Kolase.id – Penggunaan styrofoam masih menjadi hal yang lumrah di masyarakat, terlebih lagi pada momentum Ramadan. Dilansir dari KLHK, timbulan sampah di bulan Ramadan tercatat naik 20% dikarenakan jumlah sisa makanan dan sampah kemasan.
Saat menjalankan ibadah puasa, para pelaku usaha memanfaatkan kesempatan ini untuk berjualan karena tingkat konsumsi masyarakat membeli makanan di luar cukup tinggi. Tidak sampai di situ, puncak penghasil sampah dan styrofoam masih akan melonjak hingga Idul Fitri.
Maraknya styrofoam beredar di masyarakat karena styrofoam mudah didapat, harganya murah, dan mampu menahan suhu panas makanan dengan baik. Berdasarkan kondisi itu, tidak heran jika upaya pengurangan sampah styrofoam masih menjadi persoalan utama. Dampak yang paling terlihat dari penggunaan styrofoam adalah lingkungan yang tercemar.
Di Indonesia, sampah styrofoam menjadi kategori sampah yang paling banyak ditemukan di wilayah perairan. Hal ini tentunya menjadi masalah serius karena sampah styrofoam adalah sampah abadi dan sulit terurai.
Styrofoam butuh waktu setelah 500-1 juta tahun untuk hancur. Itu pun tidak sepenuhnya terurai, melainkan berubah menjadi mikroplastik yang dapat mencemari lingkungan. Di samping itu jika sampah styrofoam dibakar akan menimbulkan kandungan dioksin yang dapat meracuni ekosistem sekitar dan membahayakan kesehatan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (Ditjen PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2021, terdapat 24 persen atau sekitar 16 juta ton sampah yang tidak dikelola dan hanya berakhir di TPA.

Jika tidak segera diatasi, bumi tempat kita tinggal akan didominasi oleh sampah. Kehidupan kita ke depannya pun tidak bisa berdampingan dengan alam yang asri melainkan dengan pencemaran sampah.
Dibutuhkan upaya dan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat dalam mengatasi permasalahan sampah. Oleh karena itu The Antheia Project sebagai komunitas peduli lingkungan yang dipelopori oleh para pemuda, berinisiatif untuk memulai gerakan waste management.
Diawali dari hal yang mendasar, The Antheia Project akan memberikan edukasi kepada generasi muda yang memiliki peran sebagai agent of change. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kondisi lingkungan secara global tentang masalah sampah melalui edukasi, aksi, dan kolaborasi.
Edukasi adalah langkah awal yang ditempuh untuk meningkatkan kapasitas dalam memahami berbagai masalah lingkungan. Generasi muda sebagai ujung tombak dan harapan memulai komitmen untuk menerapkan sustainable living sekarang juga untuk menikmati lingkungan lestari di masa depan.
The Antheia Project berkolaborasi dengan American Institute of Chemical Engineers Universitas Indonesia Student Chapter (AIChE UI SC) dalam menyerukan dan mengajak kaum muda memulai sustainable living dan mengedepankan isu penanganan sampah khususnya styrofoam.
Dalam kegiatan educational camp, partisipan tidak hanya berperan pasif. Selain diberikan ilmu pengetahuan baru, juga ada kegiatan workshop memilah sampah sebagai simulasi sustainable living.
The Antheia Project bersama AIChE UI SC menggelar The Antheia Project Educational Camp Road Show #SayNoToStyrofoam dengan tema “Mari Pilah Sampah dari Rumah!” yang dilaksanakan di Kampus Universitas Indonesia (12/4/2023).
Narasumber yang hadir antara lain; Ruhani Nitiyudo, Co Founder of The Antheia Project; Samira Jha, Co Founder of The Antheia Project; Dr. Mahawan Karuniasa, Pendiri & Direktur Environment Institute dan Dosen Universitas Indonesia; Rico Herdiansyah, Head Of Creative Project Coordinator Greenwelfare; Ignatius Mario, Waste Management Project Manager The Antheia Project; Ferdinand Joachim, Content Creator The Antheia Project.
Samira Jha, Co Founder of The Antheia Project saat membuka pembicaraan mengatakan The Antheia Project bergerak di bidang pengelolaan sampah, untuk masa depan yang lebih baik.
“Kami memberikan informasi kepada orang banyak khususnya generasi muda untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang masalah lingkungan, secara global. Hal ini dilakukan demi terciptanya masa depan di mana alam dan manusia hidup berdampingan secara berkelanjutan untuk memulihkan keseimbangan lingkungan” kata Samira.
Hingga kini, kata Samira, plastik dan styrofoam masih menjadi topik utama dalam waste issue. Apalagi saat ini masuk bulan Ramadan dan volume sampah styrofoam cenderung naik. Mereka sulit terurai dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Itu pun bisa berubah menjadi mikroplastik dan dapat mencemari lingkungan karena proses pembuatan styrofoam melepaskan 57 jenis zat berbahaya ke udara.
“Inilah yang saat ini menjadi concern kami, kami harap perjuangan kami ini bisa diikuti oleh banyak anak muda di Indonesia. Sekaligus melalui kampanye kami dalam momentum bulan Ramadan, ingin mengajak anak muda memberikan kedisiplinan menerapkan sustainable living” kata Samira.
Ruhani Nitiyudo, Co-Founder of The Antheia Project mengatakan melalui kampanye #SayNoToStyrofoam, The Antheia Project membawa misi sustainable living yang bebas dari permasalahan sampah khususnya sampah styrofoam.
“Kita mengajak masyarakat untuk berhenti menggunakan styrofoam dan mulai merawat alam dalam kehidupan sehari-hari agar bisa menciptakan kehidupan yang sehat. Misi ini sejalan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 yang menargetkan pengurangan sampah no single use plastic termasuk styrofoam pada tahun 2030” kata Ruhani.
“Sampah styrofoam merupakan masalah yang harus segera diatasi dan membutuhkan komitmen, kolaborasi, dan kerjasama untuk menyukseskan gerakan ini. Sebagai generasi yang masih aktif dan produktif, kita bisa mengajak masyarakat untuk mulai mengurangi sampah. Sustainable living mampu mencegah hal yang mubazir dan berlebih-lebihan, seperti membawa kantong belanja sendiri dari rumah, sisa sampah makanan dijadikan kompos, membawa tempat makan dan minum sendiri. Hal ini juga yang diajarkan dalam bulan Ramadan. Senafas dengan memperhatikan etika dan nilai-nilai moral terpuji yang dianjurkan dalam ajaran Islam,” ujar Ruhani.
Dr. Mahawan Karuniasa, Pendiri & Direktur Environment Institute dan Dosen Universitas Indonesia berpendapat bahwa implementasi pengolahan sampah perlu dipahami oleh semua orang karena titik krusialnya ada pada pemilahan jenis sampah, bukan hanya konsepnya.
“Pertama, kita melihat sumber sampah. Kemudian kita harus memahami bahwa jika semakin sejahtera, maka konsumsi sampahnya juga semakin banyak. Artinya, sampahnya juga semakin banyak. Kedua, setelah sampah dipilah lalu diangkut, seharusnya jangan dijadikan satu lagi. Semua orang harus memiliki kesadaran mulai dari tidak membuang sampah sembarangan dan diikuti pemilahan sampah. Kita juga membutuhkan sarana untuk menampung hasil pemilahan dan juga pengangkutan dari hasil pemilahan tersebut,” imbuh Mahawan.
Ia juga mengatakan bahwa tempat pembuangan akhir (TPA) itu bukanlah tempat berakhirnya sampah, namun merupakan tempat pengelolaan sampah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memiliki rencana yang menargetkan tidak lagi membangun TPA setelah tahun 2030.
“Kalau hanya ditumpuk tanpa diproses ya sama saja. Maka dari itu, investasi pengetahuan cara pengelolaan sampah ini menjadi poin penting. Rencana KLHK merupakan target yang ambisius. Namun perlu perubahan drastis untuk mencapainya dari kita juga” sebutnya.
Rico Herdiansyah, Head Of Creative Project Coordinator Green Welfare Indonesia memberikan pandangan lain dari sisi peran generasi muda. Menurutnya para pemuda dapat mulai dengan mendukung gerakan kampanye peduli lingkungan, memberi motivasi untuk memulai pergerakan, dan memberi pengetahuan dasar dalam memulai suatu gerakan lingkungan.
Selain itu, mereka juga harus memanfaatkan sosial media untuk meningkatkan minat publik terhadap isu lingkungan. Peran generasi muda dalam kampanye #SayNoToStyrofoam ini dapat memperkuat masa depan bumi yang lebih hijau.
“Let’s do something. Kita percaya kalau kita punya ide untuk melakukan movement bersama-sama pasti dampaknya lebih besar. Semua orang punya tanggung jawab pada lingkungan. Mulai gunakan produk yang ramah lingkungan, seperti sedotan bambu atau logam serta benda apapun yang dapat digunakan kembali,” ucap Rico.
Pihaknya sangat mendukung aksi #SayNoToStyrofoam ini karena kita ada di pihak yang sama. “Artinya, kami peduli dengan alam dan kami ingin melindungi sebanyak yang kami bisa,” ucap Head Of Creative Project Coordinator Green Welfare Indonesia itu.
Ignatius Mario, Waste Management Project Manager The Antheia Project dan Ferdinand Joachim, Content Creator The Antheia Project memimpin workshop waste management mengatakan kegiatan ini merupakan aktivitas untuk mengelola sampah dari awal hingga pembuangan.
Prosesnya meliputi pengumpulan, pengangkutan, perawatan, dan pembuangan, diiringi oleh monitoring dan regulasi manajemen sampah. Pengelolaan sampah dapat dilakukan 3R, yakni mendaur ulang sampah (recycle), mengurangi produksi sampah (reduce), serta menggunakan kembali barang yang kualitasnya masih layak (reuse)” sahut Ferdinand.
“Dalam proses pengurangan sampah, pemilahan sampah juga penting untuk dilakukan. Kita bisa memulai dengan cara sederhana memisahkan sampah organik, kertas dan plastik. Selanjutnya dari ketiga jenis sampah tersebut dapat kita sesuaikan cara pengolahannya. Pelatihan ini adalah cara kami untuk memberikan solusi sederhana pengurangan sampah,” sebut Mario.*