Kolase.id – Berasal dari keluarga Acanthaceae, juruju lebih dikenal sebagai semak tahunan. Tumbuh liar di daerah pantai, tepi sungai, serta lokasi dengan tanah berlumpur dan berair payau. Sangat jarang diperhatikan orang.
Siapa sangka, tumbuhan dengan nama latin Acanthus ilicifolius ini ternyata dapat mendongkrak pundi-pundi perekonomian warga. Hanya perlu sedikit kecakapan khusus, tumbuhan liar ini dapat menjadi bahan minuman yang khas menyerupai teh.
Itulah yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berhimpun dalam Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di Dusun Gunung Keruing, Desa Batu Ampar, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalbar.
Produksi teh jeruju ini berawal dari urun rembuk masyarakat. Keberadaan jeruju terbilang cukup melimpah. Masyarakat merasa lebih baik memanfaatkannya sebagai bahan minuman. Apalagi pengetahuan tentang pengelolaannya sudah ada.
Ide itu disambut baik oleh Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Muncullah KUPS Teh Jeruju. Ada Palatiyah, Ena, Yusimin dan Edi Isnandi. Empat nama ini cukup menonjol di KUPS. Meski demikian, secara keseluruhan anggotanya ada 19 orang. Empat di antaranya adalah laki-laki, sedangkan 15 orang perempuan.
Palatiyah bercerita setiap anggota kelompok punya tugas masing-masing saat memproduksi teh jeruju. Umumnya kelompok laki-laki yang memetik daun pohon jeruju. Proses memetik juga terbilang unik. Pucuknya dipotong tetapi yang dipakai hanya daun kelima.
Setelah itu ada pemisahan daun kelima dari pucuk yang dipotong. Selanjutnya dibersihkan dengan air. Bagian duri di ujung daun dibuang. Lalu mengeluarkan daun dari tulangnya. Setelah itu daun dipotong kecil dan dijemur. “Dicuci lima hingga enam kali untuk membuang rasa asin di daun,” kata Palatiyah di Dusun Gunung Keruing, Batu Ampar.
Proses penjemuran pun tidak sembarangan. Oleh KUPS, dibuatkan rumah pengeringnya. Fungsinya untuk menjemur daun jeruju yang telah dipotong kering. Proses penjemuran memakan waktu tiga hingga empat hari.
Begitu proses penjemuran usai, daun jeruju yang telah kering diblender agar menyerupai serbuk teh. Setelah itu dimasukkan dalam kantong teh. “Saat diblender pun tidak juga sampai halus, yang penting bentuknya menyerupai serbuk teh,” sebut Palatiyah.
Dia bercerita aroma teh jeruju ini memang apek. Untuk mengurangi bau apek itu dicampur dengan bubuk teh di pasaran. Pilihan lainnya dengan daun pandan. Menurutnya cara ini jitu untuk mengurangi aroma apek di teh jeruju.
Sementara itu cara menikmati sama dengan teh pada umumnya. Tinggal diseduh dengan air panas. Pilihannya bisa dicampur gula atau madu. Biasanya 10 kilogram daun basah yang diambil di alam akan menghasilkan setengah kilogram cacahan daun yang siap diseduh.
Palatiyah mengatakan pohon jeruju merupakan tanaman liar yang jarang diolah, padahal punya potensi ekonomi. Cerita menarik dari kearifan lokal bahwa buah jeruju bisa mengobati bisul.
Fasilitator Lokal Yayasan Hutan Biru Yayan Sapardi mengatakan asal mula produksi teh jeruju merupakan hasil partisipatif kelompok. Usulan itu kemudian dicoba dan hingga saat ini sudah berproduksi. “Proses produksinya dimulai tahun 2021,” kata Yayan.
Yayan menambahkan pemilihan jeruju sebagai produk yang diajarkan tidak hanya karena ketersediaannya yang melimpah tetapi juga proses produksinya yang tak rumit.
Produksinya tidak membutuhkan modal besar. Hanya dipetik dan kemudian dikeringkan lalu dicacah. Apalagi tak banyak masyarakat yang tahu kalau pohon jeruju memiliki nilai ekonomis jika dimanfaatkan.
Menurut Yayan, hasil produksi KUPS Teh Jeruju ini dipasarkan di Pontianak, Kubu Raya dan sekitarnya. Bahkan menjadi oleh-oleh bagi tamu yang datang ke Dusun Gunung Keruing, Desa Batu Ampar. “Sehingga ini menjadi mata pencaharian alternatif masyarakat,” pungkas Yayan.
Inisiatif mengelola tumbuhan semak menjadi minuman khas ini seperti membuka pintu rezeki bagi warga Batu Ampar, khususnya mereka yang berdomisili di Dusun Gunung Keruing.
Selain mendapatkan manfaat ekonomi dari tumbuhan jeruju, warga dapat bersilaturahmi secara rutin dengan sesama. Termasuk menjaga keberadaan tumbuhan mangrove itu dari ancaman kepunahan.*