Ruang Dialog Mimbar Untan Soroti Deforestasi di Kalbar

Ketika pohon-pohon ditebang, kadar CO₂ meningkat, dan menyebabkan pemanasan global

Avatar
Akademisi Universitas Tanjungpura Pontianak Prof Dr Gusti Hardiansyah memaparkan kondisi deforestasi di Kalbar di Ruang Dialog Mimbar Untan, Sabtu (1/11/2025). Foto: Desi Rahmawati/Kolase.id

Kolase.id – Isu deforestasi kembali menjadi sorotan utama mahasiswa. Melalui Ruang Dialog Mimbar Untan, diskusi bertajuk “Satu Perjuangan, Kebebasan Pers, dan Perlindungan Ekosistem” berupaya menyoroti sejumlah persoalan yang terjadi di Kalimantan Barat.

Ruang dialog yang dilaksanakan di Gedung Konferensi Untan pada Sabtu (1/11/2025) ini mempertemukan berbagai pihak, mulai dari Walhi Kalimantan Barat, akademisi Fakultas Kehutanan Untan, hingga jurnalis dan mahasiswa. Mereka mengupas persoalan hilangnya hutan dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat.

Indra Syahrandi dari Walhi Kalbar memaparkan bahwa dalam lima tahun terakhir, tren deforestasi di Kalimantan Barat terus meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 2024. Kondisi ini tidak hanya memperburuk krisis iklim, tetapi juga memicu berbagai bencana ekologis seperti banjir dan kekeringan.

“Deforestasi tidak hanya terjadi di sektor perkebunan kayu dan sawit, tetapi juga menjadi sumber utama kerusakan ekosistem dan krisis sosial di tingkat lokal,” ujarnya.

Sementara itu, Prof. Gusti Hardiansyah dari Fakultas Kehutanan Untan menyoroti persoalan ini dari sisi ilmiah. Ia menjelaskan bahwa deforestasi berarti perubahan kawasan hutan menjadi bukan hutan, yang menyebabkan hilangnya fungsi ekologis secara berkelanjutan.

“Kita bicara soal selimut bumi. Ketika pohon-pohon ditebang, kadar CO₂ meningkat dan menyebabkan pemanasan global. Padahal, hutan adalah pengendali alami iklim,” jelasnya.

Ia juga menyinggung program FOLU Net Sink 2030 sebagai titik balik kebijakan hutan dan komitmen iklim Indonesia.

Dari sisi jurnalisme lingkungan, Sekretaris AJI Pontianak Hamdan Darsani mengingatkan pentingnya etika publik dalam pemberitaan isu ekologis. Empat prinsip utama yang ditekankan adalah verifikasi data, proporsionalitas narasi, kesetaraan dalam mendengar, dan transparansi tujuan. “Media harus menjadi ruang literasi publik, bukan sekadar alat framing,” ujarnya.

Ketua Link-AR Borneo Ahmad Syukri membeberkan data terkait deforestasi di Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara.

Sejak 2016 hingga Februari 2025, PT Mayawana Persada disebut telah membuka 42.500 hektare hutan—setara empat kali luas Kota Pontianak. Sedangkan PT Equator Sumber Rezeki disebut melakukan pembukaan lahan sawit secara masif sejak Agustus 2024.

Dampaknya mencakup rusaknya keanekaragaman hayati, degradasi ekosistem gambut, hilangnya sumber air bersih, hingga ancaman terhadap satwa endemik.

“Di akhir 2024, masyarakat Kualan Hilir, Ketapang, mengalami banjir yang sebelumnya jarang terjadi. Itu bukti nyata perubahan ekologis,” tambah Ahmad Syukri.

Ketua BEM Fakultas Kehutanan Verdi Firmansyah menegaskan pentingnya keterlibatan generasi muda dalam menjaga keberlanjutan hutan. “Mungkin ke depan, kita tidak lagi membahas deforestasi, tetapi bagaimana menumbuhkan kembali pohon dan memulihkan lahan. Semua bermuara pada tanggung jawab kita terhadap masa depan Kalimantan Barat,” tutupnya.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *