Kolase.id – RUU Kehutanan dalam Prolegnas 2025 diperingatkan oleh akademisi pemerhati lingkungan agar tidak mengakomodasi kepentingan politik yang memasukkan pasal-pasal kontroversial dari Permen LHK No. 7/2021, turunan UU Cipta Kerja.
Narasi pembangunan seperti swasembada pangan, tambang di pulau kecil, dan transisi energi dikhawatirkan hanya melanggengkan kerusakan hutan di tingkat tapak. UUK harus berubah secara paradigmatik.
Prof. Agustinus Kastanya, akademisi Unpatti, mengkritik paradigma lama UU Kehutanan yang bersifat kolonial dengan asas domein verklaring—mengklaim hutan sebagai milik negara. Kemenhut telah menetapkan 106 juta hektare dari 125 juta hektare sebagai kawasan hutan, mencakup sekitar 66% ruang hidup masyarakat.
“Bahkan, 62% pulau kecil di Indonesia merupakan kawasan hutan. Namun, tata kelola kawasan hutan mengalami disorientatif dan destruktif karena memaknainya sebagai komoditas,” ujarnya.
Dr. Andi Chairil Ichsan dari Universitas Mataram menilai perlu redefinisi istilah seperti hutan, kawasan hutan, deforestasi, cadangan pangan, dan energi. Dalam regulasi turunan UUCK seperti Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 dan Permen LHK Nomor 07/2021, kawasan hutan diperlakukan sebagai komoditas untuk proyek pangan, energi, tambang, dan tanaman monokultur. Definisi deforestasi sengaja dibuat kabur untuk menutupi kerusakan hutan di lapangan.
Prof. La Ode M. Aslan dari Universitas Halu Oleo/Forum Akademisi Timur Melawan Tambang Di Pulau Kecil mengungkap 242 pulau kecil telah dikaveling tambang seluas 245 ribu hektare—setara tiga kali luas Singapura.
Tambang di pulau kecil tidak hanya merusak daratan, tetapi juga mencemari sungai, pesisir, dan laut. Di Sulawesi Tenggara, masyarakat pesisir Kabaena terdampak logam berat akibat pencemaran aktivitas tambang.
Deforestasi tidak bisa hanya dimaknai sebagai pelepasan emisi. Di balik deforestasi yang terjadi secara terencana, terdapat fungsi-fungsi penting hutan hilang seperti, ruang hidup masyarakat adat, konservasi air dan tanah, pengatur iklim mikro, pengendalian bencana, biodiversitas hingga sumber air dan pangan.
Upaya menurunkan laju deforestasi demi target emisi 2030 harus dimaknai sebagai komitmen melindungi fungsi hutan sebagai ekosistem. Serta membutuhkan perubahan kebijakan yang serius, terutama dalam revisi UU Kehutanan yang berpihak pada perlindungan hutan dan keadilan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal.*