Kolase.id – Pusat studi komunikasi perubahan iklim yang berkedudukan di Kampus Monash University Indonesia baru saja diluncurkan. Pusat studi ini menawarkan sebuah pendekatan baru agar semua pihak dapat menyadari urgensi isu perubahan iklim.
Selama ini, gerakan penyadaran masyarakat dan mendorong pemerintah menyelami isu ini sudah ada. Namun, isu perubahan iklim di Indonesia terbilang masih sulit dipahami dan menarik perhatian masyarakat.
Hal itu terlihat melalui dampak dari strategi yang selama ini dilakukan oleh aktivis lingkungan di tingkat lokal. Termasuk yang berafiliasi internasional belum mampu mendorong perubahan di level struktural. Semisal mendorong pekerjaan rumah pemerintah terkait kebijakan energi dan lingkungan yang berkelanjutan.
Selama ini strategi yang umumnya dilancarkan aktivis lingkungan lokal maupun internasional adalah dengan melakukan advokasi. Di satu sisi, pendekatan advokasi memang berpotensi mendapatkan atensi masyakarat dan media, namun di sisi lain pendekatan edukasi tetap diperlukan untuk membantu masyarakat memahami argumen-argumen seputar isu lingkungan dan perubahan iklim.
Pada pemilihan umum 2019, sebuah dokumenter yang mengangkat isu dampak pertambangan batubara terhadap lingkungan dan kesehatan sempat menghebohkan masyarakat karena berhasil mengungkap keterlibatan para kandidat politik dalam usaha tambang batubara.
Sayangnya, hasil penelitian Associate Professor Kebijakan Publik dan Manajemen Monash University Indonesia Ika Idris, menunjukkan bahwa diskursus publik terkait dokumenter tersebut masih berpusat pada isu politik, dan belum berhasil menyadarkan masyarakat terkait dengan isu kerusakan lingkungan ataupun kebijakan energi berkelanjutan.
Menurut Ika, diskusi yang terbentuk dari upaya advokasi tersebut masih terjebak dalam isu-isu kontestan politik, kejadian di dokumenter, dan baru isu lingkungan. Namun, saat membicarakan lingkungan, sentimen yang muncul masih dominan positif di mana ada pemakluman atas kerusakan lingkungan yang terjadi karena negara butuh memenuhi kebutuhan energi masyarakat.
“Membicarakan isu lingkungan dan iklim di tahun politik, tentu tidak lepas dari kandidat yang bertarung. Masalahnya, jangan sampai isu politiknya lebih mendominasi ketimbang permasalahan lingkungan itu sendiri. Riset saya menunjukkan bahwa tema percakapan terkait lingkungan hanya sekitar 27%, sisanya membincangkan tema yang lain. Percakapan terkait korban juga hanya 12.2%, sisanya membincangkan tentang si pembuat film dokumenter, pemerintah pusat, dan kandidat politik,” kata Ika dalam Seminar Membangun Literasi Perubahan Iklim di Indonesia, Kamis (23/2/2023) di Kampus Monash University Indonesia BSD, Tangerang.
Pentingnya literasi perubahan iklim
Semenjak sepuluh tahun lalu, kekhawatiran masyarakat dunia akibat dampak perubahan iklim meningkat. Hal ini terungkap dari hasil riset Pew Research Centre, Global Attitudes Survey 2018. Hasil tersebut tidaklah mengagetkan jika dampak dari perubahan iklim sudah sangat nyata dan terasa. Namun dampak perubahan iklim ini masih saja menjadi perdebatan yang dipolitisasi, apakah ini merupakan dampak dari perilaku manusia, atau sudah alamiahnya terjadi.
Monash Climate Change Communication Research Hub (MCCCRH), melihat bahwa inilah pentingnya literasi iklim, agar isu perubahan iklim tidak terus-menerus dipolitisasi. MCCCRH memiliki visi agar perubahan iklim tidak terpolitisasi, maka masyarakat dapat mempercayai dan memahami ilmu pengetahuan dan solusi yang ditawarkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan tersebut secara utuh.
Direktur MCCCRH Associate Professor Ilmu Komunikasi dan Media David Holmes menegaskan bahwa pendekatan yang dilakukan institusinya bukanlah advokasi melainkan komunikasi non-persuasif.
David menjelaskan bahwa komunikasi non-persuasi adalah komunikasi berisi fakta yang mudah dipahami masyarakat umum. Komunikasi ini juga dilakukan berulang-ulang, dikomunikasikan oleh sumber yang dipercaya, dan menargetkan khalayak luas karena menggunakan beragam kanal. Untuk itu, komunikasi non-persuasif ini memiliki dampak yang luas dengan tingkat advokasi yang rendah.
David menjelaskan, khalayak yang terpapar oleh komunikasi perubahan iklim non-persuasif menunjukkan peningkatan dalam perilaku pencegahan perubahan iklim sebanyak 16%, dibandingkan mereka yang tidak terpapar informasi dari MCCCRH ini.
Bahkan, khalayak yang mendapatkan informasi non-persuasif tersebut menunjukkan 2,8% peningkatan perhatian pada perubahan iklim, sementara mereka yang tidak terpapar informasi menunjukkan 4,8% penurunan perhatian pada perubahan iklim.
Kesuksesan inilah yang ingin ditransfer dari Australia ke Indonesia karena visi MCCCRH bukan hanya terbatas pada masyarakat Australia saja. Berbicara perubahan iklim, tidak mungkin hanya pada tataran lokal, melainkan global.
Bahaya isu iklim dipolitisasi
Derry Wijaya, Associate Professor Data Science Monash University Indonesia mengingatkan bahaya politisasi isu perubahan iklim seperti di Amerika. Menurut dia, isu perubahan iklim ini susah untuk dipecahkan. Memilih intervensi yang tepat untuk isu perubahan iklim juga memiliki tantangan tersendiri.
“Salah satu faktornya adalah polarisasi media, seperti yang terjadi di Amerika. Dengan begitu, mau menekan perubahan kebijakan terkait climate change susah karena agenda setting media beda-beda, persepsi masyarakat dan pembuat kebijakan pun tidak sama” ujar Derry.
Dia menambahkan, untuk itu semua pemangku kepentingan perlu melihat seperti apa framing media dan apakah ada tema yang sama yang bisa diusung bersama-sama. Sayangnya, karena jumlah data yang sangat besar, sulit bagi ilmuwan di ilmu-ilmu sosial melihatnya dengan komprehensif.
Berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain seperti data science, akan lebih mudah memahami seperti apa news framing dan percakapan seputar perubahan iklim. MCCCRH Indonesia Node juga akan meneliti tentang perubahan iklim dan diskriminasi serta bias sosial, untuk perkembangan literasi di Indonesia. Untuk itu MCCCRH akan bekerja sama dengan banyak pihak, seperti media, communication strategist, pemerintah, LSM, dan masyarakat.*