DI TENGAH tekanan geopolitik global, krisis iklim, dan meningkatnya kebutuhan pembiayaan pembangunan, efisiensi fiskal menjadi keniscayaan. Namun efisiensi yang hanya berorientasi pada angka bisa berbalik menjadi jebakan: memangkas belanja tanpa menimbang keadilan sosial dan ekologis.
Padahal, anggaran negara—baik APBN maupun APBD—bukan sekadar tabel belanja dan defisit, melainkan cermin arah politik dan moral ekonomi bangsa. Pertanyaannya: apakah kebijakan fiskal kita berpihak pada rakyat dan lingkungan, atau hanya pada neraca dan pasar?
Dalam konteks geopolitik fiskal, kebijakan Transfer ke Daerah (TKD) merefleksikan bagaimana pemerintah pusat memandang dan memperlakukan wilayah-wilayahnya. Ketika pemerintah pusat mengumumkan rencana penyesuaian TKD dalam RAPBN 2026, banyak pemerintah daerah membaca sinyal yang tidak ringan: ruang fiskal mereka akan semakin sempit, sementara tanggung jawab pembangunan tetap besar.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa porsi TKD terhadap total belanja negara menurun menjadi sekitar 27,6 persen pada RAPBN 2026, dari 29,3 persen pada 2024 dan 28,1 persen pada 2025.
Di sisi lain, kemampuan daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagian besar provinsi masih stagnan—terutama di kawasan timur Indonesia yang kaya sumber daya tetapi lemah secara fiskal. Bappenas dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 juga menegaskan bahwa tantangan fiskal daerah bukan hanya soal efisiensi, melainkan juga adaptasi terhadap risiko iklim dan bencana.
Kalimantan Barat bisa menjadi cermin kasus tersebut. Provinsi ini memiliki tutupan hutan dan gambut yang luas, namun masih menghadapi beban fiskal berat akibat kebutuhan infrastruktur dasar dan pemulihan kawasan pascatambang. Ketimpangan fiskal semacam ini berpotensi melahirkan ketimpangan ekologis—daerah kaya sumber daya justru menanggung biaya lingkungan yang tidak sebanding dengan kapasitas fiskalnya.
Inilah yang disebut geopolitik fiskal: kekuasaan yang mengalir melalui anggaran. Arsitektur fiskal menentukan siapa yang kuat dan siapa yang tertinggal dalam peta pembangunan nasional.
Jika TKD dikurangi tanpa memperkuat kemandirian daerah dan mekanisme redistribusi yang adil, maka sentralisasi fiskal hanya akan memperlebar jurang ketimpangan antarwilayah. Dalam jangka panjang, hal itu dapat mengikis rasa keadilan fiskal dan melemahkan legitimasi politik pembangunan di tingkat lokal.
Kebijakan fiskal yang sehat bukan hanya yang menekan defisit, tetapi juga yang menumbuhkan daya lenting sosial dan ekologis, memperkuat ketahanan daerah, serta menjaga keseimbangan alam dan daya dukung lingkungan.
Efisiensi tanpa keadilan hanyalah bentuk penghematan yang membebani generasi berikutnya. Negara perlu berani menata fiskalnya dengan nurani—agar efisiensi tak menjelma menjadi pengingkaran terhadap tanggung jawab sosial dan ekologisnya.
Kini, ketika negara menata kembali postur fiskalnya, paradigma hubungan antara pusat dan daerah perlu ditinjau ulang — dari relasi administratif menuju relasi solidaritas. Di tengah krisis iklim dan tekanan geopolitik global, kebijakan fiskal seharusnya tak sekadar menjadi instrumen pengendalian anggaran, tetapi juga alat penguatan kedaulatan dan kemandirian lokal. Keadilan fiskal harus diletakkan sebagai fondasi keutuhan nasional. Sebab Indonesia yang kuat dan mandiri secara fiskal hanya akan lahir dari provinsi, kabupaten, dan kota yang berdaya secara fiskal pula.
Pada titik inilah, kita perlu menghidupkan kembali dua gagasan klasik yang kini terasa kian relevan: pembangunan seluruh wilayah Indonesia dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Dua frasa yang pernah menjadi ruh perencanaan pembangunan nasional itu mengingatkan kita bahwa kemajuan tidak seharusnya diukur semata dari angka pertumbuhan ekonomi atau surplus fiskal, melainkan dari seberapa merata kesejahteraan dibagikan dan seberapa tegak martabat manusia dijaga di setiap jengkal nusantara.
Geopolitik fiskal yang berkeadilan berarti memastikan setiap rupiah anggaran menjadi investasi bagi pemerataan, keberlanjutan, dan kemanusiaan. Di sanalah sesungguhnya masa depan keutuhan Indonesia dipertaruhkan—bukan pada besarnya angka pertumbuhan, melainkan pada seberapa nyata keadilan dirasakan hingga ke pelosok negeri.*