PENULIS dan beberapa sahabat tiba di sore senja (Rabu, 27 Juli 2023) di kediamannya di Jalan Serimbu Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Kami memenuhi undangan Perayaan Syukur Ulang Tahun ke-70 Drs. Cornelis, M.H. Ia lahir 27 Juli 1953. Usianya tidak lagi muda. Tetapi siapa saja yang bertemu dan berbincang dengannya, tidak merasa bahwa ia sudah berusia 70 tahun. Mungkin karena fisiknya yang terjaga bugar dan pikirannya yang selalu tercurah untuk rakyat, rakyat, dan rakyat. Sosok yang membangun karir kepemimpinnya dari bawah ini terbukti dan tampak jelas dalam perjalanan karir politiknya sejak dari camat, bupati, gubernur, dan anggota DPR RI hingga sekarang. Suatu perjalanan karir yang patut diteladani bagi generasi muda.
Kami mampir sejenak di sebuah penginapan hanya untuk sekadar berganti baju. Seorang pelayan hotel langsung menebak kehadiran kami: “Bapak-bapak akan menghadiri acara ulang tahun Pak Cornelis ya?” “Lho, kok tau?” “Siapa di sini yang tidak kenal Pak Cornelis,” sergap pelayan hotel yang saya anggap sebagai “rakyat biasa”. Dialog ini bisa jadi biasa saja. Tetapi, dalam imajinasi saya, tingkat keterkenalan Cornelis memang sampai ke akar rumput. Dalam perjalanan menuju tempat acara, pendamping yang menemani saya menguatkan pikiran saya yaitu bahwa rakyat di sini (baca: Kabupaten Landak), sosok Cornelis itu tak tergantikan. Bukti keterkenalannya itu dapat dilihat dari perolehan suara dalam Pileg DPR-RI tahun 2019. Ia memporelah suara terbanyak kedua nasional setelah Puan Maharani (404.034 suara) yaitu, 285.797 suara di daerah pemilihan Kalbar 1.
Kepemimpinan rakyat
Semula saya menduga bahwa acara syukuran ulang tahun hanya akan dihadiri oleh para tokoh dan kolega terbatas dan bertempat di ruang tertutup. Ternyata, area kediaman Cornelis dipenuhi oleh tumpah-ruah ribuan warga layaknya pesta rakyat. Tidak hanya kendaraan roda empat dan dua yang memenuhi parkir area acara. Tetapi banyak truk berjejer mengangkut warga dari berbagai pelosok Kabupaten Landak. Antusiasme warga untuk menghadiri acara tersebut tampak riang gembira sambil menikmati berbagai hidangan rakyat.
Suasana malam itu tampak bahwa ketokohan Cornelis tercermin di wajah-wajah sumringah warga, suatu fenomena yang alami dan jujur betapa sosok Cornelis mencerminkan kepemimpinan yang dekat dengan rakyatnya. Tentu tidak mudah membangun kepercayaan rakyat jika bukan mereka yang bukan datang dari rakyat biasa itu sendiri. Untuk dapat memahami dan membersamai denyut rakyat, keterlibatan secara langsung dan konkret adalah salah satu kuncinya. Model kepemimpinan “blusukan” ala Presiden Jokowi misalnya ternyata cocok dengan karakter rakyat Indonesia.
Appropal rating Jokowi yang menembus angka 80 persen menjadi fenomenal bagi model kepemimpinan di dunia. Pada saat yang sama menunjukkan korelasi antara model kepemimpian —tentu saja dengan seluruh capaiannya— dengan kepercayaan rakyat. Perolehan suara Cornelis dalam Pileg 2019 lalu dengan angka 285.797 merupakan cerminan elektoral atas kepercayaannya terhadap sosok dan seluruh capaian dari kepemimpinnya terutama pada saat menjadi gubernur Kalbar selama dua periode. Keterkenalan Cornelis, terutama di Kabupaten asalnya, Landak, bukan saja karena ia telah berhasil menjadi gubernur dua periode. Karir di birokrasi pemerintahan adalah jalan hidupnya sejak menjadi Kaur Bangdes Kecamatan Mandor, Kab. Pontianak (1979-1986), Camat (1989-1999), Bupati Landak (2001-2001), hingga Gubernur Kalimantan Barat (2008-2018).
Dari “Orang Pedalaman” ke tokoh Nasional
Hal paling menarik dari sosok Cornelis adalah soal inspirasi tentang daya juang seorang suku Dayak yang identik dengan “orang hutan” yang tinggal di tengah hutan berhasil mentransformasi dirinya dan bahkan komunitas Dayak di Kalimantan menjadi sosok terdidik, berwawasan, dan menjadi pemimpin tidak hanya di komunitasnya, melainkan menjadi pemimpin masyarakat Kalbar yang multi etnis dan agama tanpa kehilangan identitas kedayakannya. Gerakan transformasi ini tidak mudah dijalani setiap orang. Dibutuhkan wawasan dan pengalaman yang panjang dan berliku untuk sampai pada posisi kepemimpinan puncak. Maka tidak heran, jika ditemukan “identitas kedayakan” yang melekat pada diri seorang Cornelis yang mencerminkan kepemimpinan otentik (authentic leadership).
Kepemipinan Cornelis dapat dipotret dari nilai-nilai otentisitas tersebut di antaranya, pertama, Self-aware dan tulus. Pemimpin-pemimpin yang otentik adalah individu yang mengaktualisasikan dirinya dengan memiliki self-awareness (kesadaran diri). Mereka mengetahui kekuatan dan kelemahan pada diri mereka sendiri dan emosi mereka. Mereka juga tidak berperilaku berbeda di berbagai kondisi, dengan kata lain mereka menjadi diri mereka di hadapan para pengikutnya. Mereka juga tidak takut untuk terlihat lemah dengan mengakui kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan dan kegagalan yang pernah mereka lalui.
Kedua, Mission driven dan fokus pada hasil. Mereka mampu menempatkan misi-misi untuk mencapai tujuan orang banyak atau organisasi di atas tujuan pribadi. Mereka melakukan pekerjaan mereka untuk mencapai hasil bukan untuk kekuasaan, ego dan keinginan materi pribadi.
Ketiga, Memimpin dengan hati, tidak hanya dengan pikiran. Mereka tidak takut untuk menunjukkan emosi-emosi yang mereka miliki, kerentanan mereka terhadap karyawan. Namun bukan berarti mereka “lembek”, akan tetapi dapat mengkomunikasikan apa yang dirasakan dengan tata cara yang tepat beserta empati.
Keempat, Fokus pada jangka panjang. Mereka fokus untuk hasil jangka panjang, bersedia untuk membimbing setiap orang dan memelihara organisasi dengan sabar dan kerja keras karena mereka yakin dengan hasil yang akan bertahan untuk jangka waktu yang lama.
Sebagai individu dan atau pemimpin, tentu memiliki banyak kelebihan dan kekurangan. Tetapi di tengah kelebihan dan kekuarangan itu yang paling utama adalah bagaimana bermanfaat tidak hanya untuk diri dan keluarganya, melainkan untuk banyak warga dan masyarakatnya.
Di usianya yang ke-70, Cornelis telah menorehkan banyak manfaat untuk dirinya, keluarganya, warganya, komunitasnya, dan bahkan kepada bangsa dan negara. Di tangan dingin Cornelis, suku Dayak yang selalu identik dengan “orang pedalaman” secara perlahan berhasil ditranformasikan sebagai suku yang sejajar dengan suku-suku lainnya di Indonesia yang secara bersama-sama dengan tekad gotong royong menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selamat Ulang Tahun yang ke-70 untuk Sang Mentor. “Kalau berani jangan takut-takut, kalau takut, jangan berani-berani”*