Konas Hari Laut Dunia Kupas Tuntas Problematika Pesisir dan Krisis Iklim

Lautan yang dahulu menjadi penyeimbang iklim kini telah berubah menjadi ruang yang penuh ketidakpastian

Konferensi Nasional Hari Laut Sedunia 2025 yang dihelat di Ruang Teater 2 Gedung Konferensi Universitas Tanjungpura Pontianak, Rabu (11/6/2025). Foto: Setra Kusumardana/Yayasan Webe Konservasi Ketapang

Kolase.id – Hari Laut Sedunia 2025 yang diperingati setiap 8 Juni, menjadi momentum penting bagi Indonesia, khususnya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk berbenah. Mahasiswa Ilmu Kelautan Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura Pontianak memanfaatkan momentum ini untuk menelaah kembali relasi antara krisis iklim, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Melalui konferensi nasional yang digelar di Ruang Teater 2 Gedung Konferensi Universitas Tanjungpura, Rabu (11/6/2025), para pemangku kepentingan dari dunia riset, masyarakat sipil, hingga praktisi media, berkumpul untuk membahas bagaimana perubahan iklim mengancam kehidupan pesisir, tidak hanya dari sisi ekologis, tetapi juga sosial dan ekonomi.

Dr. Asep Sandra Budiman, peneliti dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, memaparkan secara gamblang mengenai kondisi iklim laut saat ini. Ia menyebutkan bahwa perubahan pola cuaca dan meningkatnya suhu bumi telah menyebabkan berbagai indikator perubahan iklim di lautan naik secara signifikan.

Permukaan laut yang terus meninggi, suhu permukaan laut yang melampaui ambang historis, serta meningkatnya gelombang panas laut menjadi sinyal darurat yang tak bisa diabaikan.

Menurut Asep, lautan yang dahulu menjadi penyeimbang iklim kini telah berubah menjadi ruang yang penuh ketidakpastian. “Ekosistem pesisir seperti terumbu karang dan padang lamun kini mengalami stres berat. Pemutihan karang makin sering terjadi, komunitas ikan berubah, dan keanekaragaman hayati mulai terkikis. Ini bukan hanya isu lingkungan, ini soal keberlangsungan hidup,” tegasnya.

Asep memaparkan bagaimana perubahan iklim telah menyebabkan kerusakan serius pada habitat laut, mulai dari terumbu karang hingga hutan bakau, yang merupakan tempat berkembang biaknya berbagai spesies ikan.

“Kerusakan habitat laut adalah peringatan keras bagi kita. Sekitar 35% terumbu karang di Indonesia mengalami pemutihan signifikan akibat peningkatan suhu laut, dan itu berdampak langsung pada populasi ikan,” jelasnya, mengutip data dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI tahun 2021.

Lebih lanjut, Asep mengungkapkan bahwa data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan penurunan jumlah tangkapan ikan sebesar 20–30% di beberapa wilayah pesisir sejak 2010.

Akibatnya, nelayan harus melaut lebih jauh dan lebih lama demi memperoleh tangkapan yang memadai. “Bukan hanya soal lingkungan, ini juga soal ekonomi. Ketika hasil tangkapan menurun, pendapatan pun ikut tergerus,” katanya.

Studi dari International Labour Organization (ILO) tahun 2018 mendukung hal ini, mencatat penurunan pendapatan nelayan tradisional hingga 30% dalam satu dekade terakhir. Bagi banyak keluarga nelayan, yang minim sumber penghasilan alternatif, ini adalah krisis yang mengguncang fondasi hidup mereka.

Exit mobile version