Kolase.id – Ekonomi hijau masih menjadi tantangan. Implementasinya dihadapkan pada permasalahan baru yang muncul dari sebuah solusi, atau biasa disebut leakages (kebocoran) rebound effect (dampak lanjutan), economic growth impacts (dampak pertumbuhan ekonomi), dan regressivity (regresivitas).
Hal tersebut disampaikan perwakilan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyaralat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Alin Halimatussadiah di ajang KNJLH+ sesi Green Editor Forum yang diselenggarakan The Society of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) bersama ID COMM (Indonesia Communications) di Wisma Hijau Depok, Kamis (19/1/2023).
“Kita mendorong satu sektor yang dianggap sebagai sektor hijau, tetapi ternyata memberikan dampak pada sektor lain,” katanya.
Ia memaparkan, saat mendorong energi baru biofuel dari sawit, perlu cek lagi, apakah ini nanti akan menyebabkan perluasan lahan. Kondisi tersebut dinamakan lackages.
“Atau kita melihat efisiensi energi yang sedang diupayakan sehingga banyak fasilitas menjadi lebih terjangkau, ternyata hal itu bukan menjadi solusi tetapi malah menumbuhkan sisi konsumtif masyarakat sehingga menjadi permasalahan baru,” jelas Alin.
Ia menegaskan, perjalanan dalam mewujudkan ekonomi hijau membutuhkan dukungan finansial dalam bentuk investasi. Secara global ada investment banking yang terdiri dari investor, perbankan, dan aset manajemen yang memiliki komitmen untuk membantu proses transisi dan mendorong ke arah green economy.
Perwakilan Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono menjelaskan, taksonomi hijau adalah batu loncatan untuk mengetahui sektor-sektor ekonomi hijau, atau sektor cokelat. Namun langkah penting yang dijadikan acuan selain sektor-sektor ini adalah tentang aktivitas dan proses bisnis dari perusahaan-perusahaan di sektor tersebut.
“Semen, atau baja dalam taksonomi hijau bisa jadi termasuk sektor dalam kategori merah. Namun hal ini jangan sampai membuat perbankan dan institusi keuangan lainnya menarik pendanaan dari perusahaan-perusahaan ini, yang kemudian mereka kehilangan akses terhadap pembiayaan. Padahal bisa saja mereka memiliki peta jalan transisi yang kredibel,” ujarnya.
Ia menegaskan berkaca pada tren global dan kebijakan di negara-negara lain, industri keuangan menunjukkan minat yang semakin serius untuk mendorong sejumlah sektor riil untuk melakukan transisi.
Namun demikian sektor keuangan membutuhkan peta jalan penurunan emisi yang detail di setiap sektor dan rencana yang kredibel. Peta jalan ini akan membantu sektor keuangan dalam memitigasi potensi risiko dari transisi.
“Inilah peran taksonomi hijau yang membantu sektor keuangan dalam mengidentifikasi industri-industri yang penting dan dapat dibantu terkait pendanaan,” terang Teguh.
Co-founder Think Policy Andhyta Firselly Utami menjelaskan, saat ini menilai pertumbuhan perekonomian menggunakan indikator produk domestik bruto atau Gross Domestic Product (GDP).
Berdasarkan indikator tersebut, dalam menentukan sebuah kebijakan yang dijadikan acuan adalah tingkat konsumtif masyarakat, belanja pemerintah, investasi, dan kepentingan ekspor-impor.
Pertumbuhan yang mengacu pada PDB, secara tidak langsung berakibat pada kerusakan alam. “Hutan pun dikonversi. Jika dibiarkan, hutan tidak bernilai ekonomi,” lanjut Andhyta.
Tentang ekonomi hijau saat ini, Andhyta menjelaskan sebuah kondisi yang dinamakan decoupling. Yakni tentang peningkatan GDP, namun pemanfaatan sumber dayanya melandai dan dampak lingkungan mengalami penurunan.
Editor Katadata Geeen Rezza Aji Pratama menambahkan, berdasarkan laporan khusus tentang bagaimana dekarbonisasi yang terjadi pada sektor energi, pelaku di sektor energi, sedang bersemangat sekaligus kebingungan dengan hal yang harus dilakukan tentang ekonomi hijau yang merupakan hal baru juga bagi para pelaku industri.
“Dalam melakukan peliputan isu ekonomi hijau, tantangan terbesarnya adalah keterbatasan kompetensi jurnalis itu sendiri. Berbicara tentang isu lingkungan saja sudah cukup rumit karena banyak istilah teknis, apalagi dikaitkan dengan ekonomi. Ini isu yang sangat kompleks karena menggabungkan ekonomi dan lingkungan,” lanjutnya.
Tantangan lain yang tidak kalah berat adalah masih gencarnya pelaku greenwashing. Hal ini bermula dari keinginan tiap perusahaan dan pelaku industri untuk terlihat hijau, maka masih banyak yang bersedia mengeluarkan dana lebih, bukan untuk beralih melakukan ekonomi hijau sungguhan, namun justru mengeluarkan banyak uang untuk branding dan publikasi PR saja.*