Kolase.id – Wilayah Indonesia memiliki potensi bencana alam yang tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi geografis yang terletak di antara pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, Samudera Hindia, dan lempeng Samudera Pasifik.
Selain itu, sisi selatan dan utara Indonesia juga terhubung dalam satu sabuk vulkanik (volcanic arc). Memanjang dari Pulau Sumatra, Jawa-Nusa Tenggara, dan Sulawesi yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua, dataran rendah, dan sebagian merupakan rawa-rawa.
Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa di tahun 2023 yang baru berlangsung 19 hari sampai kemarin (19/1/2023), tercatat telah terjadi 96 bencana alam. Artinya, dalam satu hari telah terjadi beberapa bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia.
Hal ini diakui deputi bidang bencana BNPB Prasinta Dewi dalam acara talkshow yang digelar Perkumpulan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Enviroment Journalists (SIEJ) bekerja sama dengan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LKTL).
Kegiatan bertajuk “Mitigasi Bencana Berbasis Konservasi Ekosistem dan Tata Ruang” sebagai rangkaian acara Konferensi Nasional Jurnalis Lingkungan Hidup (KNJLH) yang digelar pada 20 Januari 2023 di Wisma Hijau Depok, Jawa Barat.
Dewi menjelaskan, semua jenis bencana ada di Indonesia. Langkah yang dilakukan BNPB untuk membantu masyarakat adalah dengan memberi penguatan tentang strategi mitigasi bencana yang harus dilakukan.
“BNPB membantu mengingatkan dan mengajak masyarakat Indonesia untuk paham bahwa mereka tinggal di wilayah ancaman. Jadi perlu terus dilaksanakan forum pengurangan risiko bencana, pelatihan, dan edukasi. Salah satunya adalah dengan membangun keluarga tangguh bencana dan desa tangguh bencana,” ungkapnya.
Salah satu kegiatan mitigasi bencana yang saat ini tengah berjalan adalah investasi pengurangan risiko bencana yang telah terlaksana sejak 2020 dan direncakan hingga 2045 mendatang. Investasi ini terbagi dalam beberapa sektor di antaranya investasi struktural, investasi kultural, investasi sumber daya alam, investasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta investasi keuangan.
“Seperti kita tahu, setelah bencana banjir di Cianjur kemarin puluhan miliar telah dihabiskan untuk renovasi kembali, di sinilah mitigasi perlu dimulai. Akan sangat bijaksana jika sebelum mulai membangun kembali, dengan mengacu pada mitigasi. Dilihat dari kebijakannya, tata ruangnya, upaya antisipasi akan timbulnya bencana kembali,” jelas Dewi.
Dorong Anak Muda Untuk Konservasi
Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Gita Syahrani menyebutkan, ada potensi besar meningkatkan hilirisasi produk yang ramah lingkungan dan ramah sosial dengan nilai tambah yang besar.
“Kita punya program yang namanya ekonomi lestari, di mana kita bisa mewujudkan pola pikir baru tentang konservasi dan upaya menjaga alam yang nyatanya tidak sulit untuk dilakukan, dan peran anak muda untuk membangun daerahnya sendiri,” ujar Gita.
Gita mencontohkan, Indonesia memiliki potensi madu hutan yang harganya lebih dari USD15 miliar, atau kelor yang harga globalnya mencapai USD10 miliar. “Tetapi hal itu tidak bisa diwujudkan kalau hutannya tidak terjaga,” jelas Gita.
Melihat permasalahan dan peluang yang ada, kata Gita, pada 2021 beberapa kabupaten yang tergabung dalam LTKL telah menyampaikan targetnya. Di antaranya berkomitmen mempertahankan fungsi ekologis hutan gambut, dan ekosistem penting 50 persen dari yang ada sekarang dengan cara-cara yang inovatif.
“Kalau kita mau membicarakan kabupaten tangguh bencana, itu mencoba menarik anak muda, membuat produk dan jasa yang keren-keren. Seperti yang telah terjadi di Kabupaten Siak, ada satu perusahaan bernama Alam Siak Lestari yang dibawa teman-teman muda di sana. Dan ini mencoba menerjemahkan visi Siak Hijau yang mencoba menjaga supaya Siak tidak terbakar lagi,” ungkap Gita.
Kesadaran akan potensi alam dan pentingnya menjaga kondisi lingkungan merupakan salah satu hal penting dalam upaya mitigasi bencana. Pemerintah Kabupaten Sigi melalui Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sigi Afit Lamakarto menyatakan komitmen Kabupaten Sigi untuk menjadi kabupaten lestari.
Menurutnya, Pemda dan masyarakat Sigi sudah sangat paham dengan kondisi lingkungannya. “Bahkan kita ditetapkan menjadi wilayah taman nasional yang demikian luas, hutan lindung dan sebagainya. Dan masyarakat sadar bahwa itu adalah hal yang baik,” ujarnya.
Misalnya saja, terang Afit, ketika bencana menimpa di Sigi, masyarakat mendorong perlu adanya upaya konservasi. “Jika kawasan ini tidak ditetapkan sebagai wilayah konservasi, maka sangat memungkinkan akan ada memakan lebih banyak korban jiwa,” katanya.
Upaya lain yang dilakukan, yaitu berupa inovasi penanaman bamboo brinjong di aliran sungai. “Untuk memitigasi bencana likuifaksi dengan melindungi dan memperkuat struktur tanah untuk mencegah terjadinya longsor kembali,” terang Afit.
Kaum muda di wilayah Sigi merasakan energi serupa. Hal ini terlihat dari lahirnya Yayasan Kompas Peduli Lingkungan (KOMIU) Sigi yang melakukan konservasi, dengan tujuan agar hutan mereka tetap terjaga.
Divisi Konservasi KOMIU Sigi, Yulia Astuti menyampaikan upaya yang mereka lakukan. “Yayasan Komiu dalam salah satu programnya melakukan inventarisasi pohon yang ada di hutan Ranjuri Sigi. Di mana hutan Kanjuri ini merupakan hutan yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Karena kita perlu mencari tahu dulu apa saja yang kita punya, untuk kemudian dijaga,” jelasnya.
Menurut Yulia, akses kontribusi anak muda dalam memitigasi bencana masih terbatas. Meski demikian, mereka mendapat fasilitas dari jejak.in. Menurutnya jejak.in memberi peluang kemudahan agar anak muda tidak terbatas kesempatan untuk ikut mengambil peran.
“Jasa market place kita isi program-program hijau dan dilakukan dengan kerja sama berbagai mitra. Melalui market place hijau ini, siapapun dapat berkontribusi untuk menjaga lingkungan,” pungkas Arfan.*