Sosial  

Kesaksian Dari Tapak: Hutan Hilang, Harapan Hidup Musnah Ditelan Mayawana Persada

Berharap pemerintah turun tangan dan menegakkan keadilan bagi mereka yang kehilangan tanah dan masa depan akibat pembabatan hutan

Avatar
Marai Emoh, Warga Dusun Lelayang, Desa Kualan Hilir, Kabupaten Ketapang, tak kuasa menahan haru saat memberikan kesaksian di hadapan para jurnalis di Pontianak tentang nasib masyarakat adat yang telah kehilangan ruang hidupnya akibat perilaku ugal-ugalan PT Mayawana Persada. Foto: Andi Fachrizal/Kolase.id

Kolase.id – Maria Emoh, seorang perempuan paruh baya tak kuasa menahan air matanya. Dia mengenang masa-masa ketika hutan masih menjadi sumber utama penghidupan bagi keluarganya. Kini, masa indah itu sudah sirna. Berubah drastis sejak PT Mayawana Persada membabat habis kawasan yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya.

Maria Emoh adalah warga Dusun Lelayang, Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalbar. Di tengah isak tangis, Maria menceritakan bagaimana ia kini tak lagi mampu menyekolahkan anak bungsunya.

“Semuanya sudah habis. Saya tak akan menyerahkan tanah ini, biarpun saya miskin. Dari sinilah kami hidup, dari sinilah kami dulu bahagia,” ucapnya dengan suara bergetar.

Maria dan keluarganya telah bertahun-tahun menggarap lahan seluas 20 hektare, menanam karet dan tanaman lain untuk bertahan hidup. Namun, bukan hanya kehilangan tanah yang membuatnya sedih. Sebuah pondok milik orang tuanya yang selama ini menjadi lumbung padi mereka juga hangus dibakar.

“Itu harapan orang tua saya. Padi yang dikumpulkan sejak muda untuk masa tua mereka, kini musnah. Kami hanya ingin hidup seperti dulu, saat hutan masih ada dan kami bisa mencari nafkah dengan layak,” katanya lirih.

Tak hanya Maria, warga lain pun merasakan kepedihan yang sama. Fendy, Kepala Adat Dusun Lelayang, harus merelakan 38 hektare tanah yang telah ia usahakan sejak 2006 hingga 2018.

“Semuanya habis, tinggal kenangan,” katanya.

Ia berharap lahan yang telah dirampas bisa dikembalikan dan masyarakat mendapat ganti rugi yang layak sesuai dengan peraturan daerah Kabupaten Ketapang.

Fendy juga mengungkapkan bahwa sejak 2013 lalu, warga telah menolak keberadaan perusahaan ini. Namun, pada 2019, PT Mayawana Persada telah menyerobot lahan masyarakat secara ugal-ugalan.

“Untuk Dusun Lelayang, mereka bahkan tak pernah sosialisasi. Lahan kami dirampas begitu saja,” ungkapnya.

Meski telah bertahun-tahun memperjuangkan hak mereka, hingga kini belum ada perubahan. Fendy sendiri sudah 21 kali dipanggil pihak kepolisian karena mempertahankan hutan mereka.

“Kami hanya ingin keadilan,” tegasnya.

Warga Dusun Lelayang dan 14 desa lainnya di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara kini hanya bisa berharap agar pemerintah turun tangan dan menegakkan keadilan bagi mereka yang kehilangan tanah dan masa depan akibat pembabatan hutan.

Dampak perusakan hutan ini tidak hanya merenggut sumber penghidupan warga, tetapi juga memicu bencana.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *