SETIAP tahun kita terbiasa dengan peringatan hari-hari penting. Ada Hari Kemerdekaan, Hari Pahlawan, hingga Hari Lingkungan Hidup. Tetapi, pernah dengar soal Hari Hak untuk Tahu Sedunia? Untuk sebagian orang, ini mungkin terdengar asing. Padahal maknanya dekat sekali dengan kehidupan kita sehari-hari: hak kita sebagai warga untuk mendapat informasi dari pemerintah secara terbuka dan transparan.
Hari Hak untuk Tahu Sedunia, atau International Right to Know Day (RTKD), diperingati tiap 28 September. Momen ini menegaskan bahwa informasi adalah hak dasar. Kalau informasi terbuka, masyarakat bisa ikut mengawasi, memberi masukan, bahkan mendorong perbaikan kebijakan publik. Sebaliknya, kalau ditutup-tutupi, demokrasi cuma jadi papan nama—ada tulisannya, tapi kosong isinya.
Selasa, 23 September 2025 lalu saya mendapat kesempatan mewakili Majelis Lingkungan Hidup PW Muhammadiyah Kalimantan Barat, diundang Komisi Informasi Provinsi Kalbar sebagai observer dalam kegiatan Monitoring Keterbukaan Informasi Publik Tahun 2025, bertempat di Ruang Audio Visual Kantor Gubernur Kalimantan Barat. Tugasnya: ikut menilai sejauh mana lembaga publik benar-benar membuka diri terhadap warga.
Objek penilaiannya adalah dua Sekretariat DPRD: Sintang dan Kapuas Hulu. Kenapa penting? Karena DPRD bukan cuma lembaga politik dengan gedung megah, tapi institusi yang memegang tiga fungsi vital: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Kalau semua itu berjalan tanpa transparansi, aspirasi rakyat bisa mentok di pintu gedung dewan.
Di Sintang, ada kemajuan yang patut diapresiasi. Kanal digital sudah digunakan, layanan jadi lebih hemat kertas, bahkan ada perhatian untuk penyandang disabilitas. Ini tanda positif bahwa inklusivitas mulai diperhatikan.
Namun, masih ada PR besar. Indikator kinerja keterbukaan belum jelas, data capaian belum tersedia dalam angka, dan digitalisasi masih berjalan sendiri-sendiri. Ibarat rumah, pintu dan jendela sudah dipasang, tapi kacanya belum ada—kita masih belum bisa melihat jelas apa yang ada di dalam.
Rekomendasinya? Tetapkan indikator keterbukaan yang terukur, buat laporan tahunan berbasis data, dan hubungkan keterbukaan dengan fungsi inti DPRD. Dengan begitu, transparansi bisa diuji, bukan sekadar slogan.
Di Kapuas Hulu, langkah awal juga sudah terlihat. Ada portal PPID, sistem Sistem Informasi Layanan Produk Hukum Daerah (SILUK KH), helpdesk fisik, dan media sosial yang cukup aktif. Ada catatan di sini: isi informasinya masih dominan seputar acara seremonial. Padahal yang lebih penting adalah informasi soal legislasi, pengawasan, dan anggaran—inti dari kerja DPRD. Tanpa itu, publik sulit menilai efektivitas keterbukaan DPRD.
Langkah berikutnya: perluas publikasi ke hal-hal yang lebih substantif, libatkan masyarakat dalam survei kepuasan, dan perkuat jejaring dengan simpul informasi di tingkat tapak, misalnya dengan Kelompok Informasi Masyarakat (KIM). Dengan begitu, informasi publik tidak berhenti di media sosial, tapi jadi jembatan nyata untuk partisipasi warga.
Ciri awal transparansi sudah dimiliki kedua sekretariat DPRD ini: punya portal, helpdesk, atau akun medsos, dan daftar kegiatan selalu diupdate. Namun agar sekretariat DPRD menjadi contoh baik penerapan transparansi sejati, perlu lebih terbuka dan berani ke hal-hal lebih substantif: bagaimana aturan dibuat, anggaran digunakan, dan pengawasan dijalankan. Jika sudah menyentuh inti kerja DPRD, lembaga legislatif ini dapat menjadi institusi penggerak demokrasi yang hidup.
Hak untuk tahu adalah hak untuk hidup lebih demokratis. Hak ini bukan hanya milik aktivis atau akademisi atau jurnalis saja, tapi milik semua warga. Dengan tahu, kita bisa ikut mengawasi. Dengan tahu, kita bisa memberi masukan. Dengan tahu, kita bisa mendorong perubahan.
Hari Hak untuk Tahu Sedunia mengingatkan kita bahwa demokrasi harus terus diperjuangkan dan dirawat. Salah satunya dengan memastikan setiap pintu informasi publik benar-benar terbuka—bukan sekadar dipajang, tetapi bisa diakses dan dimanfaatkan rakyat.*