Kolase.id – LBH Kalbar meluncurkan catatan akhir tahun (Catahu) 2024 tentang situasi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Kalimantan Barat di Pontianak, Jumat (24/1/2025). Agenda yang mengusung tema “Jerit dalam Jerat: Derita Warga Berhadapan dengan Kelindan Pelanggaran HAM dan Politik Pecah Belah” ini dihadiri sekitar 100 peserta dari Civil Society Organization (CSO), akademisi, komunitas, dan masyarakat umum.
Kepala LBH Kalbar Ivan Wagner menyatakan bahwa tema tersebut sebagai refleksi jeritan kita semua sebagai warga Kalbar. Suatu ekspresi atas segala kerentanan, kesulitan, hingga derita, akibat berbagai jerat pelanggaran hak asasi, yang mendera.
“Itu semua baik sadar ataupun tidak sadar direlasikan dengan pelanggaran hak asasi, di mana dalam konsepnya, negara adalah subyek pengampu kewajiban, dan warga negara ialah pengampu haknya,” katanya.
Dalam mengusung tema dan judul Catahu saat ini, LBH Kalbar membayangkan jerit derita warga, yang bahkan mendera baik secara musiman, bahkan setiap harinya. Betapa tidak, jerat banjir dan kabut asap membayangi setiap tahunnya, dengan tanpa solusi konkret dari pengurus negara, sebagai bentuk kewajiban dan tanggung jawabnya.
Sedangkan keterbatasan akses dasar, apakah dalam rupa jalan, jembatan, listrik, internet, dan fasilitas-fasilitas dasar yang layak, masih ditemui bahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sayangnya pemenuhan itu belum bisa disediakan secara merata oleh pengurus negara. Itu semua tampak jelas dalam ekspresi warga yang setiap harinya disuarakan lewat media sosial, yang LBH Kalbar berhasil kompilasikan.
LBH Kalbar mencatat sedikitnya telah terjadi 853 kasus pelanggaran HAM di Kalimantan Barat. “Artinya selama tahun 2024 sedikitnya terdapat 2,34 kasus setiap harinya di Kalimantan Barat,” ujar Ivan.
Dari 853 kasus pelanggaran HAM yang berhasil dicatat, LBH Kalbar mencatat total korban sedikitnya sebanyak 892.442 jiwa. Lima kabupaten/kota dengan korban terbanyak yaitu: Kabupaten Landak tercatat sebagai wilayah dengan jumlah korban terbanyak dengan sedikitnya 118.363 jiwa.
Menyusul berikutnya Kabupaten Sanggau dengan 116.079 jiwa. Selanjutnya Kabupaten Sekadau dengan 101.237 jiwa, Kabupaten Sambas 85.785 jiwa, dan Kabupaten Kapuas Hulu dengan 84.801 jiwa. Sementara itu, hanya Kota Singkawang yang tercatat jumlah korban di bawah 10.000 jiwa.
Dari jumlah yang tercatat itu, artinya sedikitnya 15,94% warga Kalimantan Barat telah menjadi korban pelanggaran HAM, yang mana jumlah tersebut merupakan jumlah minimal. Pemerintah kabupaten/kota menjadi pelanggar dalam 94% kasus, menyusul pemerintah provinsi berada di urutan ke-2, korporasi lokal di urutan ke-3, pemerintah pusat di urutan ke-4, dan polisi pada urutan ke-5.
Tiga topik hak asasi manusia yang paling dominan terlanggar ialah pelanggaran terhadap “hak atas lingkungan, hak atas kesehatan, hak atas air dan sanitasi, serta perubahan iklim” dengan total 450 kali terlanggar. Diikuti pelanggaran terhadap “hak atas pembangunan” sebanyak 449 kali terlanggar, dan pelanggaran terhadap “hak tanggap darurat bencana, krisis kemanusiaan, dan tanggap situasi konflik” dengan 201 kali terlanggar.
Terkait layanan konsultasi hukum, Ivan menyebut selama tahun 2024, LBH Kalbar telah menerima 20 laporan dengan penerima manfaat sedikitnya sebanyak 1.267 orang. Dari 20 laporan itu, 9 pelapor merupakan warga miskin, 7 pelapor tidak mengisi keterangan, dan 4 lainnya merupakan warga yang tergolong mampu.
Para pelapor tersebut memiliki rentang umur, gender, agama-keyakinan, domisili, latar belakang pendidikan, serta pekerjaan atau profesi yang beragam. Dari 20 laporan itu 10 laporan telah LBH Kalbar dampingi, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, Adapun 10 laporan tidak didampingi karena laporannya telah selesai dalam proses konsultasi, atau karena pelapor tidak menindaklanjuti pelaporannya. Selain itu, LBH memiliki catatan kritis pada 4 isu yang kruisial.
Isu Toleransi
Catatan isu toleransi menjelaskan dinamika ketegangan yang tak kunjung berujung. Dinamika itu merujuk pada berbagai peristiwa ketegangan yang berkelindan dalam isu politik identitas yang menyangkut agama-keyakinan maupun etnisitas. LBH Kalbar mencatat 5 kasus selama tahun 2024 yang berkaitan dengan segregasi identitas.
Catatan tersebut menunjukkan perdamaian negatif (negative peace) yang terjadi di Kalbar, dan menunjukkan betapa mudahnya sentimen berbasis identitas (terutama etnisitas dan agama-keyakinan) memicu konflik.
Jika ditelusur lebih jauh, kelindan masalah segregasi identitas itu merupakan dampak dari penyelesaian konflik masa lalu yang belum tuntas. Kondisi itu diperparah dengan politik identitas yang selalu muncul dalam kontestasi politik lokal, termasuk di tahun 2024. Warga dan kita semua kemudian terjerat kelindan masalah itu dan menerima dampaknya hingga saat ini. Itu semua menjadi tantangan besar Kalbar dalam mencapai harmonisasi sosial.
Isu Keadilan Gender
Catatan kritis isu keadilan gender menjelaskan fenomena berbasis gender yang sering terjadi di Kalbar. Fenomena itu sebenarnya didasarkan pada kondisi ketidaksetaraan antar-gender, serta masih dipeliharanya stereotipe diskriminatif yang mengakar kuat dalam norma dan budaya masyarakat.
Namun kekerasan itu sayangnya juga direproduksi oleh pemerintah lewat kebijakan maupun tindakan langsung. Kekerasan berbasis gender yang paling keji namun terselubung, dilakukan dalam rupa merendahkan martabat dalam yang terjadi di tempat kerja, lingkungan keagamaan, jagat media sosial, bahkan dalam lingkungan keluarga.
Isu Sumber Daya Alam
Catatan isu sumber daya alam menunjukkan fenomena krisis sosial-ekologis yang luar biasa dalam bentuk bencana dan masifnya konflik perebutan ruang hidup. Itu menunjukkan bahwa Kalbar berada di ambang kebangkrutan sosial-ekologis, dan menempatkan warga Kalbar dalam risiko kerentanan yang membahayakan.
Kondisi tersebut bermuara pada kebijakan ruang yang selama ini lebih berpihak terhadap industri ekstraktif dan proyek-proyek pembangunan demi akumulasi kapital, namun merampas dan mengusir warga dari ruang penghidupannya.
Pada tahun 2024 terdapat momentum perumusan Perda RTRW Kalbar. Sayangnya RTRW tersebut masih lebih dominan melanggengkan pola pembangunan sebelumnya yang hampir tidak menyisakan ruang hidup bagi warga.
Sementara itu, Pilkada justru menjadi arena elitis yang mengkontestasikan para calon dengan jejak kegagalan dalam memberi perlindungan bagi warga, dan/atau memiliki jejak mendorong kebijakan dengan dampaknya adalah merusak ekologi, ekonomi, dan sosial budaya rakyat.
Isu Perburuhan
Catatan isu perburuhan menunjukkan jerit buruh dalam himpitan pelanggaran hak-hak normatif dan hak asasi, tanpa jalan penyelesaian yang konkret. Itu tergambar jelas dalam derita buruh sawit PT. Duta Palma Group, yang hingga saat ini masih diabaikan haknya oleh perusahaan dan dibiarkan begitu saja oleh negara.
Sementara itu, warga yang mengupayakan kehidupan yang lebih baik dengan bekerja di luar negeri, ternyata masuk jerat perdagangan manusia nan keji dan hingga saat ini masih tersandera di negeri seberang. Itu semua menunjukkan akar kebijakan tenaga kerja fleksibel dengan dorongan melalui kebijakan cipta kerja, ternyata menempatkan warga negara sebagai komoditas tanpa perlindungan yang cukup.
Kondisi itu lebih memperlihatkan pola perbudakan modern yang membuat warga babak belur, ketimbang penciptaan lapangan kerja yang melindungi martabat manusia. Semua hal itu diakomodir negara untuk mendukung kapitalisme bekerja dan meraup rente yang sebesar-besarnya.
***
Dari catatan kritis pada empat isu di atas, menggambarkan secara lebih dalam mengenai jerat yang menyebabkan warga mengekspresikan jeritnya. Itu kemudian menggambarkan derita warga Kalbar yang sehari-hari berhadapan dengan pola-pola pelanggaran HAM, baik karena negara tidak melakukannya secara langsung (by omission) ataupun negara melakukannya secara langsung (by commission).
Situasi itu memang jamak terjadi di Indonesia dalam satu dekade belakangan sebagai dampak menguatnya rezim otoritarian, oligarki, kapitalisme global. Namun, dalam kasus di Kalbar, itu semua diperparah oleh pecah belah berbasis politik identitas utamanya etnisitas dan keyakinan. Politik pecah belah itu menjadi komoditas para elit politik memanfaatkan mangkirnya pemerintahan di masa lalu dalam menyelesaikan dan merekonsiliasi konflik masa lalu.
Selain praktik politik identitas, para elit (politik dan bisnis) juga melakukan “politik isi tas”. Praktik itu merujuk pada “bingkisan” untuk meraup dukungan (elektoral atau proyek), atau sebaliknya setelah beroperasi (dalam jabatan atau praktik bisnis) sibuk untuk mengisi tasnya masing-masing. Dampaknya tidak hanya memecah belah warga, namun juga menciptakan ketimpangan dan derita bagi warga.
Jika konsep negara secara de facto dikaitkan dengan rakyat, wilayah, dan pemerintahan sebagai syaratnya, hasil pemantauan menunjukkan masalah pelik yang dihadapi masing-masing elemen, namun juga relasi antar-elemen. Rakyat sebagai elemen paling dasar dari konsep negara dan subjek utama dalam demokrasi mengalami kerentanan, terlebih bagi kelompok minoritas.
Hasil pemantauan juga menunjukkan krisis ekologis terhadap wilayah-wilayah yang menjadi ruang hidup warga. Sedangkan dalam konteks pemerintahan, juga menunjukkan pola salah urus yang dilakukan pemerintahan yang menempatkan warga dan ruang hidupnya menjadi rentan dan kritis.
Situasi sebagaimana disampaikan memperjelas keterposisian elemen-elemen dasar negara yang berada dalam kutub berbeda secara diametral. Di satu kutub, warga dengan ruang hidupnya (wilayah) merupakan elemen yang saat ini menjerit karena terjerat oleh berbagai pelanggaran-pelanggaran hak asasi di berbagai bidang kehidupan.
Pada kutub yang lain, pemerintah sebagai representasi negara menjadi pihak yang menempatkan warga dan ruang hidupnya menjerit dalam jerat bahaya, kerentanan, dan krisis, baik secara langsung ataupun karena pembiaran. Dengan demikian artinya juga menunjukkan kondisi demokrasi yang dalam bahaya, rentan, dan krisis.*