Kolase.id – Petani sawit swadaya kerapkali menjadi sasaran tudingan pemicu deforestasi. Hal ini sangat berdasar. Pasalnya, masyarakat cenderung bersimbiosis dengan tren pergerakan ekonomi di sekitar kampung mereka.
Jika konsesi sawit berkuasa di wilayah desa, umumnya warga setempat akan turut menanam sawit. Harapan, buah sawit kelak dapat dijual ke perusahaan. Tak jarang, petani akan memanfaatkan seluruh lahannya untuk ditanami sawit. Termasuk mengganti komoditas yang sudah dikelola sebelumnya seperti karet.
Akhirnya, lahan untuk perkebunan kelapa sawit kian meluas. Tanaman monokultur pun berdaulat penuh di atas bentang lahan yang mahaluas. Dari sinilah pemicu ketidakseimbangan ekosistem yang berdampak signifikan pada perubahan iklim.
Seiring waktu berjalan, regulasi diperkuat. Kebijakan pemerintah dengan dukungan kemitraan global menjadi mandatori dalam tata kelola kebun sawit swadaya berkelanjutan. Ada Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan ada Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Keduanya bertujuan untuk tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan.
Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) akhirnya mengambil inisiatif untuk menjawab kegamangan informasi di tingkat tapak. Sebagai “rumah besar” bagi kaum tani sawit swadaya, Fortasbi ingin mengangkat derajat petani swadaya.
Fortasbi kemudian mengundang sejumlah jurnalis untuk hadir di tapak pada 14-15 Februari 2025. Target kunjungan adalah Perkumpulan Petani Mitra Harapan (PPMH) Ketapang di Desa Kalimantan, Kecamatan Manis Mata.
Tujuannya, agar petani swadaya tidak melulu menjadi bulan-bulanan tudingan pemicu deforestasi. Sebab, di balik upaya perkebunan kelapa sawit yang dikelola secara mandiri, petani juga punya inisiatif baik dalam menjaga keberlanjutan ekosistem.
Kolase.id menurunkan Rizki Fadriani untuk melihat dari dekat praktik baik petani sawit swadaya di lingkup PPMH Ketapang. Berikut laporannya:
Bukan Sekadar Manis di Mata

Kecamatan Manis Mata adalah surga investasi bagi kaum berduit. Bentang alam yang luas menawarkan nilai ekonomi pada setiap keping tanahnya. Sejauh mata memandang, hamparan luas perkebunan sawit milik raksasa perkebunan PT Cargill tersaji membentuk lanskap yang khas.
Di sekitar wilayah konsesi Cargill itulah sekumpulan petani sawit swadaya berhimpun. Di sana ada Sandy Priyana, sang lokomotif Perkumpulan Petani Mitra Harapan (PPMH) Ketapang.
PPMH Ketapang adalah organisasi petani sawit swadaya yang telah mengantongi sertifikat RSPO sejak 2023. PPMH juga menjadi salah satu wadah bagi para petani sawit swadaya mitra Cargill yang mulai memperdagangkan TBS bersertifikat RSPO secara fisik di tahun 2023.
Ada 698 petani sawit swadaya bergabung dalam PPMH Ketapang. Luasan lahan yang dikelola mencapai 3.302 hektare. Setiap keluarga memiliki kebun dengan luas antara setengah hingga lima hektare. Dalam sebulan, anggota PPMH mampu menjual hingga 6.000 ton tandan buah segar (TBS).
Kondisi ini menyebabkan roda perekonomian di kalangan petani anggota PPMH Ketapang terus menggeliat. Apalagi kemitraan dengan Cargill yang sudah terjalin dengan baik, menjadi stimulus dalam proses penjualan buah dari kebun petani swadaya.
Kendati demikian, para petani swadaya ini tak melupakan tanggung jawab lingkungannya. Sejumlah inisiatif lokal mereka cetus. Misalnya perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi dan inisiatif penghijauan di kawasan berhutan yang sudah mengalami degradasi akibat kebakaran lahan.
“Kami sudah gerah dituding sebagai biang deforestasi. Isu global terhadap petani sawit swadaya ini selalu negatif. Makanya kami mengundang kawan-kawan jurnalis untuk melihat lebih jelas apa yang kami lakukan,” kata Sandy dalam pernyataan pers di Sekretariat PPMH Ketapang di Desa Kalimantan, Kecamatan Manis Mata, Sabtu (15/2/2025).
Sandy ingin menunjukkan bahwa petani sawit swadaya di bawah payung PPMH Ketapang bukan sekadar bicara tentang nilai ekonomi di setiap tandan sawit. Mereka punya tekad untuk menanam, merawat hutan yang tersisa, sebagai langkah mitigas perubahan iklim yang kian nyata datang menyapa.
Menyemai Bibit Menuai Pohon

Inisiatif untuk menghijaukan kembali lahan dan hutan yang tandus bermula dari persemaian. Para petani swadaya menyiapkan lahan untuk kepentingan nursery di halaman Sekretariat PPMH Ketapang. Di areal itulah pembenihan berproses menjadi bibit sebelum ditanam.
Ada 12 ribu bibit berbagai jenis tanaman. Mulai dari bibit pohon sengon, jati, trembesi, gaharu, durian, mentawai, hingga petai. Untuk sementara waktu, benih yang sudah tumbuh menjadi bibit adalah tanaman petai.
PPMH Ketapang berencana untuk menanam bibit tersebut di sejumlah lokasi yang memerlukan rehabilitasi dan penghijauan. Penanaman tidak hanya akan dilakukan di kawasan hutan, tetapi juga di pekarangan rumah warga, fasilitas pendidikan, dan sepanjang jalan desa untuk meningkatkan tutupan hijau dan memperbaiki kualitas udara.
Upaya petani sawit swadaya ini menunjukkan bahwa kelapa sawit berkelanjutan bukan hanya tentang hasil panen semata. Lebih dari itu, petani telah meneguhkan komitmen dan tanggung jawabnya terhadap lingkungan.
Dengan menjaga hutan dan melakukan penghijauan, mereka telah berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim, menjaga keberlanjutan sumber daya alam, serta menjadi contoh bagi petani lain dalam menyeimbangkan ekonomi dan ekologi.
Meneguhkan Hutan Larangan

Hutan larangan adalah simbol penebusan dosa. Setelah menyulap lahan seluas 3.302 hektare menjadi kebun sawit, petani tak berdiam diri. Masih ada harapan terbentang di depan mata. Hutan yang tersisa harus dipertahankan, kendati tidak seberapa luas. Itulah yang terbetik di benak Robertus Mamang, tokoh adat setempat.
Ada dua hutan larangan di Desa Asam Besar, masing-masing Hutan Larangan Asam Besar dan Hutan Larangan Tamtam. Keberadaan hutan ini menjadi bukti kuat komitmen petani sawit swadaya dalam menjaga kelestarian lingkungan.
“Sekitar 70 persen wilayah kami sudah menjadi perkebunan sawit, sisanya adalah pemukiman dan hutan. Hutan larangan ini sangat penting karena masih menjadi rumah bagi berbagai satwa liar seperti beruang madu, kijang, rusa, dan landak. Selain itu, di sini juga tumbuh pohon-pohon bernilai tinggi seperti gaharu dan buah-buahan,” ujar Mamang.
Selain melindungi keanekaragaman hayati, hutan ini juga menjadi sumber utama kehidupan masyarakat sekitar. Dengan adanya kawasan hijau ini, lebih dari 1.700 kepala keluarga atau sekitar 6.000 jiwa dapat menikmati sumber air bersih.
Mamang yang juga anggota dari PPMH Ketapang ini menyebut hutan adalah “supermarket alami” bagi masyarakat, karena menyediakan hasil hutan yang bisa dimanfaatkan tanpa merusak ekosistem.
“Dengan menjaga hutan, kami bisa melindungi satwa liar dan menjaga kualitas air sungai agar tetap bersih bagi masyarakat. Ini bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk generasi mendatang,” tambahnya.
Abraham, salah satu pemilik kawasan di Hutan Larangan Tamtam dengan tegas menyatakan komitmennya untuk menjaga dan melestarikan keragaman hayati hutan miliknya.
Luas kawasan berhutan yang dikuasai Abraham di Hutan Larangan Tamtam mencapai 21 hektare. “Hutan ini ditinggalkan oleh orang tua untuk anak cucu agar dijaga dengan baik dan jangan dijual. Hutan ini tidak akan saya ubah menjadi lahan sawit,” ujarnya.
Dalam hutan yang telah ia rawat ini, terdapat beragam tanaman buah seperti duku, langsat, durian, dan kemayau. Sementara itu, deretan pohon seperti kapul dan gaharu turut menghiasi kawasan tersebut.
Tidak hanya itu, hutan ini juga menyimpan pohon ipuh yang dikenal sebagai pohon beracun. Menurut cerita, getah pohon ipuh pernah dimanfaatkan untuk melawan penjajah Belanda serta berburu.
Merenda Harapan di Antara Konsesi dan Konservasi
Komitmen para pihak, baik petani swadaya anggota PPMH Ketapang, tokoh adat, pemerintah desa, dan masyarakat dalam melestarikan hutan, sejatinya terus dipertahankan. Begitu pula dengan proses pendampingan dari para mitra, penting untuk dilanjutkan.
Pasalnya, tantangan terbesar saat ini adalah kurangnya kesadaran sebagian besar masyarakat untuk melestarikan lingkungan. Masyarakat cenderung berpikir instan. Segalanya ingin serba cepat. Termasuk mendapat manfaat langsung dari upaya menjaga hutan.
Tak banyak pilihan bagi masyarakat yang hidup di sekitar konsesi perkebunan sawit kecuali dengan mendapatkan pendampingan dan edukasi secara berkelanjutan. Hal ini penting guna menumbuhkan kecintaan terhadap alam dan memastikan keberlanjutan hutan sebagai sumber kehidupan bagi generasi mendatang.*