Membaca Peluang dan Tantangan Jurnalisme Lingkungan di Era Digital

Teknologi perkuat jurnalisme lingkungan agar bisa lebih menarik dan berdampak

Avatar
Talkshow Green Press Community (GPC) SIEJ menghadirkan pembicara Head of Narasi Newsroom Laban Laisila, Head of Newsroom Betahita.id Yosep Suprayogi, perwakilan Newsroom Unggla.Id Febrianti, dan Content Manager Earth Journalism Network Dewi Laila Sari di M Bloc, Jakarta Selatan, Sabtu (23/11/2024). Foto: Dok. SIEJ

Kolase.id – Tantangan dalam memproduksi jurnalisme lingkungan berkualitas semakin kompleks. Namun, perkembangan teknologi membuka peluang baru bagi media untuk mampu beradaptasi.

Dalam talkshow Green Press Community (GPC) di M Bloc, Jakarta Selatan, Sabtu (23/11/2024), para pembicara menekankan pentingnya memanfaatkan berbagai platform termasuk media sosial, untuk menjangkau audiens yang lebih luas.

Narasinewsroom misalnya, telah mengoptimalkan media sosial guna menyebarkan kesadaran akan isu lingkungan melalui program Buka Mata. Adaptasi terhadap preferensi audiens sekaligus pemanfaatan teknologi secara kreatif menjadi kunci keberhasilan jurnalisme lingkungan di era digital.

Talkshow yang menghadirkan para pembicara yang berbagi pengalaman memproduksi jurnalisme lingkungan terutama penggunaan teknologinya.

Head of Narasi Newsroom, Laban Laisila menceritakan bagaimana newsroomnya menghasilkan produk jurnalisme memanfaatkan teknologi seperti mengoptimalkan perangkat (tool) yang kini terus berkembang saat ini.

Newsroom Narasi memiliki program Buka Mata yang telah memproduksi jurnalisme dengan mengandalkan perangkat yang dipelajari dan diaplikasikan. “Dalam liputan program buka mata yang menceritakan bagaimana pencurian ikan di perairan laut Philipina dihasilkan dari pengolahan data atas tool dari  sinyal kapal-kapal yang beroperasi di perairan tersebut,” ucapnya.

Laban juga mengungkapkan pentingnya media beradaptasi akan ruang pembacanya. Narasi newsroom  telah memproduksi konten-konten jurnalisme lingkungan di berbagai platform media sosialnya. “Narasi newsroom juga memperkaya konten media sosial dengan liputan investigas lingkungan tersebut,” ucapnya.

Teknologi pun akan memudahkan awak media (jurnalis) menyajikan data lingkungan yang kompleks tampilan menarik dan mudah dipahami, seperti kaya akan infografis, peta interaktif, dan video menarik.

Seperti teknologi remote sensing drone yang memungkinkan tampilan visual perubahan lingkungan tampak leboh apik. Teknologi virtual reality atau VR juga eugemented reality (AT) juga akan menghasilkan karya jurnalistik yang lebih mendalam bagi audiens.

Penggunaan teknologi dalam menghasilkan jurnalisme lingkungan juga bagikan media Betahita.id.

Head of Newsroom Betahita.id Yosep Suprayogi yang berbagi pengalaman bagaimana liputan investigasi lingkungan yang dihasilkan juga berbasis teknologi dan data.

Seperti Betahita.id memproduksi liputan investigasi degradasi hutan dan lahan yang diperoleh dari proses membaca peta-peta perubahan kawasan. “Tentu dengan liputan demikian, akan lebih menarik dan kaya informasi,” ujarnya.

Yosep juga mengungkapkan jurnalisme lingkungan kerap dinilai sebagai pemberitaan yang tidak cukup populer dan rumit dan  jika dibandingkan dengan informasi hiburan. Sehingga tantangannya saat ini, media pun perlu menjadikan karya jurnalisme lingkungan dengan daya tarik lebih.

“Semakin menantang isu yang kami angkat, itu menarik. Sudah tidak mainstream,” kata Yosep.

Upaya mendekatkan pada pembaca juga bisa dilakukan dengan mengangkat gaya kelokalan. Seperti halnya yang dilakukan media Uggla.id di Sumatera Barat.

Perwakilan Newsroom Unggla.Id, Febrianti menceritakan bagaimana Unggla hadir dari semangat jurnalisme warga yang kemudian diperkuat pada konten lingkungan dan budaya.

“Niat awalnya, bagaimana warga bisa bersuara, menjadi ruang bagi warga, menceritakan apa yang dialami dan terjadi atas situasi di lingkungan sekitarnya yang dikemas dalam produk jurnalisme,” ucapnya.

Aspek kelokalan yang dekat dengan kehidupan masyarakat akan membuat media lebih mudah menghadirkan jurnalisme lingkungannya.

Dia pun menceritakan Unggla merupakan bahasa daerah berartikan tiang kokoh berasal dari nama pohon kayu nan kerap dijadikan tonggak bangunan seperti rumah.

Content Manager Earth Journalism Network, Dewi Laila Sari juga menambahkan isu lingkungan menjadi isu kelima yang disukai milenial dan generasi Z. Dengan potensi demikian, sebenarnya isu lingkungan akan mudah dihubungkan pada generasi muda.

“Tapi mengapa isu lingkungan ternyata tidak cukup populer? Makanya kita harus memanfatkan media sosial dan platform lainnya. Tipsnya, tolong bikin konsep yang memang menarik untuk target audiens milenial serta gen Z,” imbuh Dewi.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *