Kelestarian Tenun Iban di Era Krisis Iklim

Oleh Hardiyanti (Penulis adalah Peneliti Mandiri yang Memotret Kehidupan Para Penenun di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat)

Avatar
Hardiyanti, peneliti mandiri yang memotret kehidupan para penenun di 6 kampung di Kecamatan Embaloh Hulu dan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar. Foto: Dok. Hardiyanti

KALIMANTAN Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki hutan alam seluas 8.389.600 hektar. Jumlah luasan tersebut menjadikannya yang terbesar secara nasional hingga mencapai 57,14 persen dari jumlah total luas wilayah provinsi.

Di antara beberapa kabupaten yang ada, Kapuas Hulu memiliki 2,3 juta hektar hutan yang di dalamnya terdapat Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum. Kawasan lindung ini berperan penting dalam menjaga kestabilan iklim global.

Kapuas Hulu juga menjadi tempat persebaran komunitas suku Dayak Iban terbanyak di Kalimantan Barat hingga ke Sarawak, Malaysia. Suku ini sangat dikenali dengan keterampilannya dalam seni kerajinan yang sangat indah. Satu di antaranya, kain tenun yang masih menggunakan warna alam.

Para penenun sampai saat ini masih menggantungkan sumber daya alam seperti kayu sebagai bahan utama membuat alat tenun tradisional. Selain itu, terdapat 26 tumbuhan lokal yang dimanfaatkan untuk pewarna, baik dari akar, daun, buah, maupun kulit kayunya.

Daun rengat yang telah direndam satu malam untuk mewarnai benang. Foto: Dok. Hardiyanti

Namun perubahan iklim yang terjadi memberi dampak signifikan pada sektor kerajinan tradisional dengan cara yang tidak terbayangkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagian besar penenun tinggal di perkampungan yang belum didukung oleh jaringan komunikasi maupun listrik. Untuk bisa terhubung dengan jaringan komunikasi yang stabil, banyak di antara mereka harus pergi ke ibu kota kecamatan, bahkan ibu kota kabupaten yang jarak tempuhnya bisa 1-6 jam (pulang pergi).

Tingginya intensitas hujan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir memicu luapan air dari sungai-sungai besar yang mengakibatkan banjir di beberapa titik dan melumpuhkan jalur distribusi tenun untuk bisa keluar, baik distribusi yang dilakukan perorangan maupun oleh jasa kurir.

Foto udara banjir 2022 yang mengepung Putussibau dan melumpuhkan jalur distribusi tenun. Foto: Dok Riki Rahmansyah

Kondisi serupa dialami oleh para penenun yang berada di sekitar Kecamatan Batang Lupar, untuk melakukan promosi online kepada para pecinta wastra mereka harus pergi ke kecamatan. Lanjak sebagai Ibu kota kecamatan yang bersebelahan langsung dengan Danau Sentarum mengalami peningkatan intensitas banjir yang cukup tinggi. Padahal, dahulu hanya terjadi 10 tahun sekali, sekarang bisa terjadi hampir setiap tahun.

Selain karena terjadinya el nino, beberapa tutupan hutan di Lanjak juga telah masuk konsesi sawit, yang diyakini dalam waktu dekat para penenun akan kehilangan kekayaan hayati tumbuhan pewarna alami dan merusak sistem produksi mereka.

Di sisi lain, menenun merupakan seni kerajinan yang memiliki tiga fungsi penting sebagai pelestari budaya, sumber ekonomi kreatif, dan kelestarian hutan tropis. Puluhan tumbuhan yang dimanfaatkan dengan berkelanjutan membuat ibu penenun dengan sendirinya akan merawat baik tumbuhan maupun ekosistem tempat tumbuhan itu berada, sehingga secara langsung membangun pengetahuan dan ikatan yang mendalam terhadap lingkungannya.

Layang ubun, alat yang digunakan untuk menggulung benang, terbuat dari dari kayu yang dipanen dari hutan. Foto: Dok. Hardiyanti

Motif-motif tenun yang tercipta merupakan bentuk ekspresi artistik akan identitas kesukuannya yang memvisualkan kekayaan flora, fauna, tokoh khayangan, hewan mitologi, maupun fenomena alam.

Peran Tenun dalam Mendukung Pecapaian Sustainable Development Goals (SDGs)

Tenun ikat dengan motif antu lepu-lepu ngasu (hantu yang sedang berburu). Warna merah berasal dari daun engkerebai dan warna hitam dari daun rengat. Foto: Dok. Hardiyanti

Kekacauan yang melanda bumi saat ini membuat banyak negara harus merumuskan ulang dengan bergotong royong menyusun tujuan pembangunan berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs). Ini merupakan momen di mana kita harus melihat ke masa lalu, belajar lagi dengan leluhur bangsa ini, karena sebetulnya praktik menenun yang dilakukan oleh leluhur suku Iban sejak zaman dahulu sudah memikirkan keberlanjutan.

Aktivitas menenun merupakan praktik yang sudah sangat tua namun sangat revolusioner untuk merespon perubahan iklim dengan mengedepankan konservasi dan restorasi alam. Dari total 17 poin yang ada, praktik tenun setidaknya telah memenuhi 11 poin SDGs. Lebih jauh akan diuraikan ke dalam point-point berikut:

Point 1. Menghapus kemiskinan (no poverty)

Tenun Iban adalah produk slow fashion yang diproduksi secara terbatas dan eksklusif dengan menerapkan keahlian dan keterampilan yang tinggi sehingga memiliki nilai ekonomi yang bagus, menjadi salah satu sumber pemasukan yang digunakan untuk memenuhi substitusi kebutuhan rumah tangga. Dengan terus melakukan penguatan SDM dan peningkatan kualitas produk, kemiskinan dapat dikurangi secara signifikan.

Point 4. Pendidikan bermutu (quality education)

Di beberapa kampung, tenun sudah mulai muncul regenerasi penenun muda yang memperoleh manfaat ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dalam melengkapi peralatan sekolah; buku, seragam, dan lain-lain, sehingga penenun muda semakin terlatih mandiri.

Point 5. Kesetaraan gender (gender equality)

Bagi suku Iban, tenun merupakan pekerjaan yang lazim dilakukan oleh kaum perempuan, kendati kaum laki-laki juga memiliki peran penting dalam mendesain dan menyediakan alat-alat tenun yang terbuat dari sumber daya kayu yang ada di hutan mereka.

Point 6. Akses air bersih dan sanitasi (clean water and sanitation)

Para penenun yang menjaga lanskap alam berupa hutan maupun sungai, dengan sendirinya sumber-sumber air bersih ikut terjaga dan bisa dimanfaatkan secara bersama-sama.

Point 7. Energi bersih dan terjangkau (affordable and clean energy)

Dalam praktiknya, para penenun mengandalkan energi panas matahari untuk proses penjemuran benang yang telah diwarnai, juga menggunakan kayu bakar seperlunya saat melakukan perebusan bahan pewarna tenun.

Point 8. Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi (decent work and economy growth)

Aktivitas menenun dapat menyerap tenaga kerja lokal sehingga kaum perempuan tidak harus meninggalkan kampung halaman dan keluarganya untuk memperoleh pemasukan ekonomi. Kegiatan ini juga bisa menjadi daya tarik ekowisata yang berkelanjutan untuk memberi nilai tambah dan memperkuat pertumbuhan ekonomi di setiap kampung penenun.

Point 9. Industri, inovasi dan infrastruktur (industry, innovations, and infrastructure)

Menenun memiliki peran menjaga pengetahuan dan keahlian warisan leluhur agar tetap hidup, dan mendorong adanya inovasi-inovasi untuk membangun fasilitas di kampungnya secara mandiri.

Point 10. Mengurangi ketimpangan (reduce inequality)

Praktik menenun mempunyai peran penting dalam menguatkan kelompok marginal termasuk perempuan adat. Kegiatan ini mendukung inklusivitas antara perempuan dan laki-laki, baik generasi muda maupun kelompok dewasa, sehingga dapat membantu kesenjangan gender dan ekonomi.

Point 12. Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab (responsible consumption and production)

Kerajinan menenun suku Dayak Iban selalu menggunakan sumber daya alam dengan efisien, dalam proses produksi menggunakan mode lambat yang tidak menghasilkan cemaran limbah maupun polusi udara, sehingga prosesnya lebih bertanggung jawab secara lingkungan maupun secara etis.

Point 13. Penanganan perubahan iklim (climate action)

Menenun dengan teknik tradisional memanfaatkan warna alam menjadi salah satu solusi dan harapan atas permasalahan industri fast fashion yang menyumbang 8 persen emisi karbon dunia. Kain tenun menjadi salah satu bentuk mitigasi krisis iklim yang harus didukung keberlangsungannya.

Point 15. Menjaga ekosistem darat (life on land)

Sebagian besar bahan baku pewarna tenun berasal dari ekosistem darat berupa tumbuhan pewarna yang dimanfaatkan secara lestari tanpa merusak ekosistem hutan.

Kaum laki-laki yang berperan dalam membuat seperangkat alat tenung. Foto: Dok. Hardiyanti

Praktik tenun yang bersimbiosis dengan kelestarian alam ini menjadi sebuah urgensi untuk mendapatkan apresiasi positif dan dukungan. Termasuk membangun ekosistem kerajinan yang kuat untuk dapat memperkenalkan potensi dan kekhasan Kapuas Hulu.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *