Kiprah Delima Silalahi, Srikandi Siborong-borong Sang Peraih Golden Environmental Prize

Bersama gerakan masyarakat sipil di Sumatra Utara, Delima Silalahi berhasil merebut kembali lahan yang dikuasai perusahaan pulp dan kertas yang telah mengubah sebagian kawasan menjadi hutan tanaman industri eukaliptus yang bukan tumbuhan asli setempat dan dikembangkan secara monokultur.

Avatar
Delima Silalahi, perempuan asal Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara, Indonesia yang berhasil meraih penghargaan Golden Environmental Prize bersama lima pejuang lingkungan akar rumput di dunia. Foto: Edward Tiggor for The Golden Environmental Prize

Kolase.id – Satu lagi tokoh lingkungan berpengaruh di Indonesia meraih penghargaan bergengsi Golden Environmental Prize. Dia adalah Delima Silalahi. Srikandi asal Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatra Utara ini berjuang bersama kelompok masyarakat adat mempertahankan tanah mereka dan memulihkan ekosistemnya dari kerusakan fatal.

Delima Silalahi memimpin advokasi dan kampanye untuk mendapatkan hak pengelolaan sah 7.213 ha lahan hutan tropis untuk enam Kelompok Masyarakat Adat di Sumatra Utara. Atas perjuangannya, Delima bersama gerakan masyarakat sipil di Sumatra Utara berhasil merebut kembali lahan ini dari perusahaan pulp dan kertas yang telah mengubah sebagian kawasan menjadi hutan tanaman industri eukaliptus yang bukan tumbuhan asli setempat dan dikembangkan secara monokultur. Keenam kelompok masyarakat adat yang bersangkutan telah memulai restorasi hutan tersebut, sehingga menciptakan serapan karbon berharga di hutan tropis Indonesia dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi.

Ekosistem kaya yang terancam

Indonesia merupakan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Sebagian besar emisi ini dihasilkan dari pembalakan dan pembakaran hutan dan lahan gambut untuk membangun perkebunan industri. Sejak tahun 2015 hingga 2019, kebakaran telah menghanguskan 10,8 juta ha hutan dan lahan gambut, lebih luas dari wilayah Belanda.

Sebagai negara dengan hutan hujan terluas ketiga di dunia, Indonesia memiliki belantara yang begitu luas dan mengandung keanekaragaman hayati, dengan simpanan karbon yang sangat besar yang penting untuk memerangi perubahan iklim. Pulau Sumatra menjadi satu-satunya tempat di muka bumi di mana badak, orangutan, harimau, dan gajah hidup berdampingan di alam liar. Perusakan habitat kini mengancam spesies-spesies dengan status kritis ini, di mana harimau Sumatra merupakan spesies yang paling terancam dengan sisa populasi 500 ekor yang sekaligus merupakan populasi harimau terakhir di Indonesia.

Masyarakat Sumatra Utara telah lama membudidayakan pohon Styrax benzoin di hutan dan memanen getahnya yang dikenal sebagai kemenyan Sumatra. Catatan sejarah menunjukkan bahwa getah yang digunakan dalam minyak, wewangian, dan pengobatan ini telah dipanen dan diperjualbelikan setidaknya sejak abad ke delapan. Ketika dibudidayakan secara berkelanjutan di dalam hutan, getah kemenyan ini dapat diekstraksi terus menerus selama 60 tahun. Getah ini telah menjadi sumber pendapatan lokal yang signifikan.

Beberapa tahun terakhir, perusahaan pulp dan kertas Toba Pulp Lestari (TPL) telah merambah hutan di Sumatra Utara yang selama ini dikelola secara tradisional oleh Masyarakat Adat. TPL membuka hutan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi ini untuk membangun hutan tanaman eukaliptus yang besar dengan sistem monokultur.

Kurangnya pengakuan resmi dari pemerintah terkait hutan yang dikelola masyarakat ini memberikan kesempatan bagi TPL untuk memperluas wilayah operasionalnya. Pada tahun 2013, Greenpeace menyematkan Sukanto Tanoto yang merupakan miliarder pemilik TPL dengan predikat “penerima penghargaan sebagai satu-satunya pendorong deforestasi terbesar di dunia”.

Investigasi lebih lanjut yang dilakukan oleh Vice dan laporan dari beberapa organisasi nonpemerintah Indonesia menemukan bahwa TPL mempekerjakan anak di bawah umur di perkebunannya. Pada saat masyarakat setempat melakukan unjuk rasa atas perusakan hutan yang dilakukan, TPL meminta bantuan polisi yang kemudian membubarkan paksa dan menangkap para pengunjuk rasa.

Penjaga hutan

Delima Silalahi, 46 tahun, adalah Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). KSPPM merupakan suatu organisasi nonpemerintah yang berdedikasi untuk perlindungan hutan adat di Sumatra Utara. Delima merupakan perempuan Batak dari Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara. Tapanuli Utara merupakan salah satu dari begitu banyak kabupaten yang terdampak akibat pembukaan hutan untuk perkebunan industri. Delima pernah menjadi aktivis saat berkuliah dan bergabung dengan KSPPM sebagai sukarelawan pada tahun 1999. Mengingat kantor KSPPM yang terletak jauh dari tempat tinggal keluarganya, Delima harus menghabiskan beberapa pekan terpisah dari mereka, dan sering kali menginap di kantor dan tinggal bersama masyarakat.

Memastikan pengelolaan berkelanjutan

Pada tahun 2013, putusan Mahkamah Konstitusi mengaskan bahwa Hutan Adat Bukanlah Hutan Negara. Putusan ini menjadi peluang bagi Masyarakat Adat Indonesia untuk mengeklaim pengelolaan sah atas wilayah hutan adatnya.

Putusan ini juga menegaskan bahwa perjuangan KSPPM dan masyarakat adat yang didorong oleh rasa prihatin terhadap perampasan wilayah adat secara besar-besaran untuk dijadikan industri pulp dan kertas, yang dampaknya terhadap hutan di wilayah Danau Toba, bukanlah tindakan yang melawan konstitusi. Delima beserta timnya di KSPPM semakin termotivasi mengorganisasi masyarakat setempat untuk mengeklaim hutan adatnya secara legal.

Delima melakukan kunjungan dari desa ke desa dan mengedukasi masyarakat terkait undang-undang yang mendukung pengakuan hak Masyarakat Adat dan klaim hutan adat. Meskipun perempuan di masyarakat Tano Batak sering kali tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan, Delima tetap memastikan bahwa suara mereka didengar selama proses berlangsung dengan menyertakan edukasi terkait gender sebagai alat utama pengorganisasian.

Delima sendiri menemukan banyak tantangan sebagai perempuan pemimpin di Indonesia dan pernah dikritik karena jauh dari suami dan anak-anaknya selama berminggu-berminggu.

Delima dan KSPPM memfasilitasi pemetaan hutan secara partisipatif dengan masing-masing kelompok masyarakat untuk mendokumentasikan wilayah adatnya. Mereka mengorganisasi protes besar-besaran kepada TPL di kabupaten yang menjadi wilayah operasi perusahaan ini. Pada bulan Juni 2021, Delima dan anggota masyarakat bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mendesak pengakuan terhadap hutan adat milik masyarakat.

Pada Februari 2022, berkat kampanye khusus yang dilakukan Delima dan masyarakat binaannya, pemerintah akhirnya memberikan hak pengelolaan sah atas 7.213 ha hutan adat kepada enam kelompok masyarakat Tano Batak (termasuk 6.333 ha lahan yang diklaim kembali dari TPL dan 884 ha dari kawasan hutan negara). Enam kelompok masyarakat ini mulai mereboisasi kawasan tersebut dengan menanam spesies hutan asli, termasuk pohon kemenyan.

Delima dan KSPPM mendukung masyarakat untuk menanam kembali dan merestorasi ekosistem, sekaligus meningkatkan tutupan pohon hutan dan ketahanan iklim alami. Meski dihadapkan dengan industri paling berkuasa di Sumatra Utara, Delima dan masyarakat binaannya berhasil mendapatkan hak pengelolaan sah atas hutan adat masyarakat, suatu kemenangan bagi ketahanan iklim, keanekaragaman hayati, dan hak masyarakat adat.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *