Kolase.id – Ancaman perubahan iklim yang terjadi belakangan membuat tokoh perempuan maritim Indonesia Susi Pudjiastuti ikut bereaksi. Naiknya suhu, kemarau berkepanjangan, hingga curah hujan yang tak beraturan menunjukkan adanya permasalahan yang disebabkan keserakahan dan ketamakan manusia.
Hal ini diungkapkan Susi saat menjadi keynote speaker forum bertajuk “Narasi Media dan Peran Perempuan dalam Konservasi Laut dan Pesisir” pada Green Press Community (GPC) yang diselenggarakan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of Indonesian Environmental Journalists/SIEJ) di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Kamis (9/11).
“Suhu panas ini juga erat kaitannya dengan perubahan iklim. Seperti panas terlalu tinggi dan hujan semakin tak beraturan. Lalu angin juga tak beraturan,” kata Susi.
Susi, yang berbicara lewat aplikasi Zoom, mencontohkan tempat tinggalnya di Pangandaran, Jawa Barat yang dianggapnya makin panas. “Dulu kalau musim kemarau suhunya 19 sampai 20 derajat. Sekarang bisa sampai 27 derajat. Cuaca makin panas,” kata Susi.
Ia mengamini bahwa salah satu penyebabnya adalah ulah manusia. “Penyebabnya kita yang melakukan kerusakan. Baik disengaja atau tidak. Tetapi terbanyak karena ketamakan dan keserakahan,” jelas Susi dengan nada bicara agak meninggi.
Tak hanya faktor cuaca, Susi juga menyoroti dampak kerusakan lingkungan di laut hingga lahan pesisir. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya lahan tambak baru hingga berdampak pada berkurangnya kawasan mangrove dan bakau. Padahal, hutan bakau dan mangrove penting untuk mencegah kenaikan air laut ke darat.
Ia juga mencontohkan banyak nelayan tak bisa melaut ke tengah dan mengambil ikan di pinggir pantai. “Seperti di Natuna yang dulu banyak gurita di pinggir pantai, namun sekarang tak bisa karena sudah banyak diambil kapal pencuri ikan di tengah laut,” sebut dia.
Susi mengingatkan, untuk membereskan persoalan ini perlu ada kesadaran bersama. Pencegahan ini mesti ada kesamaan paham antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta pelaku industri.
Lalu ada gerakan sederhana untuk menanam pohon per orang. “Penduduk kita ada 270 juta. Minimal 30 juta aja yang menanam, saya yakin kita akan terhindar dari kekeringan,” pesan Susi.
Lalu, kebijakan negara yang pro terhadap kelestarian lingkungan dan kelompok industri yang berkesadaran juga perlu ditumbuhkan. “Industri penting untuk income tetapi kita pikirkan juga soal kerusakan alam akibat industri itu. Harus ada keseimbangan,” jelas Susi.
Ia meyakini media dan para jurnalis punya peran besar untuk menyuarakan pentingnya menjaga lingkungan, khususnya di kawasan pesisir.
“Jurnalisme adalah salah satu media paling efektif memberikan edukasi ke masyarakat. Kita mesti membuat platform yang diterima masyarakat, khususnya masyarakat pesisir,” pesan Susi yang selama jadi menteri kerap menenggelamkan kapal ilegal ini.
Green Press Community (GPC) merupakan ajang perdana yang diorganisasi oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of Indonesian Environmental Journalists/SIEJ) guna menghimpun ide dan memantik gerakan bersama untuk melestarikan lingkungan hidup di Indonesia.
Berlangsung sejak Rabu (8/11/2023), GPC menghadirkan berbagai learning session, talk show, dan konferensi yang melibatkan ratusan peserta dari berbagai kalangan, termasuk pers, organisasi non-pemerintah, dan mahasiswa.*