Aliansi Rakyat untuk Keadilan Ekologis Serukan 11 Mandat Rakyat di Car Free Day Pontianak

Fakta-fakta tapak menunjukkan bahwa sumber daya alam dan lingkungan terus tertekan, bahkan menuju punah

Avatar
Sekelompok aktivis Kalbar yang menamakan dirinya Aliansi Rakyat untuk Keadilan Ekologis menggelar aksi bersama di Car Free Day Pontianak, Minggu (22/10/2023). Foto: Dok. Walhi Kalbar

Kolase.id – Puluhan aktivis yang menamakan dirinya Aliansi Rakyat untuk Keadilan Ekologis menggelar aksi bersama di Car Free Day Pontianak Jalan A Yani, Minggu (22/10/2023). Mereka menyuarakan 11 mandat rakyat yang tertuang dalam tagline gerakan bertajuk: Pulihkan Kalbar – Pulihkan Indonesia.

Isu kunci dari gerakan aktivis ini adalah pemulihan ekosistem untuk memastikan keberlanjutan kehidupan umat manusia di muka bumi. Sejumlah fakta menyebut sumber daya alam dan lingkungan terus mengalami tekanan, bahkan menuju punah.

Hal itu terjadi lantaran laju praktik ekstraksi atas nama pembangunan dan kesejahteraan yang difasilitasi oleh negara. Praktik monopoli tanah oleh industri ekstraktif tersebut pada akhirnya menjadi akar persoalan ekonomi dan lingkungan hidup di Kalimantan Barat.

Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat Hendrikus Adam mengatakan bahwa rakyat kerapkali hanya dijadikan sebagai objek. “Sementara sumber daya alam dan lingkungan hidup cenderung dianggap sebagai komoditas,” katanya.

Lebih miris lagi, sambung Adam, perlawanan rakyat yang berjuang dengan sadar agar ruang hidupnya tidak digusur dan hak-haknya atas sumber-sumber agraria tidak dikebiri, justru dihadapkan dengan cara-cara kekerasan, intimidasi, dan ancaman kriminalisasi.

Adam mencontohkan kasus penembakan warga Bangkal di Kalteng yang memperjuangkan haknya hingga meregang nyawa baru-baru ini. Kemudian upaya penggurusan paksa warga Rempang karena proyek eco-city di Batam, dan penembakan warga Segar Wangi di Ketapang.

Selanjutnya, penggusuran lahan-tanah colap Masyarakat Adat di Simpang Hulu, Ketapang oleh perkebunan kayu hingga berujung konflik yang terancam kriminalisasi, serta sejumlah kasus lainnya.

“ini adalah deretan persoalan kemanusiaan yang mengemuka sekaligus mengonfirmasi bahwa rakyat kerap menjadi korban akibat kekuatan modal yang telah ‘bersatu’ dengan tangan besi kekuasaan,” jelas Adam.

Situasi tersebut disadari akan kian diperparah dengan telah disahkannya regulasi sapu jagad melalui Omnibus Law – UU Cipta Kerja yang menjadi karpet merah bagi kekuatan oligarki sekaligus ancaman bagi tatanan kehidupan rakyat yang demokratis, berkeadilan, dan bermartabat di negeri ini.

Adam juga menyoroti kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi massif sejak 1997 di Kalimantan Barat. Massifnya konversi lahan untuk industri ekstraktif saat itu telah menjadi pemicu serius rusaknya ekosistem hutan dan gambut yang seharusnya dilindungi.

“Masyarakat adat/lokal yang telah menjaga hutannya justru berpotensi dihadapkan dengan ketidakpastian hak di tengah meningkatnya kesadaran bersama masyarakat global untuk memaksa negara penghasil esmisi memberikan insentif sebagai kewajibannya melalui skema perdagangan karbon yang hingga saat ini masih belum sungguh-sungguh jelas,” urai Adam.

Buah dari akumulasi persoalan ekologis tersebut, sambung Adam, adalah krisis multi dimensi yang pada akhirnya menempatkan rakyat terutama ‘kelompok rentan’ seperti kaum tani, buruh, nelayan, dan lainnya menjadi korban.

Pemanasan global yang menyebabkan terjadinya krisis iklim lantas melahirkan krisis-krisis berikutnya seperti bencana ekologis banjir, kekeringan, juga menjadi ancaman bagi pemenuhan kebutuhan pangan oleh kaum tani.

Sementara proses penunjukan kawasan hutan yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah selama ini telah melahirkan rasa ketidakadilan dan potensi konflik maupun masalah hukum bagi rakyat.

Di tengah situasi darurat sosial – ekologis yang terjadi, maka rencana pendirian tapak Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir oleh para promotornya di Kalimantan Barat menjadi ancaman bagi keselamatan rakyat dan lingkungan hidup karena potensi risiko kecelakaan, gagal teknologi dan limbah nuklir.

“Pemenuhan akses pemerataan listrik bagi rakyat yang aman, bersih, murah, berkeadilan dan berkelanjutan mestinya dapat dilakukan dengan mengoptimalkan energi terbarukan. Bukan melalui sumber energi berbahaya dan penuh risiko seperti PLTN,” kata Adam.

Berangkat dari berbagai situasi di atas, upaya pemulihan menjadi sangat relevan dilakukan. Aliansi Rakyat untuk Keadilan Ekologis yang terdiri atas sejumlah elemen, dengan ini menyerukan;

  1. Menolak pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kalimantan Barat dan Indonesia umumnya serta meminta mengoptimalkan energi terbarukan;
  2. Hentikan praktik monopoli tanah rakyat oleh korporasi dan berikan kedaulatan atas sumber-sumber agraria untuk rakyat;
  3. Selamatkan wilayah dan ruang hidup rakyat;
  4. Hentikan kekerasan, intimidasi, kriminalisasi terhadap rakyat yang memperjuangkan lingkungan hidup dan HAM;
  5. Karhutla merupakan kejahatan luar biasa, karenanya hukum tegas perusahaan pembakar hutan dan lahan;
  6. Cabut izin perusahaan perusak lingkungan dan pelanggar HAM;
  7. Selamatkan masyarakat adat/lokal dari ketidakadilan – solusi palsu krisis iklim (perdagangan karbon);
  8. Hentikan penggusuran paksa lahan tanah masyarakat adat di Simpang Hulu–Simpang Dua, Kabupaten Ketapang dan masyarakat adat/lokal di Kalimantan Barat umumnya.
  9. Jaga, selamatkan, dan pulihkan lingkungan di Kalimantan Barat;
  10. Memberi jaminan harga komoditas pertanian rakyat yang layak dan mengoptimalkan sarana pertaniantepat guna;
  11. Meminta pemerintah mengoptimalkan langkah-langkah mitigasi dalam penanganan krisis iklim.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *