Negeri Tanpa Arah: Saat Kesadaran Geografis Kita Dirampas Kekuasaan

Oleh M. Hermayani Putera

Avatar
Peta Wawasan Nusantara. Dok. Kibrispdr.org
  • “Saya tidak akan menikmati palapa sebelum Nusantara dipersatukan.” – Patih Gajah Mada, 1336
  • “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.” – Bung Karno & Bung Hatta, 1945
  • “Laut bukan pemisah, tapi pemersatu bangsa.” – Djuanda Kartawidjaja, 1957

TIGA pernyataan lintas zaman ini merupakan simpul sejarah kesadaran geografis kita. Sumpah seorang mahapatih membayangkan kesatuan pulau-pulau Nusantara; Proklamasi mengikat seluruh wilayah itu dalam negara merdeka; dan Deklarasi Djuanda menegaskan laut sebagai bagian utuh dari kedaulatan Indonesia. Semuanya menegaskan bahwa tanah dan laut adalah satu kesatuan ruang hidup yang harus dijaga bersama.

Namun, delapan dekade setelah Proklamasi, tanah dan laut yang dahulu dipertahankan dengan darah justru semakin dikuasai oleh segelintir oligarki. Laut diperlakukan sebagai properti eksklusif, bukan sebagai ruang publik. Kesadaran geografis kini diuji, bukan oleh armada kolonial, melainkan oleh arus globalisasi, perebutan sumber daya, perubahan iklim, dan pengkhianatan kepentingan dari dalam negeri.

Kesadaran Geografis: Modal Bangsa yang Sering Terlupa

Indonesia adalah negara kepulauan yang menjadi simpul strategis dunia: 80 persen jalur perdagangan global melintas di perairannya. Laut Nusantara bukan hanya jalur logistik, tetapi juga rumah bagi potensi perikanan lestari. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2022 menetapkan estimasi potensi sumber daya ikan sebesar 12,01 juta ton per tahun di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Namun, ironi mencolok terjadi di sini. Nelayan tradisional—yang rata-rata hanya memiliki kapal di bawah 5 GT—berlayar dengan peralatan sederhana di tengah persaingan dengan kapal industri berskala raksasa, bahkan armada asing, yang menguasai teknologi, modal, dan akses pasar.

Ketimpangan ini bukan sekadar data; ia menjelma menjadi kenyataan pahit di pesisir. Sementara kapal besar mampu menyapu lautan dan menurunkan hasil tangkapan nelayan kecil, masyarakat pesisir kehilangan sumber penghidupan.

Privatisasi pantai untuk resor dan pariwisata eksklusif semakin mempersempit ruang hidup mereka. Budaya maritim—yang telah menjadi identitas bangsa sejak sebelum republik berdiri—perlahan tergerus, tergantikan oleh kepentingan ekonomi segelintir pihak.

Risikonya nyata: penangkapan ikan berlebih (overfishing) yang merusak stok ikan, degradasi ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun, serta meningkatnya ketergantungan pada impor pangan laut.

Jika akses laut dikuasai oleh pihak swasta atau asing, potensi perikanan 12,5 juta ton itu hanya akan menjadi angka mati di laporan kementerian. Lebih buruk lagi, kita berisiko kehilangan kedaulatan geografis: laut Nusantara bisa berubah menjadi halaman belakang bagi bangsa lain, sementara anak cucu kita hanya akan mewarisi cerita, bukan ikan.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat, hingga Desember 2023, terdapat 218 izin usaha pertambangan yang menguasai 34 pulau kecil dengan total konsesi mencapai 274.550 hektare. Ekspansi rakus ini memperburuk kerentanan ekologis masyarakat pesisir. Air bersih tercemar, hasil tangkapan nelayan merosot, dan ekosistem vital seperti mangrove, terumbu karang, pohon sagu, dan pala musnah. Fauna endemik—mulai dari penyu hingga burung maleo—terancam hilang. Dampaknya tak berhenti di situ: banjir bandang dan longsor menjadi ancaman nyata yang kian sering terjadi.

Sementara itu, pada peringatan Hari Laut Sedunia 2024, WALHI bersama masyarakat pesisir menentang keras kebijakan pemerintah yang melegalkan tambang dan ekspor pasir laut melalui PP No. 26/2023 dan Permen KP No. 33/2023. Kebijakan ini nyata-nyata membuka jalan bagi perampasan ruang hidup rakyat pesisir.

Di Pulau Kodingareng, proyek pengerukan pasir oleh PT Boskalis menimbulkan kerugian ekonomi nelayan hingga Rp80,4 miliar. Lebih jauh lagi, dua dekade ekspor pasir laut ke Singapura telah meninggalkan jejak kehancuran: sekitar 5.720 hektare terumbu karang dan 240.468 hektare hutan mangrove di Bangka Belitung lenyap, merobek fondasi ekologis yang selama ini menjadi penopang kehidupan pesisir.

Sumpah Palapa: Visi Geopolitik Abad ke-14

Ketika Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati palapa sebelum Nusantara bersatu, ia menegaskan bahwa pulau-pulau harus dipersatukan, bukan dipisahkan. Dalam kerangka Majapahit, sumpah ini merupakan blueprint politik luar negeri: daftar wilayah yang menjadi target integrasi, baik melalui diplomasi maupun ekspedisi militer, demi menguasai jalur perdagangan rempah dan mengokohkan kekuatan maritim.

Sejarawan Slamet Muljana, dalam bukunya Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit (2005, LKiS, Yogyakarta), menafsirkan sumpah ini sebagai kebijakan negara, bukan sekadar ucapan pribadi.

Di balik motif feodal-imperial, tersimpan kesadaran bahwa laut adalah perekat kekuasaan dan kebudayaan. Palapa juga menjadi semacam embrio imajinasi geopolitik tentang Nusantara, sekaligus proyeksi identitas dan integrasi ruang Nusantara.

Sayangnya, semangat itu kini pudar, tergantikan oleh konsesi tambang lepas pantai, reklamasi yang menggusur warga, dan perizinan laut skala besar yang menyingkirkan nelayan kecil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *