “Bayangkan berapa banyak lagi emisi yang akan dihasilkan jika PT Mayawana Persada terus membuka seluruh lahan gambut di dalam konsesi mereka,” ujar Niko.
Selain kerusakan ekologis, kehadiran PT Mayawana Persada juga telah menyebabkan timbulnya konflik sosial dan melanggar hak-hak masyarakat di sekitar konsesi.
Ketua Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo (Link-AR Borneo) Ahmad Syukri mengatakan, rapid assessment yang dilakukan lembaganya membuktikan bahwa perusahaan tersebut telah secara nyata mengabaikan fakta bahwa tanah dan wilayah yang menjadi areal izin berusaha perusahaan merupakan wilayah, tanah, dan hutan yang telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat secara turun-temurun sebagai tempat hidup dan sumber penghidupan masyarakat.
“Pengambilalihan tanah masyarakat oleh perusahaan dilakukan secara paksa dan disertai dengan serangkaian tindakan intimidasi dan upaya kriminalisasi,” ujar pria yang akrab disapa Uki ini.
Ketua Pelaksana Harian AMAN Wilayah Kalimantan Barat Tono menambahkan, PT Mayawana Persada sudah berkali-kali dikenakan sanksi adat, namun tidak pernah jera serta terus saja membabat hutan masyarakat adat.
Akademisi Universitas Tanjungpura (Untan) Salfius Seko, menyebut perampasan tanah masyarakat adat oleh PT Mayawana Persada merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
“Wilayah adat merupakan ruang hidup masyarakat. Kalau ruang untuk mereka hidup diambil, maka mereka akan mati. Artinya, baik pemerintah yang memberi izin maupun korporasi yang mendapat izin telah merampas hak-hak hidup masyarakat,” ujar dia.
Salfius melanjutkan, kepentingan ekonomi/investasi semestinya tidak mengabaikan kehadiran masyarakat dan tidak menganggap semua wilayah konsesi itu adalah ruang kosong.
Izin-izin seperti ini mesti ditinjau ulang. Untuk itu, dibutuhkan political will pemerintah untuk berpihak kepada masyarakat, bukan hanya kepentingan korporasi/ekonomi semata.
Praktik-praktik buruk korporasi yang membabat hutan alam tidak bisa dibiarkan begitu saja dan harus diungkap kepada publik, terutama di tengah gembar-gembor klaim pemerintah di forum dunia COP28 ihwal penurunan angka deforestasi yang berkebalikan dengan fakta yang terjadi di lapangan.
Kangkangi Regulasi
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat telah menerbitkan Perda No 6 tahun 2018 tentang Pengelolaan Usaha Berbasis Lahan Berkelanjutan yang telah diundangkan sejak 2 Maret 2018. Regulasi ini dimaksudkan agar sumber daya alam dalam bentuk lahan di Kalbar dimanfaatkan secara bijaksana sesuai dengan karakteristiknya.
Asas dari pengelolaan usaha berbasis lahan berkelanjutan ini meliputi kelestarian dan berkelanjutan, keadilan, transparansi, manfaat, partisipasi dan akuntabilitas publik, kehati-hatian dini, eko-efisiensi, perlindungan optimal dan keanekaragaman hayati, desentralisasi, keterpaduan dan keseimbangan, ketertiban dan kepastian hukum, dan pengakuan kepemilikan masyarakat adat.
Merujuk pada hasil temuan koalisi masyarakat sipil di atas, dapat dipastikan bahwa PT Mayawana Persada telah mengangkangi Perda No 6 tahun 2018, khususnya pada BAB II Pasal 2 dan 3 yang menyasar asas dan tujuan pengelolaan usaha berbasis lahan berkelanjutan.*