Negeri Tanpa Arah: Saat Kesadaran Geografis Kita Dirampas Kekuasaan

Oleh M. Hermayani Putera

Avatar
Peta Wawasan Nusantara. Dok. Kibrispdr.org

Proklamasi dan Peta yang Terkoyak

Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan sekadar deklarasi politik, melainkan revolusi tindakan dan komitmen geopolitik radikal yang memutus rantai kolonialisme. Dengan satu kalimat, Bung Karno dan Bung Hatta mengubah rakyat jajahan menjadi warga negara, sekaligus menegaskan kepada dunia bahwa seluruh darat, laut, dan udara Indonesia adalah ruang berdaulat. Proklamasi merupakan pengakuan akan ruang hidup kolektif yang harus dibela, diatur, dan dimakmurkan bersama.

Kesadaran geografis dalam Proklamasi memandang peta bukan hanya sekadar gambar, melainkan rumah besar yang harus dipertahankan dan dimakmurkan. Namun, kini banyak pemimpin justru mengkhianati ruh Proklamasi: menjual tanah dan air melalui izin eksploitasi, serta merelakan ruang adat dan pesisir digusur atas nama investasi.

Deklarasi Juanda: Dari Laut yang Memeluk ke Laut yang Terlepas

Pada 13 Desember 1957, Djuanda Kartawidjaja yang saat itu menjabat Perdana Menteri pada Kabinet Karya, menegaskan bahwa laut di antara dan di sekitar kepulauan Indonesia adalah bagian kedaulatan NKRI, menggantikan aturan kolonial “laut teritorial 3 mil”. Prinsip ini menjadi dasar pengakuan internasional atas Indonesia sebagai negara kepulauan melalui Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982.

Tanpa deklarasi ini, Indonesia bisa terpecah secara hukum dan strategis oleh laut bebas. Namun kini, laut kembali dipisah-pisah, bukan oleh jarak, tetapi oleh kuasa—dijadikan zona eksklusif industri besar, pariwisata privat, dan pertambangan, sementara rakyat pesisir tersingkir di tanah airnya sendiri. Deklarasi Djuanda menegaskan bahwa kita lahir di negeri yang lautnya memeluk daratan, tapi kini laut itu perlahan lepas dari pelukan rakyatnya. Jika kita diam, anak cucu hanya akan mewarisi peta, bukan ikan.

Dulu laut menyatukan Nusantara, kini laut yang sama tengah memisahkan rakyat dari ruang hidupnya. Negeri ini diberkahi laut seluas cakrawala, tetapi nelayannya berlayar dengan kapal sekecil harapan. Saat kapal asing berpesta, rakyat kita hanya jadi penonton di dermaga.

Merebut Kembali Peta Nusantara

Kesadaran geografis kita kian terkikis. Geografi direduksi menjadi objek kapitalisasi, bukan pengikat identitas. Anak-anak lebih hafal peta dunia virtual ketimbang letak pulau-pulau di negerinya sendiri.

Lebih parah lagi, kesadaran geografis akan ruang hidup kolektif bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kini nyaris compang-camping, terkoyak oleh minimnya visi kenegarawanan yang miskin teladan dari pemimpin dan pemilik modal. Keduanya kerap berkolaborasi—kalau tidak mau disebut berkonspirasi—menggabungkan kekuatan dan otoritas untuk mengangkangi spirit Proklamasi.

Kita perlu merestorasi kesadaran geografis lewat pendidikan, budaya, dan kebijakan publik yang menegaskan bahwa peta adalah narasi identitas. Laut dan darat harus direbut kembali sebagai ruang rakyat, bukan monopoli modal. Keadilan spasial dan ekologis mesti menjadi prinsip utama, dengan regulasi yang berpihak pada masyarakat kecil dan menegakkan tata kelola partisipatif.

Gajah Mada tak bersumpah demi dirinya sendiri. Bung Karno dan Bung Hatta tak memproklamasikan Indonesia untuk dijual. Djuanda tak berjuang agar laut menjadi milik korporasi. Mereka semua berjuang untuk menyatukan ruang dan rakyat.

Tugas kita bukan sekadar mengenang, tetapi melanjutkan—agar tanah dan air benar-benar kembali menjadi milik bangsa, dijaga untuk kehidupan, dan diwariskan utuh kepada generasi yang akan datang.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *