634 ABK Indonesia Tereksploitasi di Kapal Asing, Presiden Jokowi Diminta Bertanggungjawab

Avatar
Kolase.id
Kampanye anti eksploitasi terhadap ABK Indonesia - Greenpeace Indonesia

Kolase.id – Data mencengangkan ditampilkan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) terkait kasus perbudakan modern.

Sepanjang 2021, organisasi itu telah menerima 188 aduan kasus perbudakan terhadap anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera asing.

Menyikapi itu, SBMI bersama Human Rights Working Group (HRWG) dan didukung oleh Greenpeace Indonesia menyatakan sikap tegasnya pada kepala negara.

Menurut ketiga lembaga sosial kemasyarakatan itu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo semestinya punya tanggung jawab untuk menghentikan praktik eksploitasi ini. Bukan alih-alih dikesankan melakukan pembiaran sehingga turut “berkontribusi” melanggar HAM.

“Upaya advokasi yang dilakukan SBMI terkait kasus-kasus yang dialami ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing, sering kali terkendala oleh adanya tumpang tindih kewenangan dan belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan sebagai aturan turunan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang PPMI,” kata Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno dalam keterangan tertulis yang diterima Kolase.id, Senin (28/3/2022).

Berdasarkan catatan SBMI, penambahan 188 kasus di tahun 2021 tersebut merupakan jumlah tertinggi yang diterima SBMI dalam satu tahun. Ini menjadikan total kasus ABK yang ditangani oleh SBMI sejak 2013 sebanyak 634 kasus. Dari 188 kasus baru tersebut, 98 di antaranya berasal dari Jawa Tengah, 43 dari Jawa Barat, dan selebihnya dari berbagai provinsi lain di Indonesia.

Pernyataan dan desakan ini muncul pada diskusi bertema “ABK Tereksploitasi, Presiden Melanggar HAM?” yang diadakan pada Senin, 28 Maret 2022.

Selain desakan bahwa Kepala Negara harus ikut bertanggung jawab, Hariyanto juga menuturkan bahwa carut marut tata kelola penempatan ABK Perikanan, kebijakan yang belum berpihak terhadap ABK Perikanan, penindakan hukum yang lemah dan pengawasan yang minim menjadi penyebab praktik-praktik yang melanggar HAM ABK masih terus terjadi.

Ditambah lagi ada hal ironi, yakni upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami ABK dari tahun ke tahun tidak menunjukkan sinyal perbaikan.

Dalam sebuah kajian berjudul “Kajian Pelanggaran HAM terhadap ABK di Asia Tenggara: Pembiaran Perbudakan Modern” yang diterbitkan Maret 2022, HRWG salah satunya menggarisbawahi kekosongan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan (RPP) ABK Indonesia yang seharusnya sudah keluar selambat-lambatnya pada 2019, atau dua tahun sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).

Proses pembahasan RPP ini pun berjalan lamban akibat beragam konflik kepentingan di antara kementerian dan lembaga.

“Tanpa membuat jaminan perlindungan hukum dan terus berupaya mendorong perlindungan maksimal, sama halnya pemerintah sedang melakukan pembiaran atas praktik perbudakan terhadap ABK. Di situasi ini Presiden wajib memimpin kabinetnya, memanggil menteri-menterinya untuk menyelesaikan konflik kepentingan yang mengutamakan keuntungan perorangan atau lembaga di atas semangat negara melindungi pekerja migran termasuk ABK melalui UU 18/2017,” ujar Daniel Awigra, aktivis HAM dari HRWG.

HRWG bahkan menyebut praktik eksploitasi terhadap ABK asal Indonesia serta beberapa negara lain di Asia Tenggara ini sebagai bagian dari kejahatan terorganisir transnasional mengingat aktivitas industri perikanan global ini melibatkan banyak negara di dunia.

Tak hanya pada ABK, eksploitasi juga dilakukan terhadap sumber daya tangkapan laut. Stok ikan di beberapa daerah perairan menurun drastis akibat penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, salah urus penerbitan izin penangkapan yang tidak sesuai dengan kapasitas sumber daya, dan banyaknya kapal penangkap ikan yang telah melebihi kuota, dan melakukan kegiatan penangkapan ikan ilegal. Peristiwa ini kemudian mengindikasi terjadinya penangkapan ikan berlebih atau overfishing.

Sayangnya, untuk menekan harga produk agar tetap kompetitif, para pemilik kapal memperkerjakan para tenaga kerja berupah rendah. Hal ini menempatkan para nelayan pada posisi rentan akan masalah keselamatan kerja saat bekerja di kapal-kapal tersebut.

Inilah yang mendorong terjadinya kejahatan lintas batas negara, mengingat eksploitasi dan perampasan hak terhadap ABK migran kerap terjadi di laut lepas, ZEE dan di laut-laut perbatasan.

“Eksploitasi sumber daya laut yang berlebihan dan populasi ikan yang semakin berkurang seringkali mengakibatkan biaya operasional yang lebih tinggi dan juga membuat ABK perikanan kita lebih rentan terhadap upah rendah, kondisi kerja dan kehidupan yang buruk di kapal dan juga pelanggaran berat, seperti kekerasan,” ujar Anunisa Erou, koordinator kebijakan laut Greenpeace Indonesia.

Erou pun menuturkan, Presiden Republik Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia setiap ABK perikanan melalui pemerintahan, agar perbudakan modern tidak lagi senantiasa membayang-bayangi dari waktu ke waktu. *

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *