Mantan Teroris Bicara Moderasi Beragama

Avatar
Kementerian Agama Kota Pontianak menghadirkan mantan narapidana teroris dalam diskusi terfokus tentang moderasi agama dan pluralisme. Foto: Dok Panitia FGD.

Kolase.id – Kementerian Agama Kota Pontianak menghadirkan mantan teroris sebagai pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD ) Moderasi Beragama di Rumah Adat Melayu, Kamis (14/7/2022).

Mereka adalah Ken Setiawan, mantan Komandan NII Wilayah 9 dan pendiri NII Crisis Centre (Pusat Rehabilitasi Korban NII dan Radikalisme). Juga ada Rosnazizi,  mantan narapidana teroris asal Singkawang yang pernah terpapar radikalisme.

Kepada awak media, Ken menyatakan radikalisme sebenarnye virus yang bisa menimpa siapa saja. Perlu pemahaman Pancasila dengan baik dan pengamalan yang benar agar tidak terpapar seperti dirinya dulu.

Ken mengaku, bisa terpapar virus radikal karena menganggap pancasila itu sebagai pujaan berhala. Padahal konsep Pancasila sudah final secara utuh sebagai falsafah negara  Indonesia.

“Saya dulu belajar dengan guru yang salah. Sehingga memahamai tafsir-tafsir dengan cara yang salah. Saya juga menganggap pancasila itu pujaan berhala. Padahal sejatinya, tidak ada pertentangan dalam Pancasila mengenai ajaran-ajaran agama,” kata Ken.

Menurutnya, dari anggapan keliru terhadap pancasila, memudahkan seseorang untuk berpindah haluan dari nilai-nilai agama sebenarnya. Ditambah lagi permasalahan munculnya sikap intoleran di tengah masyarakat, memicu paham radikal ini tumbuh.

Ada kelompok yang mengaku pancasilais, tetapi tidak memahami makna sebenarnya dari Pancasila itu sendiri. Merasa kelompoknya benar, sementara kelompok lain salah.

Ken menyatakan untuk menghindari  virus radikal ini, masyarakat perlu memahami dan mengamalkan pancasila secara berurutan, tidak melompat. Dimulai dengan mengamalkan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, ini akan menciptakan pribadi yang damai.  Di satu sisi, memang agama di Indonesia  beragam, namun intinya Tuhan itu tetap satu, hanya penamaan untuk Tuhan itu saja berbeda.

Ketika sudah meresapi dan mengaplikasikan sila pertama dengan baik, sila ke dua akan mudah diimplementasikan melalui prinsip memanusiakan manusia (sila kedua) walau berbeda agama dan etnis.

“Setelah kita beradab, maka kita bersatu (sila ketiga), kemudian bermusyawarah mufakat, insyaaallah barulah berkeadilan sosial (sila kelima). Ini yang harus kita bangun. Boleh berbeda tetapi jangan menyalahkan sehingga kita bisa berdamai semuanya antarumat beragama,” tegas Ken.

Masih menurut Ken, dia berharap, umat beragama harus sering bertemu dalam kegiatan positif untuk memupuk persatuan dan meminimalisir masuknya radikalisme. Ken juga yakin, dengan kerapnya kegiatan perkumpulan ini akan tercipta moderasi beragama yang indah. Karena selama ini dia melihat, perkumpulan lintas agama ini masih kurang, jadi perlu ditingkatkan.

Mantan napiter Rosnazizi dalam kesempatan itu bercerita dan mengisahkan pengalamannya hingga bisa terpapar paham radikalisme. Ketika itu dia hanya belajar satu guru yang melahirkan opini dan aksi menyesatkan. Padahal untuk mendapatkan ilmu yang benar harus banyak guru yang diikuti.

“Kita harus belajar dari sumber yang benar. Jangan hanya satu pintu. Dulu saya juga menganggap Pancasila itu bertentangan dengan quran dan sunnah. Tetapi hari ini saya mengatakan Pancasila sudah sesuai dengan quran dan sunnah,” katanya.

Namun, Rosnazizi tetap berpesan agar umat beragama tidak mudah menilai secara negatif umat beragama lainnya dari sisi penampilan. Belum tentu penampilan berciri kaum radikal itu, faktanya radikal, bisa sebaliknya. Yang harus diperhatikan, akhlak kita dalam kehidupan bermasyarakat.

Kakanwi Kemenag Kalbar Syahrul Yadi menyatakan, hadirnya dua narasumber  (Ken Setiawan dan Rosnazizi) ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat khususnya peserta FGD tentang paham radikal dan moderasi beragama yang menjadi prioritas program nasional.

Menurut Syahrul, potensi persatuan dan perpecahan di Indonesia, Kalbar khususnya sangat kental, maka harus kembali pada kebhinekaan tunggal ika.

“Orang beragama rentan dan sangat mudah tersinggung jika bicara soal agama. Kencang bahkan tidak dipikirkan dari sisi budaya, bahkan nyawa pun siap untuk dikorbankan. Ada kekuatan kiri dan kanan, maka kita harus menguatkan kekuatan tengah, yaitu bermoderasi agama,” jelas Syahrul Yadi.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *