Kolase.id – Sejak tahun 2020, pandemi Covid-19 telah mengganggu kegiatan ekonomi di seluruh dunia, termasuk kawasan ASEAN. Di awal tahun 2022, meskipun terdapat sinyal pemulihan ekonomi di ASEAN, prospek ekonomi global masih diliputi ketidakpastian yang tinggi.
“Tantangan pembangunan saat ini tidak dapat ditangani negara secara individu. Kolaborasi di tingkat global seperti pada forum G20 maupun pada kerja sama regional di ASEAN perlu terus diperkuat dan konsisten dilanjutkan”, ujar Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati dalam rangkaian pertemuan Menkeu dan Gubernur Bank Sentral ASEAN pada 7-8 April 2022 yang pada tahun ini berada pada keketuaan Kamboja.
ASEAN merupakan kawasan yang resilien di tengah pandemi dan Indonesia berkontribusi pada capaian positif tersebut. Pertumbuhan ekonomi ASEAN positif sebesar 2,9% (year on year) di tahun 2021, seiring dengan itu Indonesia mampu tumbuh positif 3,69% di tahun 2021.
Baik ASEAN maupun Indonesia juga menahan kontraksi yang dalam di 2020 dimana sebagian besar kawasan maupun negara mengalami kontraksi yang lebih berat. Hal ini tidak terlepas dari respons kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.
Menyusul capaian ini, Menkeu RI diundang menyampaikan strategi Indonesia sebagai contoh bagi negara-negara ASEAN pada Showcase Event on “Sustainable Finance: Mobilizing Financial Resources for Post-Covid-19 Economic Recovery”.
Pada kesempatan ini, Menkeu menyampaikan bagaimana kiprah kebijakan fiskal sejak pandemi terjadi yaitu (i) pelebaran defisit di atas 3% PDB selama 3 tahun, setelah selama 15 tahun terakhir disiplin berada di bawahnya, (ii) fleksibilitas APBN agar APBN dapat responsif mendanai kebutuhan yang sangat prioritas di kala pandemi yaitu kesehatan dan sosial, serta (iii) gotong royong (burden sharing) dengan pihak lain seperti pemerintah daerah terkait pelaksanaan program bantuan sosial dan Bank Indonesia terkait pendanaan penanganan pandemi.
Dalam konteks mobilisasi penerimaan perpajakan yang menjadi tantangan bagi kawasan ASEAN yang berkembang, Menkeu menyampaikan bahwa kebijakan perpajakan tidak diarahkan untuk penerimaan melainkan relaksasi selama pandemi. Insentif usaha dalam rangka menjaga keberlangsungan dunia usaha agar dapat bertahan dan tidak mengalami kebangkrutan seperti yang terjadi pada saat Krisis Keuangan Asia 1997/1998.
Tidak hanya itu, otoritas fiskal juga mendorong kolaborasi dari sektor lainnya untuk semakin membantu dunia usaha misalnya sektor keuangan dalam bentuk keringanan kredit maupun skema dana bergulir. Dengan kerja sama seluruh pihak ini, Indonesia mampu pulih lebih cepat dengan defisit yang terjaga dan lebih baik dibandingkan negara lainnya.
Ke depan, seiring pemulihan, Pemerintah Indonesia merancang konsolidasi fiskal dengan hati-hati dan terukur agar tidak mengganggu pemulihan ekonomi. Sepaket reformasi perpajakan menjadi kebijakan kunci untuk mendukung target ini, yaitu (i) UU Nomor 2 Tahun 2020 (emergency law), (ii) UU Cipta Kerja, (iii) UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), dan (iv) UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Paket reformasi perpajakan ini melengkapi strategi lainnya seperti peningkatan kualitas belanja negara.
Dalam kesempatan tersebut, Menkeu juga menyampaikan komitmen Indonesia dalam pengendalian iklim yang semakin kuat. Indonesia sudah mengintegrasikan Nationally Determined Contribution (NDC) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan emisi nol bersih pada 2060.
Berbagai upaya juga telah dilakukan, baik melalui pemanfaatan dana publik maupun memperkenalkan pendekatan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang berbasis pasar melalui Perpres Nomor 98 Tahun 2021. Dalam skema NEK, Pemerintah mencoba memanfaatkan pasar karbon dan pajak karbon. Regulasi pajak karbon sendiri diperkuat melalui pengesahan UU HPP.
Dalam implementasinya, Pemerintah akan memulai pada sektor pembangkit listrik berbasis batu bara (PLTU Batu Bara). Saat ini, Indonesia masih menyiapkan regulasi teknis, pengaturan kelembagaan, serta kompetensi dan pengetahuan yang dibutuhkan bagi penyusun kebijakan, akademisi, maupun pengusaha yang akan terdampak langsung dengan adanya pajak karbon.
Di samping itu, Indonesia bersama ADB sedang merancang Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM) untuk memensiunkan dini PLTU Batu Bara dan mengalihkannya Energi Baru Terbarukan (EBT).
“Dalam konteks ETM, Pemerintah Indonesia mendorong kerja sama dengan lembaga terkait untuk menciptakan kerangka yang dapat meminimalisasi risiko dan biaya. Hal ini untuk memastikan transisi yang adil dan terjangkau, bagi masyarakat, PT PLN dan APBN”, terang Menkeu.
Bauran pembiayaan Bank Pembangunan Multilateral, swasta, partner bilateral, juga diharapkan semakin mendukung transisi yang adil dan terjangkau.
Selanjutnya, Menkeu mengungkapkan tantangan geopolitik yang menjadi tantangan pemulihan ASEAN ke depan pada ASEAN Finance Ministers’ Meeting (AFMM). Hal ini merupakan tantangan yang berat para pembuat kebijakan di seluruh dunia termasuk kawasan ASEAN.
Meskipun demikian, ASEAN dan Indonesia pada khususnya masih memiliki ketahanan yang baik. Untuk menjaga kinerja ini, kebijakan fiskal harus tetap diarahkan untuk melindungi masyarakat yang masih terdampak pandemi dan membantu ekonomi untuk pulih.
Di samping menjaga pemulihan, menjaga kesehatan APBN agar tetap berkesinambungan dan terus menciptakan stabilitas juga perlu dilakukan. “Dalam hal ini, sebagai negara yang masih mengekspor komoditas, kenaikan harga komoditas telah memberikan keuntungan bagi penerimaan perpajakan Indonesia yang mencapai 40% (yoy). Hal ini diharapkan dapat membantu mempercepat konsolidasi fiskal”, sambung Menkeu.*/r