Kolase.id – Pemilihan Umum (pemilu) 2024 segera tiba. Lembaga penyelenggara pemilu mulai menjalankan serangkaian instrumen kepemiluan. Dalam prosesnya, satu tantangan telah bercokol di depan mata. Yakni, sengketa tapal batas antara Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya.
Hal ini dipicu oleh Permendagri Nomor 52 tahun 2020 tentang Batas Daerah Kota Pontianak dengan Kabupaten Kubu Raya. Regulasi itu menetapkan batas wilayah administrasi dua daerah bertetangga. Mendagri Muhammad Tito Karnavian menandatanganinya pada 1 Juli 2020 dan resmi diundangkan pada 13 Juli 2020.
Lebih dari dua tahun berjalan, perkara ini mengendap tanpa riak. Belakangan, lembaga penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu merasa bakal ada masalah. Terutama pada status kependudukan warga yang berdomisili di tapal batas.
Pasalnya, Permendagri ini mengatur batas daerah yang sebelumnya telah dihuni oleh ribuan masyarakat dengan KTP Pontianak. Bahkan, terbilang sebagai kantong populasi suara besar dalam Pemilu. Sementara status wilayahnya sudah ditetapkan masuk dalam wilayah administrasi Pemerintah Kabupaten Kubu Raya.
Warga Tolak Petugas Pantarlih Kubu Raya
Warga Perumnas IV, Kelurahan Saigon, Kecamatan Pontianak Timur, akhirnya berkeberatan jika KPU Kabupaten Kubu Raya menurunkan petugas Pantarlih untuk melakukan tahapan Pencocokan dan Penelitian (Coklit) Pemilu 2024.
Pasalnya, Permendagri Nomor 52 tahun 2020 yang memindahkan batas wilayah dan status kependudukan warga dari Kota Pontianak ke Kabupaten Kubu Raya di kawasan itu, dinilai cacat hukum dan tidak mengakomodir kepentingan masyarakat.
“Jadi kita memilih berdasarkan KTP. Itu sesuai undang-undang. Tempat kami di Kota Pontianak. Kalau yang Coklit dari Kubu Raya, kami bersama warga, pengurus RT dan RW sudah sepakat, tidak akan kami layani. Silakan saja kalau mau Coklit, tetapi bagi warga yang sudah pindah, atau KTP-nya Kubu Raya. Catatan kami, yang pindah itu ada 129 KK. Total 1.025 KK itu sebelum Pemilu 2019,” kata Ketua Forum Peduli Masyarakat Perumnas Empat Hang Zebat, Senin (13/2/2023).
Ia menjelaskan sampai saat ini warga di Perumnas IV belum bisa menerima Permendagri Nomor 52 tahun 2020 itu. Mereka menilai regulasi itu cacat hukum. Karena dari Permendagri itu timbul masalah batas, seperti di residance (komplek perumahan), di Star Borneo, Sungai Beliung, yang wilayahnya masuk ke Kubu Raya.
Pihaknya beranggapan bahwa Permendagri itu tidak memenuhi asas keadilan, sosial. Karena idealnya sebuah Permen (Permendagri) mendengar aspirasi kedua belah pihak.
“Apakah ini memang kebutuhan masyarakat dan ada aspek historis di situ. Kami lihat, ini aspek politiknya lebih kental, padahal sebelumnya, sudah ada SK Gubernur tahun 2010 yang menyatakan Perumnas IV masuk ke Kota Pontianak, itu yang jadi acuan kami,” timpalnya.
Ia juga akan mempertanyakan persoalan ini kepada KPU Kota Pontianak. Karena hingga saat ini, belum ada petugas yang turun untuk mendata pemilih di wilayah tersebut.
“Kita akan pertanyakan mengapa KPU Kota Pontianak belum melakukan Coklit. Padahal Pantarlih sudah dibentuk, alasannya ada penundaan,” jelasnya.
Tokoh masyarakat Perumnas IV lainnya Rahmat Mappa mengamini apa yang disampaikan Hang Zebat. Menurutnya, persoalan ini seharusnya tidak dipermasalahkan lagi, karena yang menjadi korban adalah masyarakat di wilayah terdampak Permendagri.
“Kalau (KPU Kubu Raya) mau melakukan coklit ke warga yang ber-KTP Kubu Raya ya silahkan saja. Begitu juga yang KTP Kota Pontianak. Saya cuma mengikuti maunya masyarakat saja, yaitu menyalurkan aspirasi politiknya di Kota Pontianak. Alasannya itu tadi, identitas kependudukannya di kota. Jangan dibuat ribet, kasihan warga Perum Empat sudah 26 tahun tidak ada kejelasan,” ujarnya.*