Kolase.id – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Pontianak menanggapi wacana pembangunan Jembatan Garuda oleh pihak ke tiga. Pasalnya, Wali Kota Pontianak belum pernah membicarakan rencana tersebut kepada perwakilan legislatif.
Wakil Ketua Komisi III DPRD Kota Pontianak Mujiono mengatakan secara keseluruhan ia belum mendengar pasti tentang kesepakatan Wali Kota Pontianak dengan investor Cina yang bakal mengucurkan dana buat Jembatan Garuda itu.
Kabarnya anggaran yang dialokasikan mencapai satu triliun. “Kalau dari kami (DPRD) belum menyatakan setuju untuk dibangun. Sebab harus dikaji serius,” ujarnya kepada awak media di Pontianak, Jumat (3/2/2023).
Dari gambarannya, Jembatan Garuda memiliki arsitektur indah. Tentu secara penataan kota ini menjadi mimpi indah bila terwujud. Tapi dalam proses pembangunannya, apakah Wali Kota sudah melewati tahapannya dengan benar. Sebab ini melibatkan banyak pihak. Mulai dari Pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Kalbar, dan Pemkot Pontianak.
Apalagi alokasi anggaran dikucurkan oleh pihak ke tiga. Pastinya DPRD perlu tahu perjanjian hingga Jembatan Garuda ini dibangun, termasuk pengelolaannya.
Jika pembangunan dilakukan oleh pihak swasta, biasanya menggunakan jangka waktu. Seperti Pasar Mawar, itu bangunan pakai dana swasta. Alhasil, untuk pungutan retribusi tak bisa ditarik Pemkot. Sehingga kecil sumbangan PAD yang didapat oleh Pemkot Pontianak.
“Untuk rehab pun kita tak bisa. Sebab pinjam pakai ini masa berlakunya panjang. Kewenangan pengelolaan ada di pihak swasta,” ujarnya.
Begitupula dengan KP. Ini pengelolaannya ada di pihak ke tiga. Mereka berwenang dalam menentukan tarif sewa kios di sana. Jangan sampai cerita Jembatan Garuda ini konsepnya sama dengan Pasar Mawar dan KP.
Kemudian jika dilihat secara hukum dengan melihat Perda Tata Ruang Provinsi, Tata Ruang Pontianak kemudian perda lainnya apakah rencana pembangunan Jembatan Garuda ini tidak terjadi benturan secara regulasi.
Dia menanyakan soal perjanjian antara wali kota dan pihak ke tiga selaku pemegang dananya. Apakah pinjam pakai kemudian pihak swasta mendapatkan cuan dari biaya tarif penggunaan Jembatan Garuda atau ada aturan lain yang sudah mereka susun.
“Jika ini dikelola swasta pasti hitungannya untung rugi. Nanti takutnya mereka menentukan tarif tinggi. Sehingga hanya bisa digunakan oleh masyarakat mampu saja,” ujarnya.
Mujiono menjelaskan perlu pertimbangan yang matang. Mulai dari aspek hukum, sosial, ekonomi, dan dampak-dampak lain yang berpotensi terjadi.
Seperti keberadaan pedagang kaki lima di sekitaran jembatan yang akan dibangun (Bardan-Siantan). Para penambang perahu belum lagi cerita lahan-lahan yang bakal dibebaskan.
“Ini perlu menjadi perhatian Pak Wali. Jangan hanya mimpi indah saja dilemparkan ke masyarakat. Tahu-tahu yang terjadi nanti malah mimpi buruk yang kita dapat,” ujarnya.
Secara keseluruhan, legislatif mendukung adanya pembangunan. Tetapi pembangunan yang dibuat mesti memiliki manfaat banyak bagi masyarakat.
Dia minta wali kota melalui Bappeda memaparkan dulu rencana pembangunan ini. Mulai dari sisi hukum, ekonomi dan sosial. “Harus detail,” tegasnya.
Jangan sampai di tataran atas sudah setuju akan melakukan pembangunan. Namun di tataran akar, semuanya belum beres. Kesiapan di tataran bawah ini penting untuk dilihat. “Kalau hanya mementingkan pihak swasta namun tidak ada untung bagi daerah sebaiknya mesti dipikirkan lagi,” ujarnya.
Hal senada dikatakan Anggota DPRD Kota Pontianak Mansyur. “Sampai saat ini saya baru baca berita link online nasional. Tapi kalau secara resmi pemkot beri info bangun jembatan belum ada,” ungkapnya.
Dia pribadi memberi apresiasi tinggi atas inisiatif pemkot untuk membangun kota ini melalui investor luar negeri. Namun akan hal ini DPRD melihat beberapa aspek mulai dari yuridis, sosial, filosofis, dan ekonomisnya.
Kemudian jika melihat dari sisi aturan Permendagri Nomor 20 tahun 2010 tentang tata cara kerja sama pemerintah daerah dan pemerintah lainnya dan pihak ke tiga. Dalam pasal 6 menyatakan bahwa untuk penyelenggaraan kerja sama daerah dengan pihak ke tiga harus ada persiapan. Mulai dari penawaran, penyusunan, kesepakatan bersama, kemudian penandatanganan kesepakatan bersama kemudian persetujuan DPRD. Barulah pelaksanaan dan penatausahaan dan laporan. “Di Pasal 6 ini ada persetujuan DPRD. Tapi ini kami belum tahu,” tegasnya.
Ia minta Pemda harus mengkaji kembali. Utamanya dari aspek yang ia sebutkan itu. Sebab jika tidak dikaji ia takut pembangunan ini malah jadi bumerang bagi Pemkot Pontianak.*