Kolase.id – Satya Bumi bekerja sama dengan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) serta didukung sejumlah organisasi sosial masyarakat seperti Walhi, Auriga, Elsam, Huma, Trend Asia, Green Justice Indonesia, LBH Pers, dan Garda Animalia menggelar acara diskusi publik bertajuk “Masa Depan Orangutan Tapanuli dan Ekosistem Batang Toru” di sebuah kafe di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis, (9/3/2023).
Acara ini merupakan respons atas hasil liputan kolaborasi bersama lima media massa nasional beberapa waktu lalu, yang diinisiasi SIEJ bekerja sama dengan Satya Bumi. Dalam diskusi dibahas sejumlah permasalahan yang mengancam ekosistem Batang Toru–salah satu dari sedikitnya hutan hujan alami yang masih tersisa di Indonesia sekaligus habitat terakhir Orangutan Tapanuli.
Pongo tapanuliensis atau Orangutan Tapanuli adalah spesies kera besar paling terancam punah di dunia dan sudah masuk dalam red list The International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Populasinya hanya tersisa 800 individu dan berstatus paling langka.
Hadir sebagai pembicara dalam acara ini, antara lain; Peneliti Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara Onrizal; Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan, Executive Vice President Konstruksi Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi PT PLN (Persero) Weddy Bernadi Sudirman, Manajer Kampanye Hutan Walhi Uli Arta Siagian, dan Direktur Eksekutif Satya Bumi. Hadir pula sebagai pembicara Abdus Somad, Jurnalis Jaring.id yang menjadi bagian tim Liputan Kolaborasi SIEJ.
Onrizal memaparkan bahwa ada sejumlah proyek tambang dan energi yang mengusik ekosistem Batang Toru. Salah satu ancaman terbesar saat ini berasal dari pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru. Hasil riset yang dilakukan oleh Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa proyek PLTA telah menggeser habitat orangutan.
Onrizal selaku Associate Professor Ekologi dan Konservasi Hutan Tropis USU ialah ahli yang terlibat dalam penyusunan AMDAL PLTA Batang Toru pada 2013. Namun beberapa masukannya terkait penanganan kerentanan orangutan Tapanuli tak masuk dalam Amdal perubahan. Ia mengaku kecewa dengan sikap pemerintah dalam proyek pembangunan PLTA. Padahal kondisi orangutan Tapanuli kian terancam.
Menurutnya, proyek PLTA akan berdampak pada kian terfragmentasinya kawasan ekosistem orangutan di Batang Toru. Dengan adanya proyek PLTA, kata Onrizal, habitat orangutan akan terbelah oleh arus sungai yang berpotensi makin melebar. Hal ini dikhawatirkan akan menekan pasokan makanan, serta mendorong perkawinan sedarah (inbreeding) yang dapat membuat orangutan rentan terhadap penyakit menular.
Padahal populasi orangutan rawan dan sudah menurun. Untuk itu, konservasi Orangutan Tapanuli dan habitatnya menjadi prioritas yang mendesak. “Kita harus duduk bersama mencari solusi dari permasalahan ini untuk menjamin kelangsungan hidup Orangutan Tapanuli dan ekosistem Batang Toru yang menjadi habitatnya,” ujar dia.
Abdus Somad mengatakan, warga di sekitar lokasi proyek juga mulai terganggu dengan pembangunan PLTA ini. Ketika menelusuri lokasi tapak proyek, Somad menemui sejumlah warga yang sudah hampir setahun mendengar ledakan bom yang memekakkan telinga. Selain ancaman terhadap kawasan dan habitat orangutan serta mengganggu warga, PLTA juga dibangun di atas kawasan yang dinilai merupakan sesar bencana. Sudah banyak kejadian bencana longsor menewaskan korban jiwa manusia, termasuk para pekerja di kawasan tersebut.
Selain itu, proyek PLTA yang diklaim untuk menghadirkan energi bersih ini juga menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan. Proyek dinilai berpotensi menimbulkan keuangan negara.
PLTA Batang Toru dibangun secara patungan di bawah PT. North Sumatera Hydro Energy (NSHE), namun sebagian besar saham dari proyek ini dimiliki State Development and Investment Corporation (SDIC) Power yang berbasis di China. Sementara perusahaan plat merah yang turut terlibat ialah PT. Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI)—anak usaha PT. PLN (Persero). Perusahaan listrik negara ini memiliki sisa saham sebesar 25 persen.
PLTA Batang Toru ini akan menyuplai aliran listrik ke Sumatera-Bali. Adapun anggaran proyek berkapasitas 4 ×127,5 MW mencapai USD 1,668 miliar atau sekira Rp 20 triliun hingga 2026. Sejumlah ekonom pada 2020 telah merilis bahwa proyek PLTA Batang Toru saat ini tidak diperlukan lagi untuk memenuhi kebutuhan listrik daerah karena pasokan listrik sudah over supply.
Skema proyek PLTA Batang Toru adalah Independent Power Producer (IPP). Artinya, listrik yang dihasilkan proyek PLTA Batang Toru harus diserap PLN. Sedangkan pasokan listrik di Sumut sudah mencukupi tanpa adanya proyek PLTA Batang Toru. Artinya, jika PLN terpaksa membeli listrik dari Batang Toru, maka akan terjadi kelebihan pasokan. Hal tersebut berpotensi menimbulkan inefisiensi keuangan PLN yang dapat mengakibatkan kerugian negara.
Atas berbagai permasalahan di atas, Manajer Kampanye Hutan Walhi Indonesia, Uli Arta Siagian mempertanyakan kepentingan di balik pembangunan PLTA Batang Toru. “Jadi ini untuk kebutuhan rakyat atau siapa?” tuturnya.
Ia menduga, pembangunan PLTA di Batang Toru bertujuan untuk menopang industri-industri yang ada di lokasi hutan lindung tersebut. “Juga kami mencurigai, bisa saja penambahan energi ini untuk menopang industri-industri yang ada di sana,” katanya.
“Jadi sebenarnya politik energinya itu bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi justru menopang industri yang kemudian dia akan semakin masif dan terus merusak kehidupan hutan di Batang Toru.”
Executive Vice President Konstruksi Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi PLN Weddy Bernadi Sudirman mengatakan PLTA Batang Toru yang menggunakan tenaga air merupakan bagian energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. PLTA, ujar dia, berperan menurunkan kadar emisi karbon sekaligus meningkatkan kualitas kelestarian lingkungan guna mitigasi dampak perubahan iklim.
“Soal temuan BPK, listrik sudah surplus dll, hal ini adalah hal yang menarik yang harus kita bicarakan bersama, bukan hanya dari aspek satu sisi saja. Karena memang kalau kita lihat angka-angka, kadang kita suka mislead. Ambil contoh, pembangkit listrik 50.000 MW, sedangkan kebutuhan 40.000 MW, lalu dibilang over supply, tetapi orang lupa kalau Indonesia ini negara kepulauan, sistem kelistrikan Sumatera dan Jawa sampai saat ini belum nyambung,” ujar dia. “Jadi ada beberapa data yang kita harus duduk bareng”.
Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan mengatakan bahwa parlemen siap mendengar argumentasi dari dua pihak. Bila perlu, ujar dia, DPR akan menggelar RDPU secara terbuka untuk membahas kasus ini. “Sehingga kita bisa buka data dari banyak pihak, lalu kita dapat mengambil keputusan yang baik,” ujar dia.
Daniel menegaskan bahwa orangutan itu termasuk dalam satwa langka yang dilindungi sehingga berbagai pembangunan yang dibangun di daerah habitat satwa harus mendapat perhatian khusus. “Keberadaan orangutan yang hampir punah menjadi catatan penting. Sehingga kita harus berkomunikasi dengan sangat banyak pihak. Kalaupun PLTA itu dianggap penting, maka harus dibangun dengan ramah” ujar dia. “Kalau orangutan sampai punah itu, akan menjadi sejarah kelam, catatan kelam menjadi bagi kita lantaran telah menghilangkan peradaban”.
Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien menegaskan bahwa pemenuhan energi listrik tidak boleh mengorbankan kelestarian lingkungan yang berdampak pada kepunahan satwa langka yang dilindungi dan menimbulkan beban keuangan negara yang semakin tinggi.
Diskusi Diintimidasi
Sekitar pukul 10.30 WIB, saat diskusi akan dimulai, empat orang tak dikenal mendadak datang ke lokasi acara. Salah seorang di antaranya marah-marah dengan nada membentak menyuruh diskusi dibubarkan. Panitia berupaya menenangkan, namun yang bersangkutan tetap berkeras agar diskusi tidak dilanjutkan dan melabrak sebuah kursi dan meja secara emosional.
Tanpa menyebut identitas dan asal institusinya, pria tersebut mengaku dari Salemba, Jakarta Pusat. Ketegangan ini berlangsung sekitar 15 menit, dan akhirnya mulai mereda setelah panitia membawa pria yang bersangkutan ke lantai bawah untuk berdialog dan menjelaskan konteks acaranya. Pelaku sempat tidak terima dan akhirnya panitia memanggil petugas keamanan. Hingga pukul 13.00 siang tadi diskusi tetap berlangsung.
Ketua Umum SIEJ Joni Aswira menyayangkan upaya pembubaran diskusi yang digelar Satya Bumi dan sejumlah CSO ini. “Diskusi merupakan sebuah dialektika di alam demokrasi. Bagi pihak yang tidak setuju, mestinya mengedepankan pendekatan dialog. Sebab kebebasan berpendapat dan berekspresi dilindungi oleh konstitusi. Kalau pembubaran diskusi dibiarkan, maka hal ini akan mengancam demokrasi. Pemerintah berkewajiban melindungi hak warga negaranya dalam berpendapat,” ujar dia.
Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien tidak menyangka ada respon sekeras ini untuk diskusi yang menghadirkan narasumber berimbang. Satya Bumi juga sudah berupaya mengundang KLHK dan Kementerian ESDM dalam acara ini, namun perwakilan dua institusi tersebut berhalangan hadir. “Upaya pembubaran diskusi ini adalah pelanggaran terhadap kebebasan ekspresi. Kejadian ini tidak boleh berulang, kami meminta pihak kepolisian mencegah kejadian serupa.”*