Negara Mulai Menoleh
Sorotan publik mendorong respons dari parlemen daerah. Dalam media briefing 9 Desember 2025, Fransiskus Ason, Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Barat, menyatakan pihaknya telah menindaklanjuti laporan dari Link-AR Borneo dan WALHI.
“Sejak ada laporan dari Link-AR Borneo dan WALHI ke kantor dewan, kami sudah menanggapi. Tanggal 3 Oktober kami sudah memanggil pihak terkait. Ke depan (diperkirakan awal tahun 2026), PT Mayawana Persada juga akan kami panggil supaya kami mendapatkan penjelasan yang utuh, dan kami akan melihat aturan Kementerian Kehutanan—apakah ada pelanggaran atau tidak?” ujar Ason yang ketika itu ditemani sejawatnya di Komisi II, Marten Luter.
Ia menekankan bahwa pengawasan tidak boleh berhenti di ruang rapat. “Kami berpesan ke dinas terkait dan yang berkaitan dengan izin HTI agar menjalankan fungsi pengawasan. Jangan anggaran hanya habis untuk rapat. Instansi yang berwenang harus ikut andil mengawasi. Kepada perusahaan, ikuti aturan. Jangan ada kriminalisasi atau intimidasi. Kalau itu terjadi, saya imbau masyarakat melawan. Perusahaan yang model begitu tidak boleh dibiarkan,” tegasnya.
Pernyataan ini menjadi sinyal bahwa konflik di lapangan mulai memasuki ruang politik dan pengawasan formal negara.
Gambut, Kanal, dan Api yang Mengintai
Di Kalimantan Barat, gambut adalah benteng ekologis. Namun pemantauan lapangan 2025 menemukan kanal-kanal baru di Dusun Selimbung, Desa Sekucing Kualan. Air surut, tanah mengering, dan penanaman ulang akasia dilakukan.
Dalam audiensi dengan BKSDA Kalimantan Barat, disebutkan bahwa muka air gambut di sejumlah titik telah menurun, kondisi yang meningkatkan risiko kebakaran. Peneliti WALHI Kalimantan Barat menyebut situasi ini sebagai “bom waktu ekologis”.
PT Mayawana Persada membantah keras tuduhan pembiaran kebakaran. Melalui Humasnya, Anang, perusahaan menegaskan tidak pernah memerintahkan pembakaran lumbung padi atau lahan masyarakat.
Perusahaan mengklaim rutin melakukan sosialisasi pencegahan Karhutla, membentuk Masyarakat Peduli Api (MPA) di desa sekitar konsesi, dan menyadari sanksi berat jika terbukti melakukan pembiaran kebakaran.
Sarang Orangutan dan Dua Versi Konservasi
Di sela pembukaan hutan, warga menemukan tanda lain: sarang orangutan. WALHI Kalbar mencatat sedikitnya 18 sarang di beberapa blok konsesi. Menurut IUCN, lebih dari 57 persen wilayah konsesi berada dalam bentang habitat orangutan Kalimantan.
Perusahaan memiliki klaim berbeda. PT Mayawana Persada menyatakan telah melakukan monitoring bersama lembaga penelitian Ecositrop pada 2022 dan 2024, yang menurut mereka menunjukkan peningkatan populasi orangutan.
Pada 2025, perusahaan mengklaim kembali melakukan monitoring bersama Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura dan telah mengalokasikan sekitar 71 ribu hektare kawasan konservasi, termasuk untuk orangutan.
Suara dari Kampung
Di balik angka dan klaim, ada kisah yang lebih personal. Maria, warga lokal yang hadir dalam media briefing 9 Desember 2025, berbicara dengan suara bergetar.
“Saya sedih. Tadinya saya gembira menyanyikan lagu Indonesia Raya, karena berharap ada titik terang dari masalah kami ini. Tetapi kami merasa belum merdeka,” katanya.
Maria bercerita tentang kebun karetnya yang digusur.
“Lahan saya sekitar empat hektare dibabat habis oleh Mayawana Persada. Itu kebun karet yang dititipkan mendiang suami saya untuk hidup saya dan anak cucu saya. Sekarang habis,” sembari Bu Maria menyeka air matanya.
Ia juga mengisahkan warga lain yang lahannya diukur dengan janji ganti rugi, namun uang tak kunjung cair hingga orang tua warga tersebut meninggal dunia. “PT MP ini kejam kepada kami,” ucapnya lirih.
