Kolase.id – Norges Bank Investment Management yang mengelola Norwegian Government Pension Fund Global/GPFG, resmi mengecualikan investasi di Power Construction Group of China Ltd (PowerChina).
PowerChina adalah perusahaan multinasional China yang memiliki Sinohydro Corporation, perusahaan yang membangun bendungan PLTA Batang Toru di kawasan Ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara.
Tinjauan Dewan Etik GPFG menetapkan bahwa proyek ini akan memiliki dampak destruktif dan permanen terhadap lingkungan yang akan menimbulkan ancaman serius bagi kelangsungan hidup spesies Orangutan Tapanuli dan spesies langka lainnya.
Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien mengapresiasi keputusan tersebut sebagai bentuk komitmen serius terhadap perlindungan hutan dan keanekaragaman hayati.
“Tindakan pihak Norway GPFG sudah sangat tepat. China seharusnya melakukan hal yang sama dengan meninggalkan bendungan Batang Toru. Apalagi Cina merupakan tuan rumah COP15 yang seharusnya menunjukkan komitmen untuk melindungi keanekaragaman hayati,” katanya di Jakarta, Jumat (14/7/2023).
Isu proyek PLTA Batang Toru yang mengancam habitat Orangutan Tapanuli ini terus mendapat perhatian dunia internasional. Baru-baru ini, sebuah media di Skotlandia juga menyoroti masalah tersebut. Kolumnis Skotlandia Mark Smith, dalam opininya di Surat Kabar Scottish Herald Voices pada 5 Juni 2023, menjelaskan kaitan proyek PLTA Batang Toru dengan Skotlandia.
Perusahaan milik pemerintah Cina yang mendanai pembangunan bendungan tersebut adalah State Development & Investment Corporation (SDIC). Perusahaan yang sama mengoperasikan proyek energi di Skotlandia melalui anak usahanya, Red Rock Power.
Mark mengingatkan agar Pemerintah Skotlandia tidak terlibat dengan perusahaan yang menyebabkan ancaman langsung terhadap lingkungan dan dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies langka.
Proyek PLTA Batang Toru ini akan membuat habitat Orangutan Tapanuli semakin terfragmentasi dan terancam punah. “Berinvestasi dalam proyek tersebut berarti mendanai penghancuran habitat Orangutan Tapanuli –kera besar paling langka di dunia yang populasinya hanya tersisa kurang dari 800 individu,” ujar Andi Muttaqien.
Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara Rianda Purba menambahkan, upaya perlindungan ekosistem untuk menjaga dan wilayah kelola warga, flora dan fauna kunci di wilayah ini menjadi suatu keharusan mengingat ancaman semakin meningkat terhadap peningkatan kerusakan hutan Batang Toru.
“Saat ini sangat diperlukan peran semua pihak, khususnya pemerintah, agar jangan lagi menjadikan rimba terakhir Batang Toru sebagai objek investasi,” ujar dia. Menurut Rianda, konteks pembangunan PLTA Batang Toru patut dipertanyakan terus-menerus motifnya, jangan karena dalih demi pertumbuhan ekonomi, namun mengorbankan ekosistem dan kehidupan antargenerasi.
Direktur Green Justice Indonesia Dana Tarigan menyampaikan, setidaknya ada tiga proyek besar yang mengancam bentang alam Batang Toru. Selain PLTA Batang Toru, ada pula Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sarulla dan tambang emas Martabe yang dikelola PT Agincourt Resources serta beberapa konsesi lainnya.
Dana menyebut, aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut sangat mempengaruhi kelangsungan ekosistem Batang Toru dan mengancam ruang hidup Orangutan Tapanuli.
Kontrak karya tambang emas Martabe yang luasnya mencapai 130.429 hektar misalnya, tumpang tindih dengan kawasan konservasi habitat Orangutan Tapanuli. Sementara lokasi pembangunan PLTA Batang Toru memiliki posisi sentral meski tak seluas tambang emas Martabe. Proyek ini berada di Sungai Batang Toru yang merupakan tempat bertemunya satwa, terutama Orangutan Tapanuli.
“Melihat kondisi tersebut, maka sebaiknya pemerintah meninjau ulang izin-izin terhadap perusahaan rakus ruang tersebut, karena banyak sekali biodiversitas yang bergantung kepada Hutan Batang Toru,” ujar dia.*