Kolase.id – Pesisir utara Kalimantan Barat sejatinya bukan sekadar pantai dan debur ombak. Kawasan yang terbentang dari Kabupaten Mempawah hingga Sambas ini punya cerita yang khas. Bahkan, daya magnetiknya lebih kuat dari perangkap rawa laut sekalipun.
Kisah tentang ikan dan udang yang menghilang, diiringi pudarnya impian para nelayan, menjadi salah satu pemantik dari cerita panjang di pesisir utara Kalbar. Kisah panjang itu akhirnya berkomparasi dengan berbagai dalil-dalil pembangunan, baik perkebunan, permukiman, tempat wisata, hotel, maupun perikanan tambak.
Ikan-ikan kian menjauh. Sementara kicau burung-burung pantai menjadi samar. Ada yang hilang di sana. Sesuatu yang maha penting bagi kehidupan umat manusia. Dia adalah mangrove, tumbuhan unik dengan kemampuan bertoleransi terhadap salinitas air laut.
Sekilas, tak banyak orang tahu apa fungsi mangrove bagi kehidupan. Padahal, mangrove sesungguhnya mampu memberikan perlindungan bagi berbagai organisme. Tempat bermukim dan berkembang biak hewan darat maupun hewan air.
Hutan mangrove dipenuhi pula kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga, dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity), ekosistem mangrove adalah plasma nutfah (geneticpool) yang dapat menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya.
Habitat mangrove merupakan tempat mencari makan (feeding ground) bagi hewan-hewan tersebut. Tempat mengasuh dan membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground), serta tempat berlindung yang aman bagi berbagai ikan-ikan kecil serta kerang (shellfish) dari predator.
Selain hal di atas, masih banyak fungsi mangrove lainnya bagi kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Kelestarian hutan mangrove, harusnya tetap dijaga dengan baik. Sayangnya, kesadaran semacam itu masih jauh dari harapan.
Perlu konservasi yang komprehensif di pesisir utara Kalimantan Barat. Upaya rehabilitasi dan restorasi juga sangat diperlukan lantaran ancaman abrasi menjadi permasalahan yang cukup serius.
Berdasarkan hasil penelusuran di Kelurahan Setapuk, Kota Singkawang (2011) abrasi di pesisir Setapuk terjadi sekitar 10 meter per tahun. Banyak kebun kelapa milik warga yang tumbang dan mati akibat intrusi dan tergerus air laut.
Bahkan menurut pengamatan Kelompok Gabungan Anak Pantai Selatan (Gapsel) pada 2011, setidaknya dalam 25 tahun telah terjadi abrasi sepanjang 5 kilometer di Sungai Duri. Akibatnya, permukiman warga telah menjadi laut dan harus berpindah ke lokasi lain.
Akibatnya, sepanjang 193 kilometer jalan raya utama yang menghubungkan Kota Pontianak, Mempawah, Singkawang, dan Sambas, terancam abrasi dan pasang air laut. Bahkan terdapat beberapa ruas jalan yang sering mengalami banjir saat air laut pasang serta kerusakan badan jalan akibat tergerus air laut.
Melihat kondisi tersebut, pemerintah provinsi maupun daerah berupaya mencegah laju abrasi pesisir utara Kalbar melalui pembangunan kubus beton (break water). Namun butuh waktu yang lama dan dana yang cukup besar agar semua kawasan pesisir utara secara keseluruhan dapat tercover oleh break water.
Selain itu break water secara ideal hanya mampu bertahan selama kurang lebih 10 tahun, dikarenakan secara perlahan kubus beton akan menurun dan tenggelam akibat tergerus arus laut. Untuk itu peran restorasi hutan mangrove di pesisir utara Kalbar sangat diperlukan. Selain biaya yang relatif murah, juga memberikan manfaat yang besar baik secara ekologi maupun sosial ekonomi.
Membangun Peradaban Mangrove
WWF Indonesia menyadari fenomena itu. Serentetan jurus-jurus penyelamatan mulai dirancang. Di antaranya mengonservasi fungsi ekologis hutan Kalimantan untuk mendukung nilai-nilai biodiversitas, sosial ekonomi, dan spiritual bagi masyarakat lokal.
Upaya ini sekaligus melanjutkan program konservasi di dalam dan di sekitar jantung Kalimantan. Termasuk ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kalimantan Barat yang teridentifikasi memiliki nilai konservasi tinggi.
Tidak mudah bagi WWF untuk menyentuh wilayah pesisir ini, kendati sejumlah strategi sudah disematkan. Namun dengan keteguhan sikap, dilandasi semangat kelompok masyarakat setempat, program ini dapat berjalan dengan baik. Sokongan penuh berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta, juga menjadi penentu bagi arah dan kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Sedikitnya ada delapan kelompok dampingan WWF yang tercatat telah mendedikasikan dirinya sebagai bagian dari upaya konservasi pantai utara Kalbar. Mereka terdiri dari Karang Taruna Akar Bahar, Sungai Duri, Kabupaten Bengkayang, Pokmaswas Sabuk Mangrove, Sungai Duri, Kabupaten Bengkayang, Mempawah Mangrove Conservation, Kabupaten Mempawah, Kelompok Surya Perdana Mandiri, Setapuk Besar, Kota Singkawang, Komunitas Peduli Lingkungan, Pantai Gosong, Kabupaten Bengkayang, Mangrove Center Foundation, Pemangkat, Kabupaten Sambas, Pokmaswas Kambau Borneo, Paloh, Kabupaten Sambas, dan Kelompok Wahana Bahari, Paloh, Kabupaten Sambas.
Tak jarang, para pegiat konservasi mangrove di pesisir utara Kalimantan Barat acapkali bikin kejutan dengan berkolaborasi di berbagai even penanaman mangrove. Galibnya aritmatika, mereka menanam mangrove di wilayah masing-masing, dari nol hingga tak terhingga.
Kopling Pantai Gosong yang diketuai Achmad Baharudin telah menuntaskan penanaman di sekitar Pantai Gosong sebanyak 13.400 batang mangrove. Upaya ini sudah berlangsung sejak 3 Maret 2016. Kopling Pantai Gosong disokong oleh 20 komunitas.
“Kami berharap penanaman mangrove dapat menambah hutan dan daratan baru yang sudah mengalami pengikisan akibat abrasi laut,” jelas pria yang akrab disapa Bahe Kopling ini.
Di tempat terpisah, Kepala Desa Sungai Duri Rezza Praba Herlambang menceritakan cikal bakal Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Sabuk Mangrove yang dimulai dari kepedulian anak muda setempat terhadap lingkungan.
Mereka pun membentuk kelompok peduli mangrove bernama Gabungan Anak Pantai Selatan (Gapsel) pada 2009. “Selanjutnya saya bentuk Pokmaswas Sabuk Hijau setelah terpilih menjadi kepala desa pada 2016,” katanya.
Delapan tahun berkiprah, kelompok ini sudah berhasil menanam 90 ribu bibit mangrove yang tersebar di atas lahan seluas sembilan hektar. Saat ini tercatat kurang lebih 65 anggota aktif.
“Kami ini korban abrasi yang selalu berharap peristiwa itu tidak terjadi lagi. Penanaman mangrove akan menjadi opsi terbaik melindungi tempat tinggal kami, sekaligus solusi rehabilitasi wilayah pesisir yang pernah rusak akibat abrasi,” kata Rezza.
Dia berjanji akan mengajak para pegiat konservasi mangrove di pantai utara agar dapat bergandengan tangan, menyatukan gerak dan langkah, demi mewujudkan seluruh pesisir Kalbar terlindungi melalui perisai hijau mangrove.
Sementara Ketua Mempawah Mangrove Conservation (MMC) Raja Fajar Azansyah mengatakan lembaganya mulai mengonservasi mangrove di lima desa sejak 14 Desember 2011. Desa-desa sasaran adalah Desa Pasir, Penibung, Sungai Bakau Kecil, Sungai Bakau Besar Laut, serta Desa Purun Kecil. Lokasi tanam yang terbaru ada di Benteng, Kelurahan Terusan.
Berdasarkan data dari MMC, jumlah mangrove yang ditanam sejak 2011-2018 mencapai 314.500 pohon. Jumlah mangrove sebanyak itu ditanam di atas lahan seluas 25 hektar. Asumsinya, satu hektar lahan dapat ditanami mangrove sebanyak 10 ribu pohon.
Terkait kehadiran Mempawah Mangrove Park (MMP), Fajar menjelaskan bahwa lembaga ini lahir dari rahim MMC. MMP berkonsep eduecotourism. Baru beroperasi setelah diresmikan oleh Wakil Bupati Mempawah pada 23 Agustus 2016. “Kita bekerja sama dengan Bank Indonesia Perwakilan Kalbar serta sejumlah lembaga support seperti WWF-Indonesia Program Kalbar,” katanya.
Komunitas yang terlibat pada setiap penanaman oleh MMC, sambung Fajar, disokong 40 komunitas dengan jumlah total sukarelawan sekitar 1.000 orang. Sementara anggota MMC sendiri sebanyak 10 orang. Pengelolaan MMP dibantu oleh Pokdarwis setempat.
Dia berharap lanskap MMP dapat menjadi kawasan konservasi terpadu. Artinya, ada keselarasan antara upaya konservasi, edukasi, pusat pemanfaatan olahan mangrove, dan ekowisata. “Semua ini bermuara pada peningkatan ekonomi masyarakat setempat,” jelas Fajar.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jumadi, Ketua Perkumpulan Swadaya Peduli Mangrove Surya Perdana Mandiri. Menurutnya, upaya yang dilakukan ini dapat membantu perekonomian masyarakat. “Penanaman mangrove yang kita lakukan ini mengajak masyarakat agar tidak melulu menggantungkan hidupnya dari mencari ikan di laut,” katanya.
Jumadi juga menyambut baik upaya pembentukan forum pesisir pantai utara sebagai upaya saling tukar informasi di kalangan pegiat konservasi mangrove sekaligus wadah pergerakan bersama secara massif dan terintegrasi.
Kelompok peduli mangrove ini mulai berdiri pada 2 Agustus 2009 yang diinisiasi oleh salah satu kelompok nelayan bernama Surya Perdana. Pada perkembangannya, kelompok ini menaruh hati pada mangrove.
“Lahirlah kelompok peduli mangrove yang saya ketuai sekarang. Jika dihitung sejak lembaga ini lahir sampai sekarang, kami sudah menanam 174 ribu bibit di atas lahan seluas 174 hektar. Target luasan tanam yang kami rencanakan sekitar 240 hektar di Setapuk Besar, Setapuk Kecil, dan perbatasan Kelurahan Sungai Rasau,” jelas Jumadi.
Menapaki Jalan Terjal
Serentetan upaya perbaikan kondisi lingkungan di pesisir pantai utara Kalbar telah dilakukan sejak 2009 silam. Bagi WWF-Indonesia, ini bukan jalan yang mudah. Perlu keteguhan sikap dan komitmen yang kuat untuk menyentuh kawasan sepanjang 193 kilometer itu.
Sentuhan perdana WWF adalah dengan melakukan penanaman mangrove di Desa Karimunting, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang dan Desa Sungai Mas, Kecamatan Sebangkau, Kabupaten Sambas pada 2009.
Keterbatasan kemampuan membuat lembaga ini harus berkolaborasi dengan lembaga lain seperti Direktorat Kepolisian Perairan Polda Kalbar, BoP, Sakawana, Gapsel, Papeling, dan KBPPP. Kolaborasi ini berhasil menanam mangrove di atas lahan seluas 1,1 hektar.
Sukses menabuh genderang konservasi mangrove di dua lokasi di atas, penanaman serupa kembali dihelat pada 2011. Kali ini WWF berkolaborasi dengan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, dan menyasar Desa Sungai Duri I, Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah seluas 0,2 hektar.
Setahun kemudian, pada 2012 aksi serupa dihelat di desa yang sama. WWF kembali berkolaborasi dengan Sakawana dan Gapsel untuk menanam mangrove di atas areal seluas 0,1 hektar.
“Virus” penanaman mangrove ini kian mewabah. Sejumlah lembaga menunjukkan animo yang besar untuk melakukan aksi serupa. Maka, pada 2013 WWF mendapat sokongan dari Bank Artha Graha, Polda Kalbar, Gapsel, dan Komunitas Pengusaha Sungai Duri.
Dari kerja-kerja kolaboratif ini, tercatat sebanyak 0,5 hektar luas lahan berhasil ditanami di Desa Sungai Duri I, Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah. Sedangkan 2 hektar kawasan tanam dilakukan di Desa Sungai Duri, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang.
Asa yang Tak Kunjung Surut
Melenggang ke tahun 2018, WWF mencoba mereview sejumlah capaian yang sudah dikerjakan sejak 2009 dan dampaknya bagi masyarakat setempat. Sebagai sebuah catatan, hal yang mendasari ide ini adalah erosi di sepanjang pesisir utara Kalimantan Barat.
Selama 25 tahun terakhir, lebih dari lima kilometer wilayah pesisir di sekitar Desa Sungai Duri terkikis dan menghilangkan permukiman masyarakat. Kurun waktu 10 tahun terakhir, erosi telah mengikis 500 meter daratan di Kelurahan Setapuk besar yang berdampak pada rusaknya perkebunan.
Dari sinilah WWF mendorong inisiasi perisai hijau. Inisiatif tersebut merupakan upaya konservasi untuk mengembalikan fungsi ekosistem hutan mangrove sebagai sistem penyangga kehidupan pesisir.
Hingga 2017, lembaga ini telah berhasil melakukan penanaman seluas 55,25 hektar serta mendorong banyak pihak untuk ikut terlibat. Ini berimplikasi pada luas total lebih dari 200 hektar kawasan pesisir Utara Kalbar telah tertanami mangrove selama satu dekade terakhir oleh semua pihak. Kondisi ini sudah memberikan dampak yang cukup signifikan. Misalnya penambahan daratan hingga 100 meter di Setapuk Besar.
Selain itu wilayah restorasi telah berkembang menjadi destinasi wisata dan pusat edukasi mangrove. Ini bisa dilihat di Desa Pasir Kabupaten Mempawah. Kawasan mangrove yang dikelola oleh Mempawah Mangrove Conservation telah menjelma menjadi salah satu destinasi wisata mangrove. Bahkan, tingkat kunjungan mencapai 81.411 wisatawan dan memberikan pemasukan ke kelompok lebih dari Rp400 juta selama 17 bulan pengelolaan (Agustus 2016-Desember 2017).
Hal ini juga terjadi di kawasan mangrove Setapuk Besar yang dikelola oleh Kelompok Surya Perdana Mandiri. Tingkat kunjungan selama 10 bulan pengelolaan (Maret-Desember 2017) mencapai 37.985 wisatawan atau setara dengan Rp189 juta.
Hingga saat ini, WWF mendorong lebih banyak kelompok yang mampu melakukan restorasi dan pengembangan kawasan menjadi destinasi wisata dan pusat edukasi mangrove. Harapannya, kondisi ini tidak sekadar memberikan dampak secara ekologis, namun juga ekonomi langsung ke masyarakat sekitar kawasan.*