Meski masa bakti penggagas KPHD hanya lima tahun (2024–2029), kita berharap mereka menyusun roadmap 2025–2045 yang melampaui periode jabatan, agar visi Indonesia yang kaya secara ekonomi dan tangguh secara ekologis dapat diwariskan.
Salah satu langkah awal yang perlu dilakukan adalah memperkuat kapasitas internal parlemen daerah agar setiap kebijakan peka terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan. Selanjutnya, memperluas jejaring—dari pusat hingga desa—dengan menggandeng akademisi, pelaku usaha, ormas keagamaan, filantropi, dan komunitas lokal. Sinergi ini memastikan isu lingkungan terintegrasi dalam agenda pembangunan.
Tahap selanjutnya, KPHD perlu mendorong inovasi kebijakan: insentif energi terbarukan, perlindungan hutan, pengelolaan sampah berbasis sirkular, hingga ekonomi hijau menapak dan mendarat di desa. Terakhir, mereka perlu memimpin gerakan publik, dimulai dari daerah pemilihan masing-masing, agar isu kelestarian menjadi arus utama percakapan politik dan gerakan sosial yang konkret solutif.
Bayangkan jika setiap kebijakan daerah disaring lewat dua pertanyaan sederhana:
- Apakah ini adil bagi rakyat?
- Apakah ini lestari bagi alam?
Jika jawabannya “ya” untuk keduanya, itulah pembangunan sejati.
Nasionalisme kini diuji bukan hanya oleh ancaman militer, tetapi oleh kerusakan alam dan krisis sumber daya. Apalah artinya kedaulatan jika tanah tandus, air tercemar, dan rakyat kehilangan ruang hidup?
KPHD mengajak kita membangun nasionalisme baru—yang merawat, bukan sekadar menguasai; yang melindungi, bukan hanya memanfaatkan. Jalan menuju Indonesia Emas bukan jalan pintas, melainkan perjalanan panjang yang memuliakan manusia dan alam.
Seperti kata Bung Karno, “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia.” Hari ini, seruannya bisa kita ubah: “Beri aku sepuluh anggota parlemen yang bervisi adil dan lestari, Indonesia akan tetap lestari dan abadi.”
Indonesia Emas 2045 bukan hanya tentang teknologi maju atau ekonomi kuat, tetapi tentang sungai jernih, udara segar, hutan tegak, dan tanah subur. Semua itu hanya terwujud jika kerja besar dimulai sekarang.
KPHD adalah salah satu pintu menuju masa depan itu. Namun pintu ini hanya akan terbuka lebar jika kita—warga, media, akademisi, pelaku usaha, tokoh agama, dan aktivis—ikut mendorong dan mengawalnya.
Sejarah akan mencatat, apakah kita memilih menjadi penonton atau pelaku yang memastikan bumi dan negeri ini tetap lestari. Pilihan ada di tangan kita. Mari merajut bumi, merawat negeri—demi generasi kini dan mendatang.*