Kolase.id – Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR) Borneo menggelar diskusi publik menjelang peringatan Big Bad Biomass International Day. Masyarakat internasional akan memperingati Big Bad International Day pada 21 Oktober 2024.
Diskusi yang melibatkan komponen masyarakat sipil, seniman, dan organ-organ kemahasiswaan ini sebagai wujud dari keteguhan sikap untuk melawan kebijakan penetapan biomassa sebagai sumber energi baru terbarukan (EBT) dalam skema transisi energi.
Ketua Link-AR Borneo Ahmad Syukri mengatakan diskusi ini membahas isu transisi energi dengan serentetan problematikanya. Termasuk menggaungkan kembali jargon biomassa sebagai solusi palsu transisi energi.
“Ini bagian dari persiapan kampanye Big Bad Biomass International Day yang puncaknya akan diselenggarakan pada 21 Oktober 2024 melalui aksi simpatik,” kata Ahmad Syukri dalam diskusi di Kantor Link-AR Borneo di Desa Kapur, Kubu Raya, Senin (14/10/2024).
Menurutnya, kampanye di Big Bad Biomass International Day ini akan melibatkan sejumlah komponen masyarakat sipil. Mereka adalah organisasi masyarakat sipil (CSO), jurnalis, seniman-musisi, organisasi mahasiswa dan kelompok pecinta alam.
Pada diskusi yang dipandu Alfian ini, Ahmad Syukri mengatakan, penetapan biomassa sebagai salah satu sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam program Transisi Energi Pemerintah Indonesia adalah sebuah petaka besar bagi masyarakat adat-komunitas masyarakat lokal.
“Kebijakan itu mengancam kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya,” kata Ahmad Syukri.
Menurutnya, pembangunan biomassa akan memperburuk deforestasi dan degradasi lahan yang sudah berlangsung pada era eksploitasi kawasan hutan dan lahan sebelumnya, terutama melalui izin hutan tanaman maupun konsesi perkebunan sawit.
“Ada banyak ragam jenis biomassa yang sedang digunakan dan dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia, seperti kayu, jangkos sawit, cangkang sawit, serabut kelapa, tempurung kelapa, jerami, dan bonggol jagung,” sebutnya.
Namun, kata Ahmad Syukri, kayu adalah yang paling utama dikembangkan untuk memastikan keberlanjutan pasokan pelet kayu dunia dan dalam negeri untuk disuplai ke PLTBm maupun PLTU co-firing untuk bauran batubara.
Lebih jauh Akmad Syukri menyebut, pelet kayu telah menjadi komoditas internasional yang akan mendorong perusahaan-perusahaan besar berbondong-bondong membabat kawasan hutan. “selanjutnya ditanami dengan tanaman kayu monokultur seperti kaliandra, gamal, akasia, ekaliptus, dan sebagainya.”
Demikian halnya jangkos, sambung Ahmad Syukri, cangkang sawit, bahkan dalam perkembangannya batang sawit, yang semakin bernilai akan mendorong laju degradasi lahan akibat ekspansi perkebunan sawit yang massif di Kalimantan Barat dan Indonesia umumnya.
“Sampai tahun 2022, di Kalimantan Barat setidaknya terdapat 68 izin PBPH dengan luas 2.767.488 hektar dan merupakan area konsesi PBPH terluas di Indonesia,” ungkap Ahmad Syukri.
Dia juga menjelaskan dalam rencana optimalisasi kebijakan transisi energi melalui pengembangan biomassa, sejumlah PLTU di Kalbar, setidaknya saat ini ada 7 konsesi Hutan Tanaman Energi dan 9 PLTU Co-firing, seperti PLTU Parit Baru Site Bengkayang 01 dan PLTU Ketapang 01 dapat dikembangkan dalam skema program co-firing.
Karena itu, Ahmad Syukri mengatakan pengembangan PLTU Co-Firing maupun pembangunan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) ke depan, yang memanfaatkan pasokan bahan mentah, terutama kayu yang berasal dari perkebunan kayu skala besar pemegang PBPH Hutan Tanaman Energi, justru akan meningkatkan deforestasi dan degradasi lahan serta meningkatkan emisi karbon dari pembakaran biomassanya.
Dengan demikian, kata Ahmad Syukri, kebijakan tersebut tidak akan mengurangi atau menurunkan emisi karbon yang menjadi penyebab terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global. “Ini yang kami maksudkan bahwa biomassa sebagai solusi palsu penanganan krisis iklim atau solusi palsu transisi Energi,” cetusnya.
Perwakilan Gemawan Lani Ardiansyah menguatkan bahwa pengelolaan kawasan hutan yang sekarang ini lebih banyak diserahkan ke perusahaan skala besar dan terbukti menimbulkan dampak negatif di bidang sosial, ekonomi, maupun lingkungan. “Lebih baik pengelolaan kawasan hutan tersebut diserahkan kepada masyarakat, seperti melalui skema Perhutanan Sosial (PS), meskipun sejauh ini program PS masih menyisakan sejumlah masalah,” katanya.
Lani Ardiansyah mengatakan, ada kesan saat ini pemerintah hanya berfokus mendorong pengembangan ekonomi semata. “Mendorong perekonomian tanpa kepastian pasar dari produk kehutanan masyarakat di wilayah PS berpotensi menjadi sasaran pengembangan biomassa di kemudian hari,” kuncinya.*