Balai KSDA Kalbar Beberkan 44 Konflik Orangutan Sepanjang 2018-2024

Sebanyak 23 kasus atau 159 individu orangutan memerlukan proses rehabilitasi sebelum dilepasliarkan ke habitatnya

Avatar
Orangutan yang dilepasliarkan di Sungai Jepala Lala, Sub DAS Mendalam, kawasan Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun Danau Sentarum (BBTNBKDS). Foto: Dok. Balai KSDA Kalbar

Kolase.id – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat membeberkan konflik satwa (orangutan) yang terjadi selama kurun waktu 2018-2024. Dari 44 konflik yang terdeteksi, kasus tertinggi mencuat di tahun 2019 – 2020, yakni 18 kasus. Hal ini ditengarai akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit.

Dari sisi penanganan, ada 23 kasus yang memerlukan proses rehabilitasi di pusat rehabilitasi orangutan. Selebihnya, 21 kasus berhasil dievakuasi dan langsung ditranslokasi ke habitat alaminya.

Berdasarkan data tersebut, sebanyak 159 individu orangutan di 23 kasus yang memerlukan proses rehabilitasi. Saat ini, sudah 71 individu orangutan berhasil direlease. Tersisa 88 individu dan berada di pusat rehabilitasi. Orangutan tersebut berada di pusat rehabilitasi YIARI di Ketapang sebanyak 60 individu dan SOC Sintang sebanyak 28 individu orangutan.

Kepala Balai KSDA Kalbar RM Wiwied Widodo dalam keterangan persnya mengatakan, hampir 76 persen sebaran satwa orangutan berada di luar kawasan konservasi. “Mereka berkeliaran di hutan produksi dan APL,” katanya di Pontianak, Rabu (8/1/2025).

Menurutnya, segala aktivitas penggunaan lahan dengan membuka hutan secara tidak bijaksana atau tidak ada pertimbangan ekologis, maka dampaknya sangat besar terhadap kerusakan habitat orangutan, bahkan mempercepat kepunahannya.

Lebih jauh Wiwied Widodo menjelaskan bahwa pemerintah, masyarakat, media, akademisi, private sector, terus berupaya melakukan perbaikan dan semakin menunjukkan progress yang signifikan.

“Mulai dari optimalisasi rescue, rehabiltasi dan release melalui WRU, edukasi dan penyadartahuan masyarakat oleh MA dan akademisi. Paling penting adalah prioritas konstruksi perlindungan kehati dalam pengelolaan hutan,” kata Wiwied Widodo.

Dia menambahkan bahwa semua hal di atas sudah diatur melalui regulasi, baik UU 32 Tahun 2024 dengan areal preservasi, maupun regulasi daerah tentang penyediaan area konservasi spesies (HCV, NKT) sebesar 7 persen.

“Semua itu menjadi peluang dan harapan bagi kehidupan orangutan. Jadi, konteks perubahan kemajuan konservasi orangutan ini tidak perlu lagi di-down grade dengan pemberitaan negatif yang berulang, padahal sudah ditangani secara baik,” jelasnya.

Sekarang, kata Wiwied Widodo, bagaimana upaya semua pihak termasuk netizen untuk mengawasi upaya konservasi ini agar dapat berjalan dengan baik. “Komitmen dari private sector sangat penting, selaras dengan penegakan hukum bagi yang tidak melaksanakannya,” kuncinya.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *