Di Kongo, tantangan serupa masih terjadi. Elnathan Nkuli dari Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) menyebut tekanan ekonomi, penebangan liar, serta pertambangan skala kecil dan besar di tanah adat. Konsesi diberikan kepada operator tanpa konsultasi dan persetujuan Masyarakat Adat, memicu konflik dan kerentanan.
Namun, globalisasi juga membawa peluang baru, seperti akses pendidikan, jaringan lintas negara, dan teknologi digital untuk memperkenalkan budaya. Di tengah tarik-menarik ini, Hero melihat dua sisi globalisasi. Ia mengakui banyak Pemuda Adat kehilangan identitas, misalnya tidak lagi bangga mengenakan pakaian adat, bahkan menggunakan bahasa ibu sendiri.
“Ini menjadi tantangan tersendiri. Tapi, di sisi lain, dengan memilih untuk tinggal di kota, kita bisa memperkenalkan budaya kepada dunia luar. Teknologi sebenarnya membantu kita menunjukkan cara berburu, mengambil madu, atau berkebun sebagai bagian dari identitas budaya,” jelasnya.
Bergerak untuk Berdaya
Pendidikan merupakan faktor penting dalam proses pemberdayaan. Itulah alasan BPAN mendorong terbentuknya sekolah adat di berbagai daerah. Hero menilai bahwa sekolah adat merupakan tempat untuk mentransfer pengetahuan dari tetua adat ke generasi muda, termasuk anak-anak dan pemuda-pemudi adat.
Disebut sebagai inisiatif BPAN bersama AMAN, Hero mengatakan, sekolah adat adalah ruang yang memerdekakan Masyarakat Adat, baik secara berpikir maupun bertindak.
“Metode yang digunakan sangat menarik. Kita bisa belajar di pinggir sungai, di hutan, di atas gunung, di pinggir pantai. Yang menjadi guru adalah kita, Masyarakat Adat itu sendiri. Kalau mau belajar menganyam rotan, bisa langsung praktik di hutan. Begitu juga kalau mau belajar cara berburu, berkebun, mengambil madu, mengambil aren, atau mempelajari aksara daerah,” katanya.