PRCF Workshopkan Hasil Penulisan Buku Panduan Imbal Jasa Ekosistem

Ajang penyampaian program “Rimba Pakai Pengidup” dan “Rimba Kemuka Ari” untuk memberikan pemahaman dan implementasi praktis

Direktur Yayasan PRCF Indonesia Imanul Huda memberikan penjelasan terkait skema PES di ajang Workshop Hasil Penulisan Buku Panduan Penyelenggaraan Program Imbal Jasa Ekosistem atau Payments for Ecosystem Services pada Kamis (18/1/2024) di Hotel Mercure Pontianak. Foto: Alfiyyah Ajeng Nurardita/Kolase.id

Kolase.id – Yayasan Pelestari Ragamhayati dan Cipta Fondasi (PRCF) Indonesia menggelar Workshop Hasil Penulisan Buku Panduan Penyelenggaraan Program Imbal Jasa Ekosistem atau Payments for Ecosystem Services (PES) pada Kamis (18/1/2024) di Hotel Mercure Pontianak.

PES dalam pandangan para ahli adalah instrumen berbasiskan pasar untuk tujuan konservasi. Prinsipnya, siapa yang mendapatkan manfaat dari jasa lingkungan, harus membayar untuk keberlanjutan penyediaan jasa lingkungan. Dan, siapa yang menghasilkan jasa harus mendapatkan kompensasi (Suprayitno, 2008:1).

Untuk memberikan pemahaman dan implementasi praktis, workshop ini juga mencakup sesi penyampaian program “Rimba Pakai Pengidup” dan “Rimba Kemuka Ari”.

Dalam pemaparan yang disampaikan dua manajer program PRCF yakni Ali Hayat dan Rio Afiat ini, kegiatan yang diimplementasikan berprinsip pada tiga pilar pengelolaan perhutanan sosial.

Di antaranya, implementasi tata kelola kelembagaan dengan memberikan penguatan kapasitas bagi lembaga dan sumber daya manusia (SDM) berupa pembangunan kantor, pelatihan komputer, public speaking, dan lain sebagainya.

Dalam implementasi tata kelola kawasan mencakup konservasi dan perlindungan kawasan, seperti pengamanan dalam bentuk patroli dan tata batas.

Sementara tata kelola usaha yaitu dengan pemberian insentif pada kelompok usaha dan memfasilitasi dalam hal sertifikasi.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Kalbar Adi Yani mengatakan ada tiga pilar pengelolaan perhutanan sosial yang harus menjadi perhatian setiap komunitas. “Ketiganya meliputi tata kelola kelembagaan, tata kelola kawasan, dan tata kelola usaha,” katanya saat membuka workshop.

Menurut Adi Yani, perlu ada pendekatan yang berbeda di setiap daerah pendampingan. Misalnya, daerah pesisir, pedalaman, pulau-pulau, dan perbatasan, akan berbeda pendekatannya.

Tak hanya itu, ia juga mengungkapkan masih banyak kesenjangan dalam hal perizinan hak kelola hutan di Kalimantan Barat.

Lebih lanjut, Adi Yani menyoroti bahwa untuk mencapai keberhasilan dalam pengelolaan perhutanan sosial, pendekatan yang diterapkan harus disesuaikan dengan karakteristik khas setiap daerah.*

Exit mobile version