Kolase.id – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat menyerukan kepada seluruh elemen rakyat untuk bahu-membahu mengawal demokrasi di Republik ini agar tetap berdenyut. Selain itu, Walhi juga meneguhkan sikap dan perlawanannya terhadap upaya busuk para politisi pembegal konstitusi.
Aksi massa sebagai respon atas rencana pengesahan revisi UU Pilkada pada 22 Agustus 2024 oleh DPR RI masih berlanjut di berbagai wilayah Indonesia hingga kini. Meski pihak parlemen telah menyatakan pembatalan revisi, tidak menyurutkan elemen gerakan rakyat untuk turun ke jalan mengecam rencana busuk tersebut.
Walhi Kalimantan Barat menjadi bagian elemen masyarakat sipil yang turut menaruh perhatian serius atas upaya pembangkangan konstitusi ini. Karenanya, pada Jumat (23/8/2024), Walhi Kalbar turut hadir membersamai gerakan mahasiswa menyuarakan keprihatinan atas kondisi demokrasi saat ini yang tidak sedang baik-baik saja.
Situasi demokrasi saat ini bukan sekadar tidak baik-baik saja, namun sedang dikangkangi dan sedang sakit. Karenanya, hakikat demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat perlu dikembalikan pada khittah-nya. Pada saat yang sama bila wakil rakyat di Senayan tidak bisa lagi diharapkan untuk memperbaiki situasi yang ada, maka gerakan elemen rakyat menjadi pilihan. Demokrasi mesti tegakkan dan perlu dipulihkan.
“Walhi Kalbar menjadi bagian dari elemen yang turut ambil bagian aksi ke jalan, karena dengan pembiaran demokrasi yang sedang tidak baik-baik ini, warga sipil akan semakin dihadapkan pada situasi sulit,” jelas Hendrikus Adam, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar.
Menurutnya, hanya dengan situasi demokrasi yang baik dan sehat, rakyat dapat berkontribusi tanpa harus dihantui rasa cemas dan takut. “Karenanya, demokrasi mesti ditegakkan dan dipulihkan, sementara upaya pembangkangan konstitusi mesti dilawan,” katanya.
Hendrikus Adam mengingatkan, kendati Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad telah menyatakan pembatalan pengesahan revisi UU Pilkada dan pendaftaran pilkada 27 Agustus mengikuti keputusan judicial review Mahkamah Konstitusi, hal itu patut dicermati secara kritis.
Sebab, pembatalan pengesahan revisi RUU Pilkada dimaksud, dapat dipahami pada saat diumumkan hingga pendaftaran Pilkada. “Jadi, bukan berarti pembatalan tersebut akan permanen dan revisi UU Pilkada sama sekali tidak akan disahkan ke depan. Karenanya rencana pengesahan revisi UU Pilkada dan Putusan MK perlu dikawal,” sebutnya.
Lebih lanjut, Hendrikus Adam mengatakan upaya revisi UU Pilkada tidak lebih dari cara culas elit di parlemen untuk mengelabui rakyat yang selama ini dianggap diam untuk memuluskan kepentingannya. Tantangan ke depan yang perlu dikawal di daerah adalah proses pilkada pada 27 November 2024.
“Mengapa perlu dikawal, karena ini bisa menjadi ajang politik transaksional untuk memperoleh ongkos politik dan menukarnya dengan komitmen legitimasi bagi pemilik usaha menjarah sumber daya alam di wilayah masyarakat adat dan masyarakat lokal,” ungkap Hendrikus Adam.
Proses demokrasi tingkat daerah melalui pilkada ini juga perlu dikawal agar hak-hak warga tidak diselewengkan dan kepentingan rakyat lebih diutamakan. Sementara fenomena kotak kosong dalam perhelatan pilkada menggambarkan kemunduran dan tidak sehatnya demokrasi serta kepentingan elit lebih dominan.
“Pada sisi lain, dengan situasi demokrasi yang tidak baik-baik ini, tekanan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup juga kian kuat. Praktik ekonomi ekstraktif dengan cara menjarah hutan, tanah, dan air di sekitar wilayah hidup komunitas adat, semakin menuntun kita pada jurang yang terjal,” tutup Hendrikus Adam.*