PHI: Hentikan Kediktatoran Jokowi

Watak kediktatoran Jokowi semakin terlihat dari upaya memperpanjang masa jabatan presiden tiga periode, menunda pemilu, hingga pemalsuan verifikasi faktual sejumlah parpol

Avatar
Partai Hijau Indonesia (PHI) mengajak masyarakat sipil membentuk poros politik baru untuk menghentikan kediktatoran Jokowi. Foto: Dok. PHI

Kolase.id – Partai Hijau Indonesia (PHI) mengajak kalangan masyarakat sipil untuk membentuk poros politik baru selain ketiga poros politik Pilpres yang ada. Poros ini bertujuan menghentikan upaya Presiden Joko Widodo melanggengkan kekuasaan melalui pemenangan pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Menurut PHI, Jokowi semakin menunjukkan watak diktatornya dalam pelbagai peristiwa politik termasuk putusan Mahmakah Konstitusi yang meloloskan anaknya sebagai kandidat Pilpres 2024.

“Dugaan kuat intervensi Jokowi kepada Mahkamah Konstitusi melalui saudara iparnya dan putusan yang meloloskan anaknya sebagai calon wakil presiden, patut diperiksa lebih jauh sebagai penyelewengan konstitusi. PHI menilai praktik tersebut merupakan pengkhianatan konstitusi yang memiliki konsekuensi hukum serius, pemakzulan,” kata Presidium Nasional PHI John Muhammad dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (2/11/2023).

Usai jumpa pers, acara dilanjutkan dengan diskusi bertajuk “Lanskap Pemilu 2024 dan Agenda Politik Masyarakat Sipil” yang digelar di M-Bloc Jakarta. Selain kuatnya intervensi atas proses di Mahkamah Konstitusi, watak kediktatoran Jokowi juga semakin terlihat dari upaya-upaya memperpanjang masa jabatan presiden tiga periode, menunda pemilu, hingga adanya pemalsuan verifikasi faktual untuk sejumlah parpol.

PHI menengarai Jokowi dan kekuasaannya telah membajak lembaga-lembaga penting dalam demokrasi, termasuk partai-partai politik, KPK, KPU, hingga MK. Tindakan ini untuk melanggengkan kekuasaannya lewat cara-cara curang, termasuk mengubah aturan main ini mengarah pada kematian demokrasi.

Apa yang dilakukan Jokowi ini, menurut John, tidak bisa dihadapi hanya oleh kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD atau Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar atau gabungan keduanya.

“Untuk mencegah kediktatoran gaya baru perlu kekuatan massa politik yang lebih besar. Masyarakat sipil tak boleh diam. Harus melakukan sesuatu. Ruang politik baru harus diciptakan untuk memperjuangkan kepentingan umum,” tegas John.

Poros politik baru masyarakat sipil juga mendesak untuk dibentuk mengingat rekam jejak dan kebijakan bermasalah pada ketiga pasangan calon presiden-wakil presiden, termasuk partai-partai politik yang mengusungnya.

Masyarakat perlu selalu mengingat kebijakan pembangunan bermasalah yang terjadi di Kendeng, Wadas, atau Rempang. Masyarakat juga tidak boleh lupa pada pendekatan politik identitas yang merusak rajutan tenun kebangsaan.

“Warga tidak boleh lagi tertipu visi dan misi. Warga perlu ditempatkan sebagai aktor penentu kebijakan. Warga perlu kontrak politik sejati. Poros politik baru perlu dibangun bersama. Ini bukan sekadar koalisi antarpartai politik yang tidak dapat dipegang komitmen politiknya dan sulit diukur dampak politiknya secara riil. Ini batu uji untuk mencegah kediktatoran Jokowi,” ujar John.

Menanggapi sikap PHI tersebut, Feri Amsari, Pakar Hukum Tata Negara, yang diundang untuk memantik diskusi menyatakan demokrasi Indonesia diuji dengan Pemilu 2024 sebagai pemilu kelima Indonesia pascareformasi. Demokrasi kita perlu obat karena institusi-institusi negara sudah disalahgunakan.

Elza Yulianti dari Partai Buruh menyatakan peraturan dan sistem politik elektoral yang ada saat ini pun sulit dimasuki masyarakat sipil.  Pemilu Indonesia diskriminatif terhadap partai politik baru. Praktik politik uang yang masif tidak memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, melanggengkan kebiasaan menerima sembako, uang, dsb. saat kampanye.

Sementara itu, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, yang turut hadir sebagai inisiator Maklumat Djuanda menyambut baik usulan PHI tentang adanya poros politik baru masyarakat sipil.

“Poros politik itu sangat dibutuhkan karena kita tengah menghadapi krisis demokrasi dan konstitusi. Poros politik dapat memperjuangkan agenda masyarakat sipil berupa penegakan hak asasi manusia, keadilan, dan kelestarian lingkungan hidup,” kata Usman.

Syarat tujuan bersama

Mengenai pembentukan poros politik, PHI mengajukan sejumlah syarat tujuan bersama. Pertama, bersama-sama menuntut penyelidikan yang serius atas dugaan penyelewengan konstitusi yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.

Kedua, bersama-sama memastikan diri untuk tidak memilih calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan membangun gerakan penolakan seluas-luasnya.

Ketiga, bersama warga membangun agenda politik baru melalui kontrak politik sejati yang tak terbatas pada platform hijau dan/atau melibatkan partisipasi publik yang lebih luas.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *