Kolase.id – Kabut asap pekat masih menyelimuti wilayah Kota Pontianak, Kubu Raya dan sekitarnya pada peringatan 78 tahun kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis KLHK, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Kota Pontianak masuk kategori berbahaya.
Hal ini terkonfirmasi sebagaimana data ISPU tanggal 17 Agustus 2023 pukul 12.00 WIB yang berada di angka 303 pada PM 2.5. Sengkarut asap yang masih terus melanda sejumlah bagian wilayah Kalbar tersebut hingga saat ini semakin menguatkan bahwa Indonesia dan khususnya Kalimantan Barat masih belum merdeka dari bencana asap.
Tingginya tingkat pencemaran udara di wilayah Ibukota Provinsi Kalimantan Barat ini berbanding lurus dengan jumlah hotspot (titik panas) yang terpantau. Sejak 1 – 17 Agustus 2023 misalnya, terdapat sebanyak 3.275 hotspot terpantau berada pada 203 konsesi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.
Dalam rentang waktu yang sama, terdapat sebanyak 1.675 hotspot pada 32 konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kalimantan Barat. Angka hotspot tersebut berdasarkan analisis yang dilakukan Walhi Kalimantan Barat pada Agustus 2023 . Sejumlah hotspot yang disebutkan tidak termasuk jumlah titik panas di luar kedua areal konsesi dimaksud.
Hotspot pada konsesi perkebunan kelapa sawit bertepatan dengan HUT RI pada 17 Agustus 2023 terbanyak di Kabupaten Sanggau dengan jumlah 1.036 titik, kemudian disusul Kabupaten Landak sebanyak 743 titik, Ketapang 477 titik, Sekadau 277 titik, Sintang 248 titik, Kubu Raya 200 titik, Kapuas Hulu 117 titik, Bengkayang 101 titik, Melawi 43 titik, Mempawah 22 titik, Sambas 7 titik, dan Kayong Utara 4 titik.
Adapun sebaran hotspot pada sepuluh besar konsesi perkebunan di sejumlah wilayah Kalbar tersebut di antaranya PT. Perkebunan Nusantara XIII sebanyak 211, PT. Daya Landak Plantation sebanyak 115, PT. Arvena Sepakat sebanyak 110, PT. Kebun Ganda Prima 95, PT. Sumatera Makmur Lestari sebanyak 92, PT. Mitra Austral Sejahtera sebanyak 72, PT. Sebukit Internusa 64, PT. Agri Sentra Lestari 62, PT. Sime Indo Agro sebanyak 60 dan PT. Sumatera Unggul Makmur sebanyak 54 serta sejumlah konsesi lainnya.
Sedangkan sebaran hotspot pada 10 konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) terbanyak di Kalimantan Barat masing-masing berada di konsesi PT. Finnantara Intiga 429 titik, PT. Prima Bumi Sentosa 217 titik, PT. Nitiyasa Idola 137 titik, PT. Mahkota Rimba Utara 127 titik, PT. Boma Plantation 96 titik, Wana Hijau Pesaguan 90 titik, PT. Mayawana Persada 80 titik, PT. Bumi Mekar Hijau 68 titik dan PT. Inhutani III Nanga Pinoh 53 titik. Hotspot pada sejumlah konsesi 1 hingga 17 Agustus 2023 ini tersebar pada sejumlah wilayah kabupaten meliputi Sintang, Kapuas Hulu, Sambas, Melawi, Sanggau, Bengayang, Ketapang, Landak dan Sekadau.
Angka hotspot terpantau sebagaimana disebutkan tidak termasuk angka setelahnya yang terus terjadi pada rentang waktu di atas 17 Agustus hingga saat rilis ini diterima redaksi pada Rabu (23/8/2023) dengan kondisi asap tebal menyelimuti Kota Pontianak pukul 11.00 WIB dengan ISPU diangka 273 pada pm 2.5 kategori sangat tidak sehat.
Walhi Kalimantan Barat menyayangkan dan mempertanyakan tingginya hotspot pada sejumlah konsesi pada periode tanggal 1-17 Agustus 2023 tersebut tidak dibarengi dengan langkah mitigasi serius serta efek jera, baik oleh pihak perusahaan maupun pemerintah melalui penegak hukum yang lamban dalam melakukan tindak lanjut pengungkapan hingga penindakan.
Padahal di tahun sebelumnya saat terjadi karhutla di Kalbar, sejumlah konsesi telah diingatkan dan bahkan ada yang divonis bersalah dengan denda milyaran rupiah. Selain itu, pihak BMKG dan BRIN juga telah mengingatkan terkait dengan potensi musim kemarau berkepanjangan yang seharusnya dapat diantisipasi sejak awal.
Langkah mitigasi bencana asap yang dilakukan pada periode saat ini juga tidak menjawab harapan publik selaku warga negara agar terbebas dari bencana asap yang seharusnya mendapat perlindungan negara. Sebaliknya, hak asasi atas lingkungan yang baik dan sehat justeru terrenggut akibat polusi asap mengganggu kesehatan hingga berpotensi mengancam nyawa.
Selanjutnya pada tahun sebelumnya, kebakaran yang diindikasikan awal dari adanya sebaran hotspot terkonfirmasi banyak terjadi pada sejumlah konsesi. Hal ini tidak terlepas dari upaya pemulihan kerusakan ekosistem gambut yang selama ini juga sangat bermasalah, terutama terkait dengan kondisi fisik infrastruktur pembasahan gambut di lapangan.
“Banyaknya hotspot pada sejumlah konsesi di momentum 78 tahun Indonesia kali ini sangat disayangkan. Seolah kejadian karhutla, yang disertai dengan penegakan hukum, penyampaian hasil pemantauan maupun peringatan sebelumnya tidak memiliki arti untuk memastikan pemulihan, perbaikan dan efek jera pihak penanggungjawab usaha. Sampai kapan kita akan seperti ini? Berada di negeri yang 78 merdeka, namun sesungguhnya kita (Kalbar) belum merdeka dari bencana asap,” kata Hendrikus Adam, Kadiv Kajian dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat.
Adam juga mengungkap bahwa hasil pemantauan kerusakan eksositem gambut pada sejumlah konsesi dalam Kawasan Hidrologis Gambut tahun 2022 lalu di Kabupaten Ketapang. Menurutnya, ditemukan fakta lapangan mengenai dugaan ketidakpatuhan konsesi dalam melakukan pemulihan. “Selain itu juga ditemukan sejumlah infrastruktur pembasahan gambut (IPG) baik didalam maupun luar konsesi yang selain banyak tidak berfungsi karena terkesan dibangun asal-asalan dan diantaranya mengalami kerusakan, juga banyak yang tidak terawat” tambah Adam.
Menegaskan apa yang disampaikan, Direktur Walhi Kalimantan Barat Nikodemus Ale mengharapkan agar indikasi kebakaran pada sejumlah konsesi sebagaimana angka hotspot pada sejumlah konsesi tersebut dapat segera ditindaklanjuti serius oleh pihak terkait sesuai tupoksi dan kewenangannya.
“Tentu kita tidak mengharapkan penegakan hukum terkait karhutla selalu mengulang budaya penegakan hukum yang mengesankan lebih tajam ke bawah namun tumpul ke atas sebagaimana selama ini terjadi. Karenanya pemerintah bersama aparatur penegak hukum diharapkan melakukan tindakan sangat serius dan tegas terhadap pemilik konsesi yang areal usahanya diduga terindikasi mengalami kebakaran,” tegas Nikodemus Ale.
Lebih lanjut, Nikodemus Ale meminta agar perkembangan informasi mengenai upaya penanganan dan penegakan hukum kasus konsesi dibuka kepada publik. Hal ini menurutnya penting dilakukan agar masyarakat luas dapat turut mengawasi dan mengikuti perkembangan kasus karhutla sekaligus menjadi ruang terbuka bersama menilai sejauhmana kepercayaan publik terhadap upaya mitigasi bencana asap yang dilakukan.
“Hal ini penting untuk melihat komitmen negara dalam menjalankan konsep pembangunan rendah karbon, memastikan tidak terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan dengan mengedepankan isu lingkungan menjadi prioritas,” tambah Nikodemus.*