Kolase.id – Sebanyak 70 persen Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara masih mendominasi penggunaan energi di Indonesia dari total kapasitas terpasang sebesar 70 Giga Watt.
Kondisi tersebut menjadi tantangan terbesar dalam upaya transisi energi di Indonesia untuk mencapai target Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada bauran energi nasional pada tahun 2025. Serta komitmen Indonesia mengurangi emisi hingga 29 persen pada tahun 2030.
Hal ini diungkap Qatro Romdhani, Koordinator Program Konservasi Energi Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber daya Manusia (ESDM) dalam Wokshop Transisi Energi “Membuka Data Transisi Energi di Indonesia dan Komitmen untuk Energi Bersih” yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) secara daring, Sabtu (19/11/2022).
Berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2021, konsumsi energi primer batu bara sebesar 38 persen, minyak 33 persen, gas 17 persen dan EBT 12 persen.
“Bauran EBT hanya 12 persen. Capaian realisasi masih sangat jauh dari target tapi kami optimis dengan menggelontorkan sejumlah program percepatan seperti pembangunan PLTS Atap, mandatori bahan bakar nabati, pemberian insentif fiskal dan non-fiskal untuk EBT, kemudahan perizinan berusaha, mendorong demand ke arah energi listrik, misalnya kendaraan listrik dan kompor listrik,” jelas Qatro dalam paparannya.
Menurutnya, hingga tahun 2021 realisasi konsumsi energi primer per jenis energi dan energi final per sektor pengguna tahun 2021 yang mendominasi bauran energi ada di sektor transportasi (46 persen) dan industri (31 persen) yang dihasilkan dari minyak, gas, dan batu bara.
Pihaknya menggencarkan gasifikasi untuk menggantikan batu bara sebagai switching EBT yang saat ini masih bersifat pemanfaatan energi setempat. Pilihan gas sebagai pertimbangan teknis untuk migrasi dengan cepat. Misalnya mematikan PLTU batu bara dalam tiga tahun tetapi untuk membangun PLT Panas Bumi butuh waktu panjang dan harga mahal.
“Gas terlebih dahulu karena optimalisasi faktor kapasitas dari pembangkit (tidak perlu penambahan pembangkit baru) dan pembangunan lebih cepat,” ujarnya.
“Misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi ini masih bersifat pemanfaatan energi setempat. Contoh, kalau diganti PLTU nya di luar Jawa Bali, harus cari potensi EBT apa yang bisa menggantikan yang ada di Jawa Bali, misal di Sumatera dan Kalimantan.”
Lebih lanjut Qatro menambahkan, Tim NZE KESDM telah memetakan persebaran potensi EBT di wilayah Indonesia dan membuat permodelan interkoneksi grid untuk meningkatkan integritas EBT dan tertuang dalam RUPTL 2022-2030 untuk mencapai NZE di sektor pembangkitan sesuai peta jalan di sektor energi.
“Potensi EBT besar, bervariasi, dan tersebar. Kuncinya adalah supergrid dengan menghubungkan jaringan trasnsmisi dan distribusi EBT antarpulau besar. EBT setempat untuk lintas pulau dalam bentuk pasokan listrik.
Di sisi lain, Founder dan Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH Adhityani Putri menyoroti kebijakan gasifikasi dan elektrifikasi sebagai transisi energi dari batu bara menuju sistem ketenagalistrikan yang bisa menopoang EBT ke depan.
Gas bisa menjadi solusi palsu karena log in efect dengan masa berlaku infrastruktur yang panjang dan nilai investasi tinggi. Tetapi di sisi lain harus dipensiunkan dalam waktu 10 tahun.
“Gas bukan solusi transisi energi. Saya khawatir muncul persoalan baru. Ini harus diatur dengan jelas agar tidak ada alasan memperpanjang umurnya. Perpres 112 harus punya aturan turunan, kalau waktunya pensiun atau harus dihentikan dan jangan buat aturan baru untuk memperpanjang umur karena industri bisa melihat peluang itu seperti yang kita lihat pada sawit dengan mandat biofuel,” tegasnya.
Perpres No 112 tahun 2022 dinilai ambigu karena masih memberikan pengecualian kepada PLTU batubara untuk industri, khususnya industri yang butuh energi besar.
“Jelas ada pembatasan di Perpres 112 bahwa dalam 10 tahun emisi harus turun 35 persen dan harus ditutup di tahun 2035.”
Ditri berharap ada peraturan turunan gasifikasi dan pengelolaan dampak negatifnya untuk memastikan peta jalan transisi energi berjalan sesuai track dan tidak melebar.
Sementara itu, Aris Prasetyo, jurnalis senior Harian Kompas mengingatkan peran media untuk mengawal kebijakan dan komitmen transisi energi ini dengan mendorong pelibatan dan partisipasi publik.
“Dari amatan, narasi isu transisi energi lebih cenderung dari pihak pemerintah dengan kebijakan dan target-targetnya. Jurnalis dan media harus jadi jembatan untuk melibatkan swasta, akademisi, publik, bahkan individu yang suaranya kurang ditampilkan ke publik. Saat ini suara publik hanya nampak di kota besar dan elite, tetapi belum menyentuh akar rumput yang tidak terjangkau akses komunikasi,” jelasnya.*