Firda: Perluasan Kawasan Konservasi Perairan Lepas Pantai Masih Perlu Kajian Mendalam

Beberapa negara besar sudah menerapkan konsep kawasan konservasi skala besar, berada 12 mil dari garis pantai dan masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Firdaus Agung Kunto Kurniawan. Foto: Arief Novrianto

Kolase.id – Kementerian Kelautan dan Perikanan RI masih terus berupaya mengkaji konsep kawasan konservasi skala besar di perairan lepas pantai. Baik dari sisi teknis, legal, maupun administratifnya.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Firdaus Agung Kunto Kurniawan, sesaat setelah diskusi tentang Pengenalan Konsep Kawasan Konservasi Perairan Lepas Pantai (Offshore MPA) dalam Perspektif MPA Vision 30 by 2045.

Diskusi yang mendapat dukungan penuh dari Yayasan Konservasi Indonesia (KI) serta para mitra ini adalah bagian dari agenda Konferensi Nasional (Konas) Pesisir XI yang dihelat di Hotel Mercure Pontianak, Kalimantan Barat, pada Selasa (28/11/2023).

“Dari kelayakan teknis, legal dan administrasi masih butuh waktu untuk dikaji. Tetapi mulai hari ini sudah mengenalkan satu diskusi tentang menjaga wilayah-wilayah yang punya kerentanan dari sisi keanekaragaman hayati, keamanan, dan geopolitik,” kata Firda.

Menurutnya, beberapa negara besar sudah menerapkan konsep kawasan konservasi skala besar. Berada 12 mil dari garis pantai dan masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). “Contohnya Australia, seperti mengelilingi negara. Supaya, ketika ada sesuatu yang mau masuk dari luar sudah terlebih dahulu terdeteksi,” ujar Firdaus.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut DJPKRL KKP menggelar diskusi itu untuk mengenalkan konsep kawasan konservasi skala besar kepada publik. Penelitian awal sudah dilakukan yang berangkat dari potensi kelautan di wilayah Barat Sumatra, dan Selatan Jawa yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.

Sebagai catatan, kawasan ini berdasarkan perjanjian internasional sudah menyepakati nantinya menjadi kawasan yang bisa dimanfaatkan secara internasional sebagai warisan dunia.

“Jadi bertambah banyak aktivitas di Samudera Hindia. Lalu bagaimana mengamankan dan mendapatkan manfaat. Itu kemudian punya potensi jika ditempati. Dari sisi pertahanan dan keamanan bisa membantu. Lalu bisa mendeteksi lalu lintas atau kedatangan orang, hingga spesies yang keluar masuk dari wilayah Indonesia atau ke Samudera Hindia,” terang Firda.

Kendati demikian, Firda tak menampik di balik potensi positifnya ada tantangan besar yang mesti dihadapi. Mulai dari soal monitoring, pengawasan, pembiayaan, pengelolaan, hingga manfaat secara langsung bagi masyarakat yang masih harus dikaji.

Menurutnya, ini menjadi kerja panjang pemerintah yang dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). “Seberapa dalam dan jauh masyarakat berhubungan dengan laut lepas di Samudera Hindia masih terus dikaji sehingga ini menjadi bagian dari kerja panjang di RPJMN yang baru nanti,” sambung Firda.

Dia juga menyatakan jika tata ruang dalam konsep kawasan konservasi skala besar relatif tidak berubah. Masih mengacu pada tata ruang yang tertuang dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Tetapi tantangannya adalah dikelola dengan baik, efektif dan bisa menunjukkan kemanfaatan untuk ekosistem sendiri, serta sosial ekonomi masyarakat,” sebut Firda.

Pengelolaan itu, imbuhnya, membutuhkan kerja sama baik, kolaborasi antara pemerintah pusat, provinsi, NGO, perguruan tinggi, perusahaan, swasta, hingga masyarakat lokal.*

Exit mobile version