Kolase.id – Saat membuka Rapat Kerja nasional Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) pada akhir Januari lalu Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki sempat menyinggung potensi rotan mentah yang belum termanfaatkan benar. Misalnya, di Kalimantan Timur diproduksi sekitar 10.000 ton rotan perbulannya, sementara sentra industri mebel rotan di Pulau Jawa hanya bisa menyerap 1.000 ton perbulannya. Tak ayal, sisa yang terserap diselundupkan karena kalau tidak digunakan akan busuk rotannya.
Pernyataan Menteri Teten direspon Ketua Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia Kalimantan Barat, Rudyzar Zaidar Mochtar. Menurutnya, pangkal masalahnya adalah Sejak Permendag No 35/M-DAG/PER/11/2011. Aturan larangan ekspor rontan mentah sudah seharusnya direvisi. Lantarannya sangat merugikan petani, termasuk di Kalbar.
“Rotan hanya boleh dieksoor apabila sudah berbentuk barang setengah jadi atau jadi. Nyatanya ini kurang berhasil. Perani dilarang ekspor keluar negeri. Tetapi di dalam negeri juga rotan mereka tidak terserap. Industri rotan dalam negeri tidak mampu maksimal. Terbukti nilai ekspor furnitur rotan juga tidak membaik,” kata dia.
Ia mengutip International Tropical Timber organization (ITTO) yang menyatakan jumlah rotan di Indonesia sangatlah besar. Dari jumlah itu, yang bisa dipanen pertahunnya berkisar di angka 1 juta Ton. “Bayangkan luar biasa besarnya jumlah itu namun berdasarkan pertimbangan upaya pelestarian berkesinambungan maka ditetapkan hanya 625.000 Ton lah yang bisa dipanen pertahunnya,” ujarnya.
Permendag tersebut juga telah menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi karena mengharuskan setiap pergerakan rotan, mulai dari tempat asal hingga ke tujuan akhir memerlukan verifikasi dari surveyor yang ditunjuk. “Pemerintah seolah ingin menampung semua hasil produkasi bahan baku yang tidak terserap industri penggunanya di dalam negeri, tapi itu hanya cerita saja. Kami tahu tidaklah mudah untuk mewujudkannya, namun pemerintah bersikeras dengan mengeluarkan peraturan itu tanpa tahu dimana kegunaannya,” ucapnya.
Pelarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi terbukti juga malah menguntungkan pemain rotan dari negara kompetitor. Lanjut dia, Indonesia terutama Kalbar sebagai salah satu pusat petumbuhan rotan dunia, sejatinya memiliki keunggulan sebagai pemasok bahan baku. “Menutup ekspor rotan setengah jadi sama saja dengan menutup pasar rotan dimiliki. Jumlah kelebihan atau sisa dari pemakaian industri dalam negeri inilah yang bisa diekspor dalam upaya menambah devisa dan mengurangi defisit neraca perdagangan negara,” sebutnya.
Rudyzar berharap ada solusi untuk aturan yang telah berlaku selama 12 tahun ini. Lebih-lebih sudah banyak industri pengolahan bahan baku di daerah sudah banyak yang berguguran. Perkiraannya, saat ini industri pelaku bahan baku rotan hanya tersisa 10% dibanding dengan jumlah sebelum tahun 2011. “Ternyata proteksi atau larangan ekspor bahan baku rotan ini tidak lah mendorong pertumbuhan industri mebel rotan yang berpusat di Pulau Jawa. Malahan banyak yang sudah beralih menggunakan rotan sintetik atau plastik. Kemudian, industri mebel rotan yang bertahan di Pulau Jawa justru tidak henti-hentinya berteriak kesulitan bahan baku. Ini kan anomali,” sebutnya.
Ia mengutip International Tropical Timber organization (ITTO) yang menyatakan jumlah rotan di Indonesia sangatlah besar. Dari jumlah itu, yang bisa dipanen pertahunnya berkisar di angka 1 juta Ton. “Bayangkan luar biasa besarnya jumlah itu namun berdasarkan pertimbangan upaya pelestarian berkesinambungan maka ditetapkan hanya 625.000 Ton lah yang bisa dipanen pertahunnya,” ujarnya.
“Selama 12 tahun berlakunya larangan, rotan yang tumbuh di hutan kian banyak volumenya karena terus bertumbuh tanpa pernah dipanen. Kalaupun dipanen, jumlahnya terbatas. Nilai ekonomis rotan sudah tidak besar karena larangan ekspor. Pemerintah terutama Kementrian Kehutanan justru banyak membuat peraturan tentang rotan dan yang menghambat kepentingan ekonomi petani penghasilnya. Ini juga harus ditinjau Kembali,” pungkasnya.