Di Tengah Cengkeraman Oligarki, Walhi Kalbar Serukan Demokrasi yang Berpihak pada Rakyat

Peringatan 45 tahun Walhi dan 35 tahun Walhi Kalbar ini menjadi pengingat bahwa demokrasi sejati lahir dari rakyat yang berdaya, bukan dari segelintir elite yang menguasai sumber daya

Diskusi dan Refleksi Gerakan Lingkungan yang menjadi rangkaian dari perayaan 45 tahun Walhi dan 35 tahun Walhi Kalbar di Pontianak, Rabu (15/10/2025). Foto: Dok. Walhi Kalbar

Kolase.id – Selama satu dekade terakhir, Indonesia kehilangan lebih dari 4,3 juta hektare hutan primer, sementara konflik agraria meluas hingga 1,1 juta hektare, melibatkan puluhan ribu keluarga di berbagai daerah.

Kalimantan Barat menjadi salah satu potret paling nyata bagaimana kekuasaan ekonomi dan politik saling menopang, menyingkirkan masyarakat lokal, serta membungkam partisipasi publik.

Isu ini mengemuka dalam peringatan 45 tahun Walhi dan 35 tahun Walhi Kalimantan Barat, yang digelar di Sekretariat Walhi Kalbar di Pontianak, Rabu (15/10/2025). Kegiatan dirangkai dengan sebuah diskusi bertajuk “Potret Kejahatan Oligarki di Kalimantan Barat: Bagaimana Demokrasi Bisa Terwujud?”

Dalam diskusi itu, Hermawansyah, anggota individu Walhi Kalbar sekaligus pendiri Lembaga Gemawan, menyoroti bagaimana watak demokrasi era Orde Baru masih membayangi sistem politik Indonesia hingga kini.

Menurutnya, karakter demokrasi Orde Baru yang ekspansif, di mana kekuasaan pemerintah menjalar ke seluruh aspek kehidupan masyarakat, masih terasa.

Begitu pula watak eksploitatif, yang tampak dari kebijakan pintu terbuka untuk investasi besar-besaran tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan hak masyarakat adat.

“Pemilu 2024 merupakan wujud dari warisan karakter demokrasi Orba yang semakin memperkuat oligarki. Fenomena ini tidak hanya terlihat di tingkat nasional, tetapi juga tercermin dalam realitas politik daerah,” ujar Hermawansyah.

Ia menambahkan, oligarki di pemerintahan daerah, termasuk di Kota Pontianak, merupakan produk sistem yang hanya bisa diakses oleh mereka yang berduit dan populer.

“Oligarki yang berlangsung pada Pemerintah Kota Pontianak ini adalah produk sistem hari ini, sistem yang hanya bisa diakses oleh orang-orang berduit dan punya popularitas. Sayangnya masyarakat cenderung pasrah dan menerima, maka dari itu pentingnya untuk menanamkan sikap kritis dalam kehidupan sehari-hari,” ucapnya.

Di lapangan, dominasi oligarki sering menjelma dalam bentuk konflik agraria dan perebutan ruang hidup rakyat. Situasi ini menggambarkan bagaimana demokrasi substantif belum benar-benar hadir di tengah masyarakat.

Norman Jiwan, anggota individu Walhi Kalbar bilang, menciptakan konflik merupakan strategi yang digunakan oligarki untuk mempertahankan kekuasaan ekonomi mereka.

“Membuat konflik adalah cara yang dilakukan oligarki, wujudnya berupa land grabbing atau perampasan tanah,” jelasnya.

Namun, Norman menegaskan, di balik situasi yang pelik, terdapat praktik-praktik baik yang tumbuh dari perjuangan masyarakat di tingkat akar rumput.

“Ada kemenangan-kemenangan kecil yang diraih masyarakat dalam melawan oligarki yang besar itu, seperti kekompakan masyarakat Kenabak Hulu yang memperjuangkan 4.000 hektare lahan mereka, serta masyarakat Balai Gemuruh yang berhasil menuntut kembali 1.297 hektare lahan yang sebelumnya masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU),” ujarnya.

Meski oligarki kian mencengkram, perjuangan warga di tingkat tapak menjadi simbol bahwa harapan belum padam.

Perlawanan masyarakat untuk mempertahankan ruang hidupnya menjadi refleksi nyata bahwa demokrasi tidak semata ditentukan oleh sistem elektoral, melainkan oleh kesadaran dan keberanian rakyat.

Hermawansyah kembali menarik temali diskusi. Dia bilang, peringatan 35 tahun Walhi Kalimantan Barat ini menjadi pengingat bahwa demokrasi sejati lahir dari rakyat yang berdaya, bukan dari segelintir elite yang menguasai sumber daya.

“Refleksi ini menegaskan bahwa demokrasi sejatinya lahir dari keberanian rakyat mempertahankan ruang hidupnya,” tutup Hermawansyah.*

Exit mobile version