Indonesia Siap Bangun Reputasi Sawit Berkelanjutan Menghadapi Dinamika Pasar Global

Produk CPO Indonesia sudah bersaing untuk pasar yang semakin hijau, apalagi Indonesia adalah produsen terbesar Certified Sustainable Palm Oil (CSPO).

Avatar
Industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia dituntut kesiapannya membangun reputasi sawit berkelanjutan guna menghadapi dinamika pasar global. Foto: Rizal Daeng

Kolase.id – Pembangunan hijau (green development) telah menjadi salah satu bagian integral dari arah pembangunan Tiongkok. Hal ini disampaikan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping pada Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis Tiongkok pada Oktober 2022 lalu.

Dalam pidatonya, Xi menjelaskan bahwa Negeri Tirai Bambu akan memprioritaskan perlindungan ekologis, pelestarian sumber daya dan penggunaannya secara efisien, serta pembangunan yang rendah karbon.

Dengan begitu, sinyal hijau dari Tiongkok sebagai salah satu pasar besar sawit global patut menjadi perhatian bersama. Terlebih, Tiongkok merupakan negara tujuan ekspor minyak sawit terbesar Indonesia saat ini.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan sebanyak 4,7 juta ton minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia diekspor ke Tiongkok pada 2021, 52,2% lebih banyak dari India dengan 3,08 juta ton pada tahun yang sama.

Tanpa antisipasi yang memadai, tidak menutup kemungkinan bahwa hambatan-hambatan non-tarif dapat menjadi tantangan dalam perdagangan sawit nasional ke depannya, termasuk ke Tiongkok.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Agam Fatchurrochman menyatakan kesiapan pelaku industri akan permintaan produk sawit yang berkelanjutan.

“Kami yakin produk CPO Indonesia sudah bersaing untuk pasar yang semakin hijau, apalagi Indonesia adalah produsen terbesar Certified Sustainable Palm Oil (CSPO). Jika Tiongkok meminta sertifikat berkelanjutan, kita semua ada, baik yang bersifat mandatory ISPO yang sudah mencapai hampir 5 juta ha, maupun bersifat voluntary RSPO, sebanyak 2,4 juta ha,” ungkapnya setelah acara Multistakeholder Workshop “Menjaga Akses Pasar Utama Sawit Asia Tenggara” belum lama ini.

Agam juga menekankan, pelaku industri telah berupaya untuk menguatkan sistem sertifikasi ISPO nasional. Hal ini diwujudkan dengan memperbaiki prinsip dan kriteria ISPO Hulu di sisi perkebunan yang sudah dilakukan sebanyak 3 kali.

Kendati demikian, Agam menilai pemerintah masih harus menyelesaikan standard untuk ISPO hilir, yaitu di sisi pembeli (buyer) dan penyuling (refinery) untuk memenuhi permintaan pasar. Upaya tersebut dilakukan dalam rangka membangun reputasi minyak sawit Indonesia di pasar global untuk mengantisipasi dinamika akses pasar yang lahir dari transisi menuju praktik yang berkelanjutan.

Dalam empat tahun terakhir sinyal hijau Tiongkok termasuk di sektor sawit sudah bermunculan. Hal ini terlihat dari beberapa inisiatif, seperti pembentukan Aliansi Minyak Sawit Berkelanjutan Tiongkok (CSPOA) pada 2018 hingga pengembangan Panduan Konsumsi Minyak Sawit Berkelanjutan pada 2022 oleh CSPOA, di mana China Chamber of Commerce of Foodstuffs and Native Produce (CFNA) dan World Wildlife Fund (WWF) tergabung di dalamnya.

Inisiatif ini didorong untuk merintis percontohan praktik tranformasi menuju green value chain yang memberikan win-win solution oleh perusahaan di dalam koordinasi CFNA.

Bahkan dari segi konsumen, survei Status Konsumsi Hijau Masyarakat Umum di Tiongkok 2019 menyebutkan 83,34% responden menyatakan dukungan untuk perilaku konsumsi hijau.

Senada dengan Agam, Desriko Malayu Putra, Senior Policy Coordinator Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) berpendapat bahwa tata kelola yang baik dapat menjadi faktor untuk membangun reputasi sawit Indonesia.

“Tata kelola sawit yang diperlukan saat ini adalah melalui kolaborasi baik di tingkat regional dan global untuk pemenuhan aspek-aspek keberlanjutan yang terkandung dalam skema sertifikasi ISPO dan RSPO. Aspek keberlanjutan tidak hanya dipenuhi pada level perusahaan atau badan usaha, melainkan sampai di tingkat petani dengan pendampingan khusus yang melibatkan pemerintah daerah, perusahaan, dan lembaga pendamping,” ujar Desriko (18/01/23).

Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor sebagai kunci mempercepat penerapan keberlanjutan di industri kelapa sawit. Pihaknya memberikan contoh dari kolaborasi tersebut, saat RSPO mengembangkan program untuk smallholder trainer academy bagi petani-petani sawit.

Semangat yang sama juga ditunjukkan LTKL, di mana semua pemangku kepentingan diajak untuk saling memberikan dukungan dalam pencapaian target keberlanjutan dalam satu yurisdiksi kabupaten.

Terkait upaya lintas sektor untuk merespons sinyal praktik hijau pasar besar, World Resources Institute (WRI) Indonesia berkolaborasi dengan Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan (Fortasbi) dan pemangku kepentingan sawit lainnya telah menginisiasi multistakeholder workshop pada 9 November 2022.

Kegiatan tersebut diikuti oleh berbagai pemangku kepentingan sawit yang terdiri dari pemerintah/regulator; pelaku usaha; pakar/akademisi dan lembaga sertifikasi; serta organisasi masyarakat sipil.

Supply Chain and Livelihood Transformation Senior Manager di WRI Indonesia Bukti Bagja menyampaikan forum multipihak ini diharapkan dapat menyinergikan upaya bersama para pemangku kepentingan industri sawit untuk menyiapkan sawit Indonesia ketika pasar-pasar besar sudah mulai mendorong praktik berkelanjutan di sektor sawit.

Menurutnya, hal ini penting dilakukan untuk menjaga hubungan perdagangan komoditas sawit Indonesia dengan pasar-pasar ekspornya, sehingga dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Melalui diskusi yang interaktif ini, forum tersebut telah menghasilkan rekomendasi yang menyoroti sejumlah peluang dan upaya kolaboratif yang perlu dilakukan untuk mendorong sawit berkelanjutan di Indonesia.

Salah satu poin utamanya menyoroti rentang waktu yang relatif lebih longgar di pasar Asia yang merupakan peluang bagi Indonesia untuk memperbaiki tata kelola sawit di dalam negeri, sembari merumuskan strategi diplomasi sertifikasi sawit nasional di pasar Asia, termasuk Tiongkok secara lebih proaktif.

Forum tersebut juga mengusulkan pentingnya skema insentif, baik untuk petani swadaya dan juga pemerintah daerah penghasil sebagai stimulus untuk mendorong adopsi prinsip berkelanjutan.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *