Kolase.id – PT Mayawana Persada, sebuah perusahaan perkebunan kayu di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara terus beroperasi. Ruang-ruang kelola rakyat digilas. Bersamaan dengan itu, bencana hidrometeorologi datang mengharu biru. Permukiman warga di sekitar konsesi mulai tergenang banjir sejak 28 November 2024.
Kendati demikian, bencana ini tak menyurutkan langkah perusahaan untuk melakukan pertaubatan ekologis. Sementara itu, negara yang dinanti kehadirannya oleh rakyat pun sama. Hanya hadir pada kontestasi demokrasi lima tahunan. Setelah pesta pencoblosan suara usai, semua kembali dalam gulita.
Begitulah suasana kebatinan yang menimpa warga Desa Kualan Hilir dan Desa Sekucing Kualan di Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang. Permukiman warga dua desa ini tersebar di sejumlah dusun meliputi Dusun Sabar Bubu, Dusun Lelayang, dan Dusun Selimbung.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat melakukan penelusuran mendalam di desa-desa sekitar konsesi Mayawana Persada. Ada sejumlah temuan. Hal itu disampaikan kepada para jurnalis melalui media briefing yang dihelat pada Rabu (4/12/2024) di Kantor Walhi Kalbar di Pontianak.
Banjir telah datang. air menggenangi permukiman warga. Bahkan, bencana yang terjadi terbilang lebih parah dari sebelumnya. Selain permukiman, lahan pertanian seperti ladang sumber pangan warga juga ikut tergenang. Bencana disinyalir akibat pembukaan hutan dan lahan oleh Mayawana Persada.
Dalam catatan Koalisi Masyarakat Sipil yang dirilis Desember 2023, sepanjang tahun 2016-2022, Mayawana Persada telah mendeforestasi kawasan seluas 35 ribu hektar. Perusahaan ini beroperasi di 14 desa pada lima kecamatan di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara.
Banjir dan Penggusuran
Selain banjir yang kian tinggi pascakehadiran perusahaan perkebunan kayu di daerah sekitar Simpang Hulu tersebut, cengkeraman atas wilayah kelola rakyat di Dusun Lelayang, juga telah merenggut hak warga atas sumber daya lahannya. Mereka yang menjadi korban di antaranya Paulina Linti, perempuan pejuang lingkungan hidup di daerah tersebut.
Saat ditemui Tim Walhi Kalimantan Barat, Paulina Linti mengaku pihak perusahaan melakukan penggusuran atas lahan miliknya pada 15 Agustus 2024. Pada saat itu secara kebetulan Linti dan suaminya sedang berada di lokasi karena sedang mengambil ubi kayu.Mereka meminta petugas untuk berhenti melakukan penggusuran dan mengatakan bahwa lahan tersebut tidak mereka serahkan kepada perusahaan.
Seminggu kemudian yakni sekitar tanggal 22 Agustus 2024, alat berat kembali menggusur tanah mereka. Tindakan pelarangan dilakukan sehingga terjadi perdebatan antara Linti dan petugas alat berat. Linti bersikukuh melarang melanjutkan penggusuran karena tanah tersebut tidak diserahkan ke perusahaan.
Hanya saja petugas alat berat menegaskan bahwa yang dilakukan atas perintah dari perusahaan. Kejadian itu sempat terhenti dan meminta Linti untuk menunggu sebentar. Tidak berselang lama petugas tersebut kembali bersama dengan orang berseragam polisi lengkap dengan senjata sebanyak lima unit motor.
Karena takut menghadapi orang-orang tersebut sendirian, Linti dan suaminya pergi meninggalkan lahannya. Tetapi sebelum pergi dia sempat berpesan untuk tidak kembali lagi menggusur lahannya.
“Ini bawas bukan hutan rimba, pohon karet itu buktinya. Kami menuntut ganti kerugian atas tanam tumbuh kami yang sudah kalian gusur, tolong sampaikan kepada pemilik perusahaan,” katanya perempuan dari Dusun Lelayang ini tegas.
Sementara perempuan Dusun Lelayang lainnya, Marta Linda, juga mengalami situasi yang sama. Melarang pihak perusahaan menggusur lahan mereka. Keduanya dihadapkan pada ketidakadilan tanpa ada penyelesaian atas sumber daya lahan yang digusur paksa perusahaan.
Marta Linda mengisahkan, awalnya petugas alat berat berhenti bekerja dan meninggalkan lahannya sekitar Juli 2024. Namun pada malam hari, alat berat kembali dibawa ke lahan miliknya dan melanjutkan aktivitas penggusuran atas lahan yang telah ditanami karet produktif dan telah ditumbuhi berbagai macam pohon buah-buahan seperti rambutan, cempedak, durian dan petai.
Kini, lahan beserta tanam tumbuh di atasnya sudah tidak bersisa, karet yang menjadi penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga sudah tidak bisa disadap lagi. Hasil ladang seperti padi yang dulu berlimpah bisa untuk kebutuhan keluarga hingga lebih dari satu tahun sekarang tidak mencukupi lagi. Akibatnya, membeli beras di toko/pasar menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari sebagian besar warga.
“Orang MP yang tidak punya aturan, kalau mereka punya aturan mereka tidak akan berani menggusur tanah dan bawas orang secara paksa. Mereka tidak pernah datang bertanya siapa pemilik lahan. Mereka mencuri, menggusur lahan kami tanpa pemberitahuan,” kata Marta Linda.
Selain kedua perempuan ini, puluhan warga lainnya di Lelayang mengalami situasi yang sama. Keadilan dan penyelesaian masih sulit didapatkan. Penggusuran paksa lahan warga oleh pihak perusahaan juga telah menyebabkan ruang untuk bertani ladang turun temurun perlahan namun pasti kian tergerus.
Pada sisi lain, warga di wilayah Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua dihadapkan pada ancaman intimidasi dan upaya kriminalisasi. Kehadiran aparat kepolisian yang berjaga di konsesi Mayawana Persada telah melahirkan ketakutan bagi warga. Padahal, tidak semestinya tupoksi APH menjadi penjaga konsesi.
Perlawanan Rakyat Terancam Pidana
Perjuangan yang dilakukan warga atas wilayah kelola dan haknya, termasuk sumber daya lahan serta bukit berhutan yang dijaga selama ini (Tanah Colap Torun Pusaka), tetap diserobot perusahaan. Lebih parah, warga dihadapkan pada ancaman hukum.
Dua warga yakni Fendy dan Riky di Desa Kualan Hilir, beberapa waktu lalu dipanggil pihak Polres Ketapang untuk dimintai keterangan sebagai saksi atas kasus lama yang seharusnya tidak perlu diangkat kembali.
Pembukaan lahan skala besar oleh Mayawana Persada sangat berdampak buruk bagi masyarakat. Lahan-lahan masyarakat yang digusur paksa oleh perusahaan tanpa adanya persetujuan seperti yang terjadi pada Blok K, L, M, N, dan B.
Sejumlah alat berat berupa excavator juga tampak di lapangan, bahkan ada yang sedang melakukan pembukaan lahan. Adapun Blok N berada di wilayah Desa Kampar Sebomban, Kecamatan Simpang Dua dan Dusun Lelayang, di Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu. Saat dilakukan pemantauan, alat berat sedang bekerja melakukan pembersihan ulang lahan yang sebelumnya sudah digusur.
Sedangkan Blok M masuk dalam wilayah kampung Bagan Poring dan Desa Sekucing Baru. Terpantau tiga buah excavator sedang tidak beraktivitas, tapi terlihat ada vegetasi jenis albasia yang sudah ditanam.
Selanjutnya di blok K yang masuk dalam wilayah Dusun Setontong, Bagan Poring, dan masuk juga dalam wilayah Desa Kualan HIlir ditemukan sebanyak 12 exavator terpantau dilokasi ini sedang melakukan pembukaan lahan untuk pembukaan jalan. Sementara di blok K juga sempat terjadi perkelahian yang melahirkan ketegangan antar masyarakat dan aparat kepolisian.
Pemicunya adalah pihak perusahaan yang menggusur paksa lahan milik masyarakat dan beberapa warga melakukan perlawanan sehingga terjadi perkelahian antara masyarakat dan personel Brimob yang sedang berada di lokasi.
Meski kontak fisik (pemukulan) antara masyarakat dan aparat dapat diselesaikan secara damai, namun masalah utama terkait penggusuran lahan masyarakat belum mendapatkan kepastian penyelesaian atau kesepakatan dengan perusahaan.
Terakhir di Blok B wilayah Dusun Bagan Kapas, Desa Kuala Labai dan Blok I wilayah Dusun Selimbung, Desa Sekucing Kualan, informasi masyarakat juga menjelaskan adanya pembukaan lahan oleh pihak perusahaan. Lokasi ini cukup sulit dijangkau karena waktu dan medan yang cukup berat mengingat kondisi cuaca saat itu sedang tidak mendukung.
Selain situasi yang terjadi sekitar blok konsesi di atas, penelusuran lapangan juga dilakukan pada wilayah kelola rakyat yang juga ternyata menjadi habitat sekaligus koridor orangutan. Kehadiran Mayawana Persada telah mencengkeram wilayah hidup satwa dilindungi tersebut.
Gusur Habitat Orangutan
Penggusuran atas habitat orangutan menyebabkan habitatnya kian menyempit dan selanjutnya bermigrasi ke wilayah yang hutannya masih tersisa yang justru menjadi ancaman atas lahirnya konflik orangutan dan masyarakat sekitar.
Salah satunya adalah di Kampung Selimbung, Desa Sekucing Kualan, Kecamatan Simpang Hulu. Warga pernah melihat beberapa sarang orangutan di lokasi yang jarak tempuhnya tidak sampai 2 jam dari kampung. Masyarakat juga sering mendengar suara orangutan ketika subuh hari dari arah hutan.
Tim WALHI Kalimantan Barat selanjutnya pada 9 November 2024 kembali melakukan penelusuran sekitar habitat orangutan dengan berjalan sejauh tiga kilometer dan melakukan penandaan dengan titik koordinat (GPS) di area hutan yang belum dibuka.
Kondisi hutan pada wilayah ini merupakan wilayah rawa gambut yang ditumbuhi tanaman hutan dan tanaman buah, seperti pohon meranti (Shorea), Punak (Tetramerista), dan Mangifera serta masih banyak tanaman lainnya.
Sebagian lain wilayah ini juga sudah dibuka oleh perusahaan PT. Mayawana Persada yang ditanami dengan tanaman monokultur akasia. Eksploitasi yang dilakukan menyebabkan terganggunya habitat orangutan dan hilangnya sejumlah wilayah berhutan yang menjadi tempat mereka membuat sarang serta mendapatkan makanan.
Adapun sejumlah hasil yang didapatkan, pada blok O dan P yang berada di wilayah Kampung Munggu Naning berbatasan dengan Kampung Selimbung, Desa Sekucing Kualan ditemukan sekitar 20 sarang orangutan dengan klaster kelas sarang A, B, C, dan D dari yang daun yang menjadi sarangnya masih berwarna hijau dan ada yang sudah berwarna cokelat sarangnya beserta sudah hancur.
Menurut Ongki, salah satu warga Dusun Lelayang sering mendengar suara orangutan. Hal ini kemudian memperkuat dugaan adanya orangutan di area hutan tersebut dengan bukti lapangan yaitu ditemukannya banyak sarang dan suara orangutan yang sering terdengar.
Kemudian pada blok J yang berada di Kampung Munggu Naning, berbatasan dengan Kampung Selimbung juga ditemukan tiga sarang orangutan. Sarang yang ditemui terlihat sudah lama ditinggalkan dan sudah hancur. Pada Blok J ini di dalam peta rencana ekspansi PT. Mayawana Persada, masuk dalam rencana pembukaan lahan yang saat ini belum dilakukan pembukaan.
Wilayah kelola rakyat dalam cengkraman PT. Mayawana Persada telah melahirkan krisis dan ketidakadilan yang hingga kini belum ada kepastian penyelesaian. Ancaman konflik bukan hanya dialami antarwarga, tetapi juga potensi konflik antara warga dan satwa akibat habitatnya diberangus lantas bermigrasi hingga wilayah permukiman.
Komunitas Masyarakat Adat Dayak Kualatn di wilayah Simpang Hulu dan sekitarnya masih menanti kehadiran negara memberikan solusi dan kedaulatan atas sumber-sumber kehidupan mereka yang direnggut perusahaan secara ugal-ugalan.*